Mohon tunggu...
Siti Royani
Siti Royani Mohon Tunggu... Freelancer - IRT yang doyan nulis dan membaca. Senang membagikan resep-resep makanan dan kisah-kisah fiksi

Blogger & Copy Writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen#2, Ketika Dia Ingin Mengubahku

1 Maret 2019   20:17 Diperbarui: 1 Maret 2019   20:27 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau sebut apa cinta ingin yang ingin mengubahmu? Bukankah mencintai berarti seharusnya pula bersiap menerima konsekwensi, atas kelebihan dan kekurangan orang yang dicintai? Tapi mengapa saat menemui ketidak-sempurnaan, mencoba menjadikannya lain?

Aku sangat terpukul atas sikapnya yang dilakukan saat itu. Ternyata apa yang menjadi sumber kebahagiaanku justru selama ini, adalah sumber penderitaannya. Aku tidak terlalu tua dan jelek ketika bersanding dengannya. Tapi mengapa ia tega berbuat seperti itu padaku?

Aku tulus mencintai dirinya. Tidak mempermasalahkan apa yang tak ia miliki. Sebagai seorang istri, diriku telah berusaha sekuat tenaga menciptakan suasana nyaman bagi dia.

Namun apa yang kudapati, sungguh di luar dugaan. Pengorbananku sia-sia, tak berarti. Meski kulakukan dengan ikhlas dan rela.

Pernikahanmu masih terbilang sangat muda banget, untuk seukuran pengantin baru. Dan harusnya pula aku masih bisa menikmati cinta dan kasih sayang dari suami. Bukan hal rendah semacam ini.

Usianya denganku hanya terpaut 4 tahun saja. Kami masih sama-sama masih melajang, pada saat mengikat janji suci itu. Umurku juga baru mencapi 31, tak dapat dikatakan sangat tua sekali.

Aku pikir kala bertemu orang-orang, tak ada yang perlu kusembunyikan dari wajah ini. Aku bebas tersenyum dan tertawa lepas. Tanpa beban di hati.

Akan tetapi beberapa bulan sebelum memasukkan gugatan cerai ke pengadilan, memang ada peristiwa yang jadi pemicunya. Ketika itu setiap kali pulang kantor, wajahnya tak sekalipun tampak semringah. Masam dan dilipat terus.

Mulanya aku mengira mungkin dia tengah dirundung masalah, dan untuk sementara tak ingin membaginya dengan aku. Karena kutahu, kami mengurus pindah rumah dan pekerjaan baru yang ia miliki. Kupikir dia mungkin lelah dan stress sebab itu.

Sampai kejadian aneh itu berlangsung berhari-hari bahkan telah melewati minggu. Penasaran dengan sikapnya, akupun mencoba bertanya. Apapun itu, aku berharap dia mengatakan jujur sehingga diriku tak salah paham.

Hingga pada suatu malam, ia membangunkanku. Matanya berlinang airmata, mengatakan sesuatu yang cukup mengejutkanku saat itu. ''Maukah kau untuk suntik botox?'' tanyanya menatap iba padaku.

''Maksudmu apa meminta itu?'' jawabku setengah malas membalas tatap matanya. Akupun bangkit dan duduk yang diikuti dirinya. Kami saling berhadapan dan bersitatap satu sama lain.

 ''Apa penampilanku masih kurang baik di matamu?''

''Ya.''

''Bagian mana itu, bisa kau sebutkan?'' Walau dalam hati merasa marah dan tersinggung, di hadapannya aku tetap mencoba untuk bersikap tenang.

''Tawa dan senyummu. Terus terang aku merasa terganggu dengan ini.''

Aku diam mematung mendengar jawaban jujurnya. Hatiku terluka dan perasaanku tak bisa kusembunyikan lagi. Bulir bening di kedua sudut mataku tumpah membasahi pipi.

Hening sesaat tak ada suara di antara kami. Sesaat jiwaku terguncang, tak pernah membayangkan bila kebersamaanku yang baru sesaat ini, harus bertemu persoalan semacam itu.

Aku menutup bibir, tak berbicara sepatah katapun. Sampai ia mengulangi permintaannya kembali padaku.

''Jadi bagaimana, kau pertimbangkan lagi melakukan operasi botox demi aku?'' desaknya meminta jawaban pasti.

Aku masih bergeming dengan posisi semula. Mengatur napas dan berpikir jernih. Hingga sesuatu akhirnya keluar dari mulutku.

''Berarti selama ini kau merasa malu beristrikan perempuan macam aku?''

Ia tak bisa menjawab, tapi pengakuannya sudah menjadi bukti. Dan aku harus mengalah!

''Tahukah kau, bahwa aku mencintaimu dengan segenap ragaku. Tak sedikitpun kupermasalahkan kekuranganmu, sebab cintaku tak menuntut apapun. Hanya saja aku sangat kecewa mendengarnya ini?''

Ia diam mendengar perkataanku. Tapi rupanya ia masih penasaran dengan permintaannya.

''Lantas bagaimana, apa kau bersedia?'' desaknya terus.

Kutarik napas dalam-dalam dan kutatap matanya tajam.

''Tidak!'' jawabku tegas.

''Maksudmu?'' ia menatapku bodoh mirip anak kecil.

''Seharusnya kau memahami, bahwa cinta itu tak seperti ini keadaannya. Apa gunanya kita bersama, bila apa yang kulakukan padamu, hanya perlakuan begini yang kuterima. Aku tak bisa melanjutkan hubungan dengan orang yang menginginkanku sempurna, sebab dipikiranku tak pernah terlintas berbuat demikan pada dirimu.''

Akhirnya malam itu kuputuskan berpisah selamanya. Lima tahun masa pacaran, tak menyisakan apa-apa dalam cinta, selain perendahan diri dan perasaan kecewa. Hanya 6 bulan, kucecap madu pernikahan, selanjutnya kini diriku menjadi janda.

Noted :

Cerpen ini terinspirasi dari artikel yang pernah dimuat di laman situs www.wolipop.detik.com (22/02/2019)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun