Mohon tunggu...
Badriah Yankie
Badriah Yankie Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk keabadian

Badriah adalah pengajar bahasa Inggris SMA yang menyukai belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Serenity of Adelaide

18 Maret 2017   09:47 Diperbarui: 18 Maret 2017   10:51 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelima, siswa masih menggunakan kertas dan pensil selama proses pembelajaran. Memang benar pada saat pembelajaran guru menggunakan interactive whiteboard dan sesekali menggunakan whiteboard. Tapi para siswa mengerjakan latihan pada lembar kerja siswa dan dikumpulkan serta diperiksa secara manual oleh gurunya. Untuk penilaian, guru tidak menuliskan angka. Mereka menuliskan huruf A, B, C sampai F, dan deskripsi makna dari huruf tersebut.

Para siswa diberi pinjaman laptop, sejenis Chromebook selama belajar di kelas. Ketika ada tugas yang membutuhkan berselancar ke Google, mereka memanfaatkan Chroomebook tersebut. Jangan mengira siswa bisa sekehendak hati ketika berselancar, guru segera mengingatkan ketika siswa melakukan aktivitas diluar perintah. Mereka ditegur keras, dan diminta pindah ke ruang hukuman. Hukuman yang diterima siswa sangatlah unik. Dia masuk ke sebuah ruang, dan diminta duduk di sana memikirkan kenapa dia ada di ruang itu. Setelah waktu hukuman selesai, dia kembali ke kelas. Tidak terdengar guru memaki, atau memarahi. Siswa yang dihukum kembali belajar seolah menerima dan memahami kenapa dihukum telah menjadi bagian dari proses belajar itu sendiri.  

Para siswa juga masih membaca buku kertas (printed book) selain buku elektronik dan buku digital. Pada saat materi ajar membaca, para siswa membawa kartu dan menyodorkannya kepada pegawai perpustakaan. Pegawai perpustakaan langsung memberikan buku. Rupanya, buku yang akan dibaca telah disetting oleh guru, sehingga pada saat ke perpustakaan bukunya telah siap. Kemudian mereka membaca buku bersama gurunya. Guru membimbing siswanya memahami isi buku dengan cara memprediksi dari jilid, dan gambar yang ada pada jilid. Dalam waktu dua jam membaca, mereka hanya membaca sekitar 3 halaman. Setiap baris, paragraf, dan frase yang (dianggap) tidak dikenal oleh siswa, dibahas bersama gurunya. Setelah itu guru meminta siswanya melanjutkan membaca di rumah dan melaporkan pemahaman bacaannya pada reading log (semacam Jurnal yang ditulis tangan).

Keenam,pelajaran yang diajarkan tidak jauh berbeda yakni menyangkut sikap, pengetahuan dan keterampilan. Setiap siswa dibimbing untuk belajar secara optimal. Para guru membantu siswa untuk mengenal kelebihan yang dimiliki siswanya. Dengan cara ini, para siswa merasa bahwa dirinya memilki keunggulan yang dapat membantunya berhasil dalam belajar dan dalam kehidupannya. Misalnya, ada siswa yang merasa bahwa dia tidak mampu mengikuti pembelajaran karena secara intelektual dia tergolong pembelajar yang lambat. Siswa itu sangat suka pada bunga Anggrek. Maka dia, belajar tentang hal ihwal Anggrek sebagai keterampilan vokasi disamping dia tetap harus mengikuti pelajaran biasa.

Siswa yang menyukai Anggrek tadi, diberi pengetahuan dan keterampilan tentang tanaman Anggrek. Pada saat kelas 11, dia diberi kesempatan mengikuti ujian keterampilan tentang Anggrek. Misalnya dia memperoleh Sertifikat yang menjelaskan bahwa dia (misalnya) terampil mengurus, memperbanyak, dan mengawinkan Anggrek. Dengan modal sertifikat ini, dia bisa bekerja di tempat yang menuntut kebutuhan keterampilan yang disebutkan tadi. Di Australia ada kewajiban bahwa setiap pelamar kerja diterima selama dia bisa menunjukkan sertifikat keterampilan.  Dengan kata lain, siswa pembelajar lambat, bisa keluar dari SMA kelas 11, dan bekerja karena telah memiliki keterampilan tertentu.

Di SMA Woodville, sekolah bekerja sama dengan beberapa perusahaan, pertanian, dan juga pabrik donat. Siswa pembelajar lambat, diberi keterampilan sesuai dengan kesukaannya, misalnya siswa senang membuat kue donat, mereka belajar membuat roti dan donat. Selama mereka belajar membuat roti dan donat, mereka berlatih di pabrik yang bekerja sama dengan sekolah. Mereka diberi kebebasan untuk menciptakan model baru, atau membuat rasa baru. Karya mereka sebelum dijual ke pasaran, dicoba dulu dengan cara diberikan ke sekolah setiap hari Kamis.  Setelah mereka mendapatkan sertifikat terampil, mereka bisa meninggalkan sekolah dan bekerja.

Terakhir, (bukan tentang siswa) di Adelaide Australia tidak ada kantong keresek (gratis) pada saat belanja. Jika di Indonesia kita belanja di warung, di mini market, di supermarket, di manapun, pasti belajaannya diserahkan kepada kita dengan kantong keresek plastik. Hal ini tidak terjadi di Adelaide. Ketika belanja ke Coles, membeli apapun, tasnya dari pembeli. Biasanya pembeli membawa tas belanja dari rumah. Kalau belanjaannya bisa masuk tas yang sedang kita bawa, langsung masuk tas saja. Bisa saja diberi kantong, namun dikenai bayaran khusus untuk kantong.

Gaya belanja dengan membawa kantong sendiri sangat membantu tidak bertebarannya kantong keresek yang sulit diuraikan oleh alam. Selain hemat, karena kantong bisa dipakai berulang-ulang, juga memberikan sensasi sebagai warga negara bertanggung jawab. Akibat langsung dari kebiasaan membawa kantong belanja sendiri adalah tidak ada sampah keresek yang gepeng tergilas mobil selama bertahun-tahun nempel di jalan dan di trotoar. 

SMA Woodville dan SMA manapun di Indonesia memiliki banyak kesamaan, yaitu kesamaan secara konten pelajaran yakni mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Kesamaan komposisi kelas, yakni dalam satu kelas siswa berasal dari beragam daerah. Kesamaan tampilan, yaitu memakai seragam. Dari banyaknya kesamaan, semoga siswa Indonesia sama pula literatnya, kepatuhannya, keseriusan belajarnya sehingga dalam waktu tidak lama, bangsa ini sama-sama menjadi warga negara internasional yang saling bergandengan tangan membawa bangsanya ke tingkat peradaban yang lebih tinggi.

Bayangan bahwa siswa SMA Woodville di Adelaide Australia ketika bersekolah mereka tidak menggunakan seragam, berkulit putih semua (bule), bahasa Inggris sebagai bahasa Ibu, kaya-kaya, belajarnya memakai peralatan canggih, jajanannya keren-keren,  ke sekolah membawa mobil sendiri atau paling tidak mengendarai motor, dan serba bebas; semuanya salah. Siswa SMA di sana, menjalani kehidupan sehari-hari sebagai pembelajar untuk beberapa hal sama dan tidak berbeda jauh dengan di Indonesia. Beberapa hal yang berbeda (yang membuatnya mendapat sebutan sebagai warga negara literat) diuraikan di bawah ini.

Pertama, para siswa terlihat sangat keren dan rapi karena mereka memakai seragam. Seragam terdiri dari kemeja atasan berwarna putih dan bawahan (celana panjang untuk putra, dan rok untuk putri) berwarna biru, dasi dan topi. Selain itu, sesuai cuaca, seragam dilengkapi pula dengan rompi berbahan wool, dan blazer. Mereka dengan bangga memakai seragam yang menjadikannya tampil beda dari siswa yang bersekolah di tempat lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun