Kini ia mengerutkan alis, mencoba memahamkan semua perkataanya dengan kemampuan berpikirnya yang lulusan magister. Tetap, cara pandangnya terhadap mendidik tidak sinkron dengan pikiran pimpinannya. Ibarat air dengan minyak, demikian pula cara pandang dirinya dengan cara pandang tuan dalam pekerjaannya, tidak bisa bersatu.Â
Tuan majikannya ibarat minyak, ia licin, enggan menyatu, merasa lebih bernilai dari sekadar air yang bisa ditemukan hampir di semua tempat. Lebih tinggi dari kata air, tidak pernah minyak direndahkan secara kosa kata, katakan misalnya minyak comberan, tapi air comberan? Ada dimana-mana dan semua seolah telah sepakat air ketika ditambah comberan menjadi sesuatu yang kotor, menjijikan, rendah bahkan harus dijauhi karena bisa saja membawa petaka berupa penyakit akibat air melewatit gundukan tahi kuda.
Dirinya yang diibaratkan air, mecoba selalu tenang, tidak memasang harga, tidak menonjolkan kualitas dengan mengaku berapa kali saringan yang dilaluinya. Ketenangannya menyulut ujung kesabaran atasan dari atasan langsungnya. Bukan, dia bukan atasannya. Dia yang diibaratkan minyak, adalah mitra pendamping bagi peningkatan mutu pegawai.Â
Dia bertugas menjaga dan meningkatkan mutu kinerja pegawai. Ketika dia memanggil seorang bawahan yang setenang air, minyak yang seharusnya mendidih lebih lambat dari air, terbalik, dia mendidih lebih cepat dan memuaikan panas ke semua arah. Percikan kata-kata rambangannya menyengat semua hati, melepuhkan ide-ide berbau inovasi tanpa pamrih, mematikan hasrat kerja tanpa imbalan dengan tuduhan miskin loyalitas kerja.
Ia bertanya-tanya,dimanakah kemurnian minyak, yang mengaku bernilai lebih mahal dari air karena dia telah berkali-kali disaring sehingga bergelar doktor dan haji, dalam hal memperbaiki kondisi pendidikan negeri ini yang saat ini rontok bahkan jatuh tergeletak pada urutan terbawah dalam segala hal. Menyalahkan memang bisa dilakukan semua orang.Â
Tapi harus diingat baik-baik, menyalahkan bukan solusi malah menimbulkan dugaan pelaku yang menyalahkan termasuk golongan pemikir kendor yang enggan mengobservasi secara cermat dan melihat masalah pada masalahnya, bukan pada siapa pelaku masalahnya. Mengancam, apalagi mengancam, menjadi penanda lemahnya si pemberi ancaman. Harus sesekali ditanyakan, ketika mengancam, ssebetulnya siapa yang merasa terancam, siapa yang takut kepada siapa.
Tuduhan tidak loyal pada kerja pokok kembali dia dengungkan. Penuh murka dia menghujat bahwa tugas utama seorang pegawai adalah berada duduk di belakang meja kerjanya. Menjadi pencorengan wajah sebuah kantor ketika sebuah kursi selalu kosong karena empunya mengerjakan tugas luar, memenuhi undangan dari kementerian untuk membina pegawai lain agar kinerjanya meningkat denga tujuan kesejahtraan nasional dan indeks kebahagiaan negeri ini menjadi lebih baik.Â
Dia sama sekali tidak menunjukkan rasa bangga bahwa orang kecil yang ibarat air, ada dimana-mana, mudah ditemui, tidak berharga, menjadi air manjur karena mampu menajamkan pikiran-pikiran lain yang dibinanya. Ibarat air biasa yang kemudian diberi jampi-jampi, dijadikan alat penyucian benda-benda keramat, bawahannya, adalah air keramat yang melampaui harga minyaknya. Kenyataan inilah yang membuatnya kecewa. Air tidak dibenarkan melampaui kualitas minyak.
Ia menatap secara diam-diam pada atasannya yang duduk sejajar dengannya. Dengung orang-orang yang satu paham dengan atasannya memekakkan telinganya. Ia mendengar jerit suara hati rekan sekerjanya yang marah dan bertanya mengapa dirinya tidak pernah beruntung mendapatkan tugas luar dan menjadi wakil dari profesinya untuk mendampingi para profesional lainnya.Â
Dari dengung yang sama, ia juga lamat-lamat mendengar serapah untuk dirinya yang dianggap teralu cepat menikmati kursi-kursi jajaran atas pada sebuah seminar, pelatihan, atau workshop. Ia mendengar dengan jelas atasan dari atasan langsungnya, memarahi dirinya dan melarangnya untuk tidak lagi meninggalkan kursi dimana ia seharusnya duduk. Kerling matanya nanar, mengandung kebencian, sekaligus ketakutan yang disembunyikan secara apik jauh dalam lubuk hatinya.
"Awas, kamu harus awas, aku mengawasimu," begitu katanya dengan suara bergetar menahan dorongan kalimat lain yang terpaksa tidak diucapkannya atas nama jabatannya sendiri yang tidak diperkenankan menggunakan kata-kata binal dan jalang untuk mengancam pegawai kecil.
Ancaman itu terdengar kering diantara hembusan hasratnya yang ingin melihat kemajuan negeri ini segera terwujud. Ia belajar tanpa henti untuk menemukan cara termudah menolong rekan dan kolega kerja seprofesinya dan hasil belajarnya ia bagi, cuma-cuma. Untuk sebuah perubahan, ia meninggalkan kursinya. Ketidakdudukan di kursinya itulah yang jadi masalah.Â
Bagi atasannya bekerja dihitung dengan seberapa setia pegawainya duduk di kursi yang disediakannya. Yang penting duduk. Apakah duduk untuk melamun, untuk main WA, Facebook, nonton film porno, semuanya tidak penting. Hitungannya ada di kursi. Produk kerja pada saat menduduki kursi, tidak dihitung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H