Mohon tunggu...
Badriah Yankie
Badriah Yankie Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk keabadian

Badriah adalah pengajar bahasa Inggris SMA yang menyukai belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru Dapat Mengubah Hidup Siswa

5 Januari 2018   15:14 Diperbarui: 5 Januari 2018   15:19 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Ada yang sangat suka hatinya ketika mulutnya sanggup melontarkan hinaan pada orang yang tidak dikenalnya atas nama kepuasan semu. Ada yang bisa tertawa terbahak ketika mampu memojokkan anak tak bermata tanpa jelas tawanya untuk apa. Saya katakan pada siswa saya bahwa menjadi orang tak bermata bukan berarti saya menjadi orang tak berhati, tak berjantung, tak berperasaan. 

Saya melihat bahwa orang bermata sepasang, mereka sombong, memposisikan orang bermata setengah sebagai bahan hinaan yang sangat mengenyangkan rasa sombong itu. Selama SMP, SMA, kata saya sambil membuat bulatan dan diberi keterangan tahun, saya merasa Tuhan tak berkeadilan.  

Kenapa Tuhan menentukan saya harus menjalani hidup yang tidak seceria orang lain. Kenapa setiap hari harus saya tebus dengan isak tertahan, dengan rasa takut bahwa esok hinaan apa lagi yang harus  masuk telinga saya, dengan kengerian mendengar kakak kikik orang yang mencemooh mata saya, dengan rasa rendah diri yang menelantarkan harga diri saya sendiri.  

Sempat saya membuat satu kesimpulan bahwa 'sakit itulah sembuh saya, dan sedih itulah bahagia saya.' Kesimpulan yang terlalu gegabah dan terdengar naif. Ketidakberdayaan membuatnya semakin yakin bahwa saya bukan orang beruntung, bukan orang yang dicari, bukan siapa-siapa. 

Hidup berjalan, kata saya sambil membuat titik baru dan diberi angka di bawahnya, demikian juga hidup saya. Banyak sakit secara fisik, mental,  banyak duka, banyak lapisan-lapisan dalam hidup yang disusun dari rasa terasing, terlahir pada dunia yang salah, tapi saya hidup, seolah ada tugas yang harus saya selesaikan. 

Saya berterimakasih kepada mereka yang selalu melihat kekurangan saya, karena merekalah kini saya bisa melihat diri saya secara berlawanan. 

Saya melanjutkan biografi sampai siswa memilih tidak menikmati jajan pagi. Mereka menentukan bahwa biografi gurunya lebih menggoda ketimbang Seblak pedas yang biasa mereka pesan hampir setiap hari. Hari ini, tidak ada istirahat, begitu keputusan mereka.

Garis hidup saya selesai dikisahkan. Para siswa seolah tidak percaya bahwa garis itu berakhir pada angka 5 Januari 2018. Mereka menunggu. Tapi saya tak dapat berkisah, 6 Januari 2018 belum saya lalui. Maka saya meminta siswa menuliskan apa yang mereka pelajari hari ini.

Beragam komentar mereka tuliskan, mulai dari rasa syukur karena bermata sepasang,  rasa bahagia karena tidak harus bersanding dengan dewa perenggut awas mata, rasa senang karena tidak setiap hari menerima hinaan. 

Saya menemukan satu hal yang hampir senada. Para siswa menuliskan bahwa mereka lebih mencintai dirinya yang sekarang, lebih bersyukur dengan tubuhnya yang sekarang, lebih lega dengan nasibnya yang harus dilaluinya mulai sekarang,  dan lebih hormat pada dirinya. Mereka berjanji lewat goresan pena bahwa mereka akan mencintai diri sendiri dengan lebih baik. 

Para siswa menjadi dirinya, dan mencoba  menjalani hidup dengan mengikuti takdirnya, namun mencoba melakukan yang terbaik semampunya atas nama hormat pada diri sendiri,  bagi saya, itulah resolusi dan perubahan besar bagi hidup seorang siswa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun