Ia melihat air matanya tetes, putih, menggulung, menggumpal. Ayahnya penuh sesal minta maaf atas kejamnya pilihan yang tak memilih anaknya untuk bisa menghirup nafas remajanya. Ia hanya menatap ayahnya yang memunguti air matanya. Harum semerbak air matanya membuat semua orang datang dan memintanya menangis secara paksa.Â
Mereka yang datang menorehkan mata pisau pada tubuhnya sehingga mengalirlah darah dan air matanya. Mereka menyebutnya Ki Menyan. Ia merasa terkejut, mengapa dirinya menjadi lelaki. Ia menerima dirinya disebut Ki Menyan dan mengizinkan butir keringat, butir air mata, dan butir darahnya dipunguti darinya. Mereka membakarnya fan menciumi harum dirinya. Dirinya menemukan harum dirinya di luar tubuhnya. Ia bahagia. Bahagia dari luar dirinya.
Dalam kebahagiaanya yang sendiri dan menjadi lelaki, ia sempat mempertanyakan bagaimana dirinya menurunkan kisah hidupnya pads turunannya. Apakah ia menjadi semacam cacing yang bisa berubah kelamin dan bereproduksi tanpa berpasangan. Ia hanya bisa menggoyangkan daun-daun kebingungan yang menutupi setiap ujung pikirannya.
Burung-burung menemani dirinya dan mengabarkan ayahandanya telah mendapatkan semua andai dengan menjual butir keringat, butir keringat, butir darah yang ia keluarkan. Ayahnya telah bahagia dari luar dirinya.
Kini ia menunggu, entah siapa. Namanya yang baru telah membuatnya harum, diburu, ditunggu.Ki Menyan. Ia merasa perlu bahagia dari luar dirinya seperti halnya ayahnya. Bahagia itu telah bersiap untuknya.Â
Hamirung, diantar burung berdiri tanpa jarak darinya. Ia menikah dengan Hamirung, entah dari mana asalnya, ia hanya tahu Hamirung bersedia menemaninya selamanya. Ia hanya mendengar orang-orang mengomentarinya sebagai pasangan abadi dengan penikahan sakral. Ki Menyan berdempet dengan Hamirung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H