Aku tak pernah menyangka jika takdir perjodohanku dengan Siska, akan berakhir tragis seperti ini. Niatku untuk menghabiskan hari tua bersamanya, menimang anak dan cucu kami, terpaksa harus mengalah oleh maut yang tiba-tiba datang menjemput. Di saat putri kecilku baru berusia 2 tahun, sebuah kecelakaan hebat merenggut jiwanya.
Aku masih ingat benar saat-saat ia tengah meregang nyawa. Siang itu di rumah sakit, sambil kugenggam tangannya yang mulai melemah, dia terus memannggil-manggil Delia. Putri kecilnya yang sangat lucu dan menggemaskan.
Sebenarnya aku bermaksud membawa dirinya kala itu, supaya tahu keadaan sang ibu yang sesungguhnya. Namun cemas dia tak bakal bisa menerima kenyataan yang terjadi, maka kuurungkan niatku. Tapi mulut Siska selalu saja menanyakan dirinya dan ingin sekali dapat bertemu.
''Di mana Delia Mas? Aku ingin bertemu dia?''ucapnya lemah sambil menatap manik mataku yang tak pernah kering oleh airmata semenjak kemarin sore, ketika dia dilarikan ke rumah sakit. Ini adalah hari kedua dirinya berada dalam ruangan yang lebih mirip lorong kematian.
''Dia di rumah sayang, kau tak perlu cemas, ''jawabku sembari mengusap lembut kepalanya. Bola matanya begitu lemah saat menatapku, membuat aku tak bisa berbuat apa-apa selain memegang dadaku yang sakit, menahan kesedihan. Di samping tempat tidurnya, sebuah alat pendeteksi jantung tak henti berbunyi. Menjadikanku semakin takut dan takut. Rasanya saat itu malaikat pencabut nyawa sudah berada datang di depan istriku, dan tinggal menunggu dari Allah untuk mencabut dari raganya.
''Bisakah kau mempertemukan aku dengannya, untuk yang terakhir, ''bisiknya lirih di telingaku.
''Nanti ya, setelah kamu keluar dari rumah sakit. Sekarang istirahatlah. Dia bersama kakek dan neneknya, kamu enggak perlu cemas.'' Aku membelai lembut punggung tangannya dengan dada yang sudah teramat sesak.
Ya Tuhan, seumur hidup aku tak pernah membayangkan, bila kejadian buruk ini bakal menimpaku. Wanita yang kunikahi 3 tahun yang lalu itu, kini sedang berbaring tak berdaya di rumah sakit. Sekarat tanpa bisa aku menolongnya. Ingin aku menjerit pilu dan bertanya meminta pada Allah agar tak mengambilnya sekarang, sebab anak kami masih kecil.
''Tapi aku ingin melihat wajahnya Mas, untuk yang terakhir kali sebelum pergi. Tolong bawa dia kemari.'' Siska merengek mengeluarkan suara lemah. Bulir bening jatuh dari kedua pipinya yang mulus.
''Jangan berkata demikian sayang, kau akan sembuh dan merawat anak kita, ''jawabku sambil mendekapnya. Sungguh hari itu aku benar-benar kacau dan kalut pikiran, tak bisa berpikir jernih lagi. bayangan kematian Siska seolah-olah sudah semakin dekat, tinggal beberapa inchi saja dari tempat kami berdua di ruangan rumah sakit ini.
''Tolonglah Mas, meski sekejap pertemukan aku dengan dirinya.'' Siska terus meminta sembari menangis pilu, menyebut-nyebut nama Delia hingga suaranya makin mengecil dan hilang. Semakin lemah dan lemah, hingga akhirnya menutup mata, meninggalkan airmatanya di pipi begitu sangat deras untuk selama-lamanya.