Mohon tunggu...
Siti Royani
Siti Royani Mohon Tunggu... Freelancer - IRT yang doyan nulis dan membaca. Senang membagikan resep-resep makanan dan kisah-kisah fiksi

Blogger & Copy Writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen#1, Ibu Untuk Delia

26 Februari 2019   20:58 Diperbarui: 26 Februari 2019   21:00 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak pernah menyangka jika takdir perjodohanku dengan Siska, akan berakhir tragis seperti ini. Niatku untuk menghabiskan hari tua bersamanya, menimang anak dan cucu kami, terpaksa harus mengalah oleh maut yang tiba-tiba datang menjemput. Di saat putri kecilku baru berusia 2 tahun, sebuah kecelakaan hebat merenggut jiwanya.

Aku masih ingat benar saat-saat ia tengah meregang nyawa. Siang itu di rumah sakit, sambil kugenggam tangannya yang mulai melemah, dia terus memannggil-manggil Delia. Putri kecilnya yang sangat lucu dan menggemaskan.

Sebenarnya aku bermaksud membawa dirinya kala itu, supaya tahu keadaan sang ibu yang sesungguhnya. Namun cemas dia tak bakal bisa menerima kenyataan yang terjadi, maka kuurungkan niatku. Tapi mulut Siska selalu saja menanyakan dirinya dan ingin sekali dapat bertemu.

''Di mana Delia Mas? Aku ingin bertemu dia?''ucapnya lemah sambil menatap manik mataku yang tak pernah kering oleh airmata semenjak kemarin sore, ketika dia dilarikan ke rumah sakit. Ini adalah hari kedua dirinya berada dalam ruangan yang lebih mirip lorong kematian.

''Dia di rumah sayang, kau tak perlu cemas, ''jawabku sembari mengusap lembut kepalanya. Bola matanya begitu lemah saat menatapku, membuat aku tak bisa berbuat apa-apa selain memegang dadaku yang sakit, menahan kesedihan. Di samping tempat tidurnya, sebuah alat pendeteksi jantung tak henti berbunyi. Menjadikanku semakin takut dan takut. Rasanya saat itu malaikat pencabut nyawa sudah berada datang di depan istriku, dan tinggal menunggu dari Allah untuk mencabut dari raganya.

''Bisakah kau mempertemukan aku dengannya, untuk yang terakhir, ''bisiknya lirih di telingaku.

''Nanti ya, setelah kamu keluar dari rumah sakit. Sekarang istirahatlah. Dia bersama kakek dan neneknya, kamu enggak perlu cemas.'' Aku membelai lembut punggung tangannya dengan dada yang sudah teramat sesak.

Ya Tuhan, seumur hidup aku tak pernah membayangkan, bila kejadian buruk ini bakal menimpaku. Wanita yang kunikahi 3 tahun yang lalu itu, kini sedang berbaring tak berdaya di rumah sakit. Sekarat tanpa bisa aku menolongnya. Ingin aku menjerit pilu dan bertanya meminta pada Allah agar tak mengambilnya sekarang, sebab anak kami masih kecil.

''Tapi aku ingin melihat wajahnya Mas, untuk yang terakhir kali sebelum pergi. Tolong bawa dia kemari.'' Siska merengek mengeluarkan suara lemah. Bulir bening jatuh dari kedua pipinya yang mulus.

''Jangan berkata demikian sayang, kau akan sembuh dan merawat anak kita, ''jawabku sambil mendekapnya. Sungguh hari itu aku benar-benar kacau dan kalut pikiran, tak bisa berpikir jernih lagi. bayangan kematian Siska seolah-olah sudah semakin dekat, tinggal beberapa inchi saja dari tempat kami berdua di ruangan rumah sakit ini.

''Tolonglah Mas, meski sekejap pertemukan aku dengan dirinya.'' Siska terus meminta sembari menangis pilu, menyebut-nyebut nama Delia hingga suaranya makin mengecil dan hilang. Semakin lemah dan lemah, hingga akhirnya menutup mata, meninggalkan airmatanya di pipi begitu sangat deras untuk selama-lamanya.

Ia pergi meninggalkan dunia, membawa serta rasa penasaran hatinya yang tak bisa bertemu buah hatinya untuk yang terakhir. Dengan mata kepala sendiri, aku menyaksikan semuanya. Ketika mata teduh itu secara pelan-pelan menutup lalu tubuhnya terlihat diam.

Aku menjerit menyadari tubuh indah itu terkulai dalam pelukanku. Dunia bagiku gelap. Kepalaku rasanya dihantam palu godam, tak bisa bernapas lagi ditindih beban berat tadi.

**

Semenjak kepergian Siska, hancur hatiku! Walau bagaimanapun dia perempuan yang aku cintai dan tak sedikitpun berharap meninggalkannya. Namun suratan ini begitu amat menyakitkan, merenggutnya dari kehidupanku. Dia pergi ketika Delia masih berumur 2 tahun.

Sejak saat itu, anakku kubawa ke rumah orang tuaku. Di sana aku merawat dan mengasuhnya. Sungguh ini adalah takdir yang benar-benar memilukan.

Di tengah kesibukanku mencari nafkah, dia kutitipkan pada mereka berdua. Apa kau tahu rasanya jadi aku? Sungguh sangat tersiksa! Sekuat tenaga aku membesarkan dan merawat Delia, karena rasa cintaku pada Siska.

Menjelang malam kala Delia hendak memejamkan mata, Delia selalu menanyakan keberadaan sang ibu. Dan saat itulah mati-matian aku akan berusaha menenangkan dirinya dengan memeluknya erat. Sungguh ujian ini terasa begitu berat. Niatku untuk bisa mengasuhnya bersama Siska, kandas oleh suratan nasib.

Aku menutup diri tak mau mengenal wanita manapun, untuk waktu yang sangat lama sebab belum bisa melupakan bayangan Siska dari hidupku. Orang tua, saudara dan semua ipar juga semua temanku, terus mendesak agar menikah lagi. Tapi semua saran baik mereka kutolak.

Sampai suatu hari, kakak iparku datang membawa seorang perempuan yang dikenalkan padaku. Kupikir, dia mungkin wanita baik. Setelah secara terus menerus mereka mengatakan bahwa aku tak bisa mengurus Delia sendirian di dunia ini, akhirnya aku memutuskan mencoba membuka pintu hati kembali untuk mahkluk berjenis kelamin perempuan.

Di samping itu, Delia juga sudah berumur 5 tahun. Jadi tak ada salahnya aku terima saran baik tersebut. Menikah dan memberikan seorang ibu untuk Delia.

Kukatakan pada dia sebut saja Bunga, untuk sabar menanti. Sampai anakku benar-benar siap menerima seorang ibu. Dan ternyata dirinya juga sama sekali tak merasa keberatan, mau menerima keputusanku.

Akhirnya setelah setahun berselang, kuberanikan diriku berkata pada Delia kalau ibunya akan segera pulang. Sejenak ia menatap mataku, seolah merasa tak percaya atas apa yang baru saja didengar dari ayahnya. Namun aku tak kenal putus asa, terus berusaha meyakinkan itu.

''Ibu pulang Yah?'' tanyanya sambil memandangku. Mencari kebenaran di sana. Tapi aku justru memiliki firsat aneh, seolah dia tengah menyembunyikan sesuatu.

''Iya sayang, hanya saja ibumu agak kurus sedikit sebab lama tak bertemu kita.'' Aku memeluk tubuh Delia, berharap dia mau menerima kehadiran Bunga dalam hidupnya. Seketika perasaanku hancur lebur, ketika mengatakan hendak memperkenalkan sang calon ibu untuk dia. Menggantikan posisi orang tua perempuannya.

Tapi Delia hanya menatapku kosong dan tersenyum penuh misteri. Kemudian aku memberanikan diri bertanya sesuatu tentang ibunya.

''Delia, masih ingat wajah ibu?''

Kembali ia memandangku lalu menarik bibirnya ke atas, kembali tersenyum.

''Enggak Yah. Tapi Del yakin wajah ibu pasti sangat cantik dan baik hati. Karena itu Del sayang dia dan juga ayah.'' Ia membalas pertanyaanku sambil membalas pelukanku.

Tentulah Delia tak ingat ibunya. Karena pada waktu Siska wafat, ia masih sangat kecil baru berumur 2 tahun. Jadi mana mungkin dapat mengingat muka ibunya dengan jelas.

Kini tibalah momen Bunga datang ke rumah. Awalnya Delia sangat terkejut begitu tahu rupa Bunga. Bahkan saking terkejutnya, sampai aku menyuruhnya memanggil dengan sebutan mama.

Namun demikian tampaknya Delia juga tak merasa keberatan atas hadirnya Bunga ke rumah kami. Usai makan malam, Bunga membawanya ke kamar. Dia bermaksud memberikan hadiah kepada Delia, sementara aku menguntitnya dari balik pintu, menguping percakapan mereka berdua di dalam sana.

Awalnya kulihat Delia tampak senang dengan aneka hadiah yang diberikan oleh Bunga. Tap sesaat kemudian, keduanya tampat terlibat pembicaraan serius serta menegangkan.

''Aku tahu jika kamu bukan ibuku. Karena yang terjadi sesungguhnya dia udah enggak ada lagi di dunia. Ia meninggal saat aku berusia 2 tahun, ''ucapnya polos sambil menatap mata Bunga.

Mendengar ucapannya itu, baik aku maupun Bunga sama-sama ingin pingsan. Tak pernah menyangka bila Delia bisa berkata demikian pada dirinya.

''Pasti kamu bingung ya, aku tahu darimana?''

''Iya sayang.'' Bunga mengangguk dengan tubuh gemetar.

''Dari kakek dan nenekku.''

''Maksudnya?'' Kulihat mata Bunga memandangnya dengan tatapan menyelidik setengah kaget tak percaya.

''Aku mendengarnya dari nenek dan kakek, yang mengatakan jika ibuku telah meninggal sejak aku berusia 2 tahun yang lalu dan enggak akan pernah bisa hidup lagi. Obrolan itu tak sengaja aku dengar. Papa ingin memberi keyakinan padaku bahwa ibu sedang berkerja jauh, dan sekarang sudah tiba waktunya kembali pulang ke rumah.''

Tubuhku semakin bergetar hebat. Sungguh aku tak pernah menyangka jika Delia, anak sekecil itu ternyata sudah mengetahui dari dulu, sebelum kujelaskan semua.

''Tapi kamu jangan bilang ayah ya, nanti dia sedih. Kalau kamu orang baik, Del tak keberatan kok dirimu jadi ibuku.''

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi selain hanya bisa mematung dengan mulut tercekat. Tak pernah mengira, bila Delia mampu berpikir bijaksana melebihi ayahnya sendiri.

Noted :

Cerpen ini terinspirasi dari artikel yang pernah diterbitkan di situs www.sumsel.tribunnews.com (20/02/2017)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun