Keberadaannya tentu saja tidak mencolok. Ia hanya gadis miskin yang tidak memiliki segala benda duniawi yang mampu menaikkan derajatnya sebagai manusia merdeka. Satu-satunya yang membuat dirinya manjadi pusat perhatian kemanapun ia melangkah adalah parasnya. Ia teramat jelita untuk lahir dari keluarga miskin.Â
Seolah ia dibesarkan pada rahim yang salah, sehingga sampai masa remaja dimana para gadis memoles diri dan menjual senyumnya, ia malah semakin tenggelam dalam kemiskinan yang kian hari kian menyesakkan dada kedua orang tuanya.
Ia tidak mengetahui bahwa hadirnya menjadi beban bagi ayah bundanya. Ia hanya mendengar sesekali ayahnya menarik nafas panjang yang diakhiri dengan berkata jika, andaikan, seumpama.Â
Namun ia tidak memperhatikan itu, baginya kalimat berkondisi seperti itu tidak dapat berwujud selama syaratnya belum terpenuhi. Setiap ayahnya berandai-andai ia mencari celah yang bisa menjadi penebus syarat. Ia mengambil air ke sumur ketika ayahnya berandai-andai bisa minum air jahe hangat. Ia menebus syarat pemenuhan andai.
Andai yang didengung-dengungkan ayahnya makin tak ia pahami. Andai punya rumah bagus, maka tidur akan nyenyak, hilang khawatir tercucur air hujan yang memaksa lewat bocor-bocor atap alamg-alang rumahnya. Andai punya banyak uang, maka makan bisa enak, segala lapar terbayar. Andai kamu bersedia menikah dengan Ki Kabut, semua persoalan hidup kamu, ayah dan bundamu, semuanya henti. Andai.
Ia tak memahami andai-andai ayahnya. Baginya, hidup mengalir mengikuti nafas. Nafaslah yang harua dijaga. Bukan andai bisa bernafas. Bukan andai bersanding dengan pria tua yang nafasnya penuh kata-kata kotor congkak karena merasa tiada tanding urusan duit dan harta benda. Ki Kabut, sesuai namanya, banyak yang ditutupinya agar bisa nafas bebas. Andai ia bersanding Ki Kabut, maka tertutuplah nafasnya dari menghirup udara remaja.
Ayahnya terlalu termakan andai yang dalam matanya amat menggoda. Ayahnya tanpa persetujuan dirinya juga bundanya, telah memberikan anak untuk mendapatkan macam-macam andai. Ia hanya bisa mengais-ngais nasib dan mencoba mempertahankannya dengan berlari. Ia berlari tanpa jeda, tanpa arah, tanpa pikir. Ia hanya ingin ayahnya bahagia tanpa menyandingkan dirinya dengan kabut gelap lelaki tua perampas kebahagiaan banyak anak gadis.
Pelarian dari andai mengantarnya pada malam di puncak bukit nan sunyi. Kemana arah mata memandang, ia hanya melihat semuanya seolah telah sama. Semuanya berjumlah lima. Ia melewati lima undak tanah. Ia melalui lima sungai. Ia dikelilingi lima bukit. Ia berhadapan lurus berjajar dengan lima gunung. Ia menyerahkan nafas pada sang alam.Â
Ia meminta agar dirinya dapat memenuhi semua andai yang dalam benak sang ayah. Ia berdiri, angin menerpanya, ia merasa dirinya tumbuh, berakar, bertunas, berdaun, bercabang. Ia menjadi pohon, menjulang diatas bukit. Sangat mudah ditemukan karena hanya ia satu-satunya pohon yang bisa tumbuh diantara batu-batu kotak yang dimuntahkan letusan gunung jutaan tahun yang lalu.
Ia menangis, menangisi andai ayah yang tidak memberinya bahagia untuk dirinya. Ia memutuskan untuk membahagiakan ayah, juga semua orang yang menemuinya. Ia menatap dirinya yang berbaju kulit.Â
Sedikit rasa bangga menyelimuti dirinya karena dirinnya telah lepas dari memikirkan bahagia dirinya. Ia tidak melihat ke dalam dirinya, tapi ke sekitar luar dirinya. Bahagia itu datang dari luar, bukan dari dalam. Sama seperti andai yang didengungkan ayahnya, dia datang dari luar. Dari luar kemampuan ayahnya dan harus meminta rangkulan orang tak berhati bernama Ki Kabut.