Mohon tunggu...
erdian
erdian Mohon Tunggu... Administrasi - pemula, amatir

laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelajaran Organisasi dari Kemelut Partai Politik

3 Maret 2021   21:54 Diperbarui: 3 Maret 2021   22:23 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari terakhir ragam media ramai memberitakan masalah yang tengah dialami oleh salah satu organisasi politik (Partai Politik) besar di negeri ini, yakni Partai..., ah sudahlah, jangan sebut merk. Di mana pun dan sampai kapan pun, adalah takdir sebuah organisasi untuk mengalami dinamika, pasang-surut, soliditas, dan juga permasalahan, bahkan perpecahan. Sangat manusiawi. 

Justru dinamika itulah yang membuktikan bahwa organisasi tersebut memang dihuni oleh manusia dari planet bumi ini. Artinya, fitrah manusia memang untuk bergerak, berkembang, setuju dan tidak setuju. 

Tidak ada yang salah dengan itu. Yang penting pada akhirnya adalah evaluasi, apakah semua masalah yang datang silih berganti itu membuat organisasi semakin kuat? atau justru sebaliknya, organisasi tidak kuat menahan beban masalah yang ada di pundaknya, lalu oleng dan akhirnya karam.

Meskipun judul tulisan ini membawa embel-embel partai politik, tapi yang ingin diurai di sini sama sekali tidak terkait dengan kemelut si partai tadi. Namun, tidak ada salahnya Kita memetik pelajaran dari setiap informasi yang berkembang di sekeliling Kita. 

Apalagi, di zaman sekarang ini semua informasi begitu gampangnya didapat. Termasuk berita tentang masalah yang tengah dialami oleh salah satu partai politik besar tadi. 

Daripada Kita larut dalam perbincangan yang tidak jelas, yang ujung-ujungnya cuma membicarakan aib dan kekurangan orang lain, lebih baik Kita mencari pelajaran dari masalah yang sedang viral itu. Karena masalahnya terkait partai, maka pelajaran yang paling tepat adalah pelajaran ber-organisasi. 

Ehm, mungkin etika atau komunikasi dalam ber-organisasi. Siapa tahu  ada mahasiswa Fisip yang sedang nyari-nyari tambahan bahan. Nah, ini dia 5 pelajaran ber-organisasi yang bisa dipetik dari kemelut partai politik:

1. Jangan bergantung pada figur

Tidak bisa dipungkiri memang, faktor figur adalah faktor yang paling sering mempengaruhi opini publik terhadap sebuah organisasi. Jangan yang besar-besar lah, ibu-ibu aja waktu milih kelompok pengajian, pasti tanya-tanya dulu, ustadz atau ustadzhnya siapa? Itu normal. Kita memang ditakdirkan untuk punya rasa kagum kepada orang, barang, objek, atau apapun yang memiliki nilai keunggulan. 

Dalam sebuah organisasi, apalagi partai politik, figur terkadang bahkan bisa menjadi penentu keberhasilan. Kalau ceritanya Pemilu, masyarakat awam, hampir tidak ada itu yang pelajari visi, misi, dan program partai. Masa bodoh. Pokoknya taunya ada si Fulan aja di sana pasti langsung dipilih. 

Ketokohan yang kuat ini memang membawa dampak positif bagi organisasi. Tapi, ketokohan yang terlalu menonjol juga bisa menjadi bom waktu bagi sebuah organisasi. Pas suatu ketika, si tokoh mangkat atau sakit, atau apapunlah, pokoknya tidak lagi bisa aktif dan tidak  bisa muncul lagi (tidak bisa dijual lagi, maaf) maka goncanglah organisasi tadi. Maka, apapun organisasinya jangan bergantung pada faktor ketokohan. Organisasi yang baik adalah yang membesarkan tokoh, bukan dibesarkan oleh tokoh.

2. Hierarkhi

Kira-kira ini bermakna anak tangga karir organisasi. Memang dalam beberapa teori organisasi modern, aspek hierarkhi (penjenjangan) atau senioritas sudah tidak lagi digunakan. Yang penting adalah kapasitas dan kemampuan. Perusahaan-perusahaan swasta paling banyak yang pakai prinsip begini. 

Kalau ada kebutuhan pejabat, perusahaan akan membuka lowongan terbuka yang bebas diikuti oleh siapa saja. Yang penting bisa mendatangkan untung bagi perusahaan. Meskipun yang terpilih nantinya adalah "orang luar" dan menyisihkan "orang dalam" yang notabene sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari perusahaan tersebut. Itu oke. Karena perusahaan adalah organisasi profit yang tujuannya mencari keuntungan materi. Bagi organisasi semisal ini, malah hierarkhi bisa dianggap kuno dan bisa menjadi penghambat. 

Tapi bagi sebuah organisasi non-profit, apalagi organisasi kader, ya termasuk partai politik di dalamnya, hierarkhi atau senioritas itu penting. Hierarkhi itulah yang membangun iklim, budaya, dan ikatan emosional sebuah organisasi. 

Hierarkhi juga membangun relasi antar anggota-anggotanya. Yang tua menjadi guru dan pengasuh bagi yang muda. Tentu dalam level tertentu. Jika suatu saat yang lebih muda ternyata lebih menonjol, itu bukan masalah. 

Yang jelas di level dasar iklim tadi harus ditanamkan. Sehingga ketika anggota yang lebih junior melampaui posisi seniornya, itu dipandang sebagai keberhasilan kakak dalam membimbing adik-adiknya. Bukannya dinilai sebagai bentuk kelancangan. Nah, pola pikir itu hanya bisa tumbuh dalam organisasi yang memegang kuat heirarkhi.

3. Komunikasi

Salah satu keterampilan yang laku dijual dalam ber-organisasi adalah komunikasi. Baik ber-orasi maupun dalam melakukan lobi. Tapi, seringkali juga komunikasi itu justru menjadi masalah. Itu terjadi ketika di dalam organisasi semua orang berperan sebagai orator bukan komunikator. Komunikasi itu bukan semata-mata perkara bicara tetapi juga sabar dalam mendengar. 

Banyak organisasi pecah itu bukan karena anggota-anggota tidak pandai bicara, tetapi justeru karena tidak sabar dalam mendengar. Komunikator yang baik adalah mereka yang mampu mengkombinasikan kedua hal tadi. Komunikator yang hebat adalah adalah orang yang tahu memilih kata yang cermat kepada orang yang tepat. Dan komunikator yang bijak adalah orang yang tahu membedakan mana konten organisasi dan mana konten pribadi.

4. Tidak Gampang Membuka Aib 

Semua orang didunia ini punya dosa, setiap lembaga punya salah. Jika organisasi Kita punya kesalahan, jangan ekspose kesalahan itu. Tutupi sekuat tenaga. Kalaupun toh kesalahan itu sudah menjadi konsumsi publik, maka diamlah saja. 

Organisasi itu ibarat keluarga. Kalau ada aib dalam keluarga, maka tutupilah. Kalau ada tetangga yang coba-coba berbicara tentangnya, maka diam saja. Paling tidak, dengan diam itu, hilanglah potensi penambahan orang yang membicarakan aib itu. Demikian pula dalam organisasi. Kalau merasa sudah tidak sejalan dengan organisasi itu, maka tinggalkanlah dengan  ramah tanpa harus menyumpah serapah.

Tapi ingat, menutup aib itu bukan bermakna menutup pintu kritik dan dialog. Jika ada kesalahan yang harus diperbaiki maka perbaikilah dengan kritik dan dialog. Berdebat bahkan. Inilah pentingnya kemampuan komunikasi tadi. Ketika dialog menemui jalan buntu, maka berhentilah sejenak. Dan apabila kebuntuan itu berujung pada perpecahan, maka berpisahlah dengan lapang dada. Ingat, salah satu fungsi organisasi adalah sebagai alat pembangun silaturahim, karenanya jangan sampai gara-gara organisasi, Kita justeru merusak silaturahim.

5. Terbuka dengan Perubahan

Tidak ada hal di dunia ini yang tidak berubah. Bahkan satu-satunya hal didunia ini yang tidak pernah berubah justru adalah perubahan itu sendiri. Demikian pula organisasi. Meski memiliki budaya yang kuat, didukung oleh AD/ART yang mumpuni, namun itu tidak menjamin bahwa perubahan tidak dibutuhkan. 

Konflik paling sering terjadi dalam sebuah organisasi ketika ada orang atau kelompok yang membawa ide-ide baru yang sekilas bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dibangun lama oleh organisasi itu. 

Pada umumnya, ini terjadi ketika pemimpin baru membuat kebijakan baru yang tidak lazim digunakan dalam organisasi. Padahal, bisa jadi si pembawa ide baru itu memiliki dasar kapasitas yang kuat untuk menyampaikan idenya demi kelangsungan organisasi. Menutup diri dan gegabah menilai sebuah perubahan atau kebijakan baru bisa berakibat pada munculnya distrust. Padahal organisasi sendiri adalah sebuah akumulasi kepercayaan yang dituangkan dalam visi dan misi. 

Itulah tadi pelajaran ber-organisasi yang bisa Kita petik dari pemberitaan mengenai kemelut yang tengah melanda sebuah partai politik di negeri Kita ini. 

Poin pentingnya adalah, jangan jadikan berita-berita tentang konflik atau persoalan semacam ini hanya sebagai angin lalu dan obrolan di warung kopi, tetapi jadikanlah Ia sebagai referensi baru sehingga dapat dijadikan pembelajaran. Karena dengan mengambil pelajaran, maka setiap kemelut yang ada dapat membawa nilai positif bagi pemikiran Kita. Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun