Bayangan bahwa siswa SMA Woodville di Adelaide Australia ketika bersekolah mereka tidak menggunakan seragam, berkulit putih semua (bule), bahasa Inggris sebagai bahasa Ibu, kaya-kaya, belajarnya memakai peralatan canggih, jajanannya keren-keren, Â ke sekolah membawa mobil sendiri atau paling tidak mengendarai motor, dan serba bebas; semuanya salah. Siswa SMA di sana, menjalani kehidupan sehari-hari sebagai pembelajar untuk beberapa hal sama dan tidak berbeda jauh dengan di Indonesia. Beberapa hal yang berbeda (yang membuatnya mendapat sebutan sebagai warga negara literat) diuraikan di bawah ini.
Pertama, para siswa terlihat sangat keren dan rapi karena mereka memakai seragam. Seragam terdiri dari kemeja atasan berwarna putih dan bawahan (celana panjang untuk putra, dan rok untuk putri) berwarna biru, dasi dan topi. Selain itu, sesuai cuaca, seragam dilengkapi pula dengan rompi berbahan wool, dan blazer. Mereka dengan bangga memakai seragam yang menjadikannya tampil beda dari siswa yang bersekolah di tempat lain.
Bagaimana dengan gurunya? Para guru di SMA Woodville tidak menggunakan seragam. Mereka menggunakan pakaian yang sesuai untuk mengajar. Carly, salah satu guru bahasa Inggris di sana. Ketika mengajar memakai baju casual dengan memakai rok dan bagian atasnya memakai kemeja dan blazer. Kadang-kadang dia juga memakai celana panjang. Pakaian guru tidak diseragamkan namun ada kesamaan pandangan diantara mereka bahwa pada saat mengajar mereka menggunakan pakaian yang sopan.
Yang tidak seragam adalah rambut. Siswa dan guru memiliki gaya rambut masing-masing. Carly misalnya, ketika mengajar, rambutnya yang panjang, diikat rapi sehingga tidak mengganggu, malah memberikan kesan elegan. Rambutnya dicat warna warni memakai kombinasi warna ungu, merah, dan kuning terlihat tidak mencolok karena ditata sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kulitnya yang putih. Sedangkan para siswanya sangat rapi rambutnya. Siswa putra rata-rata berambut pendek. Siswa putri, jika rambutnya panjang, mereka tidak membiarkan rambutnya tergerai begitu saja, namun dikepang rapi atau diikat. Tidak satu siswapun yang terlihat rambutnya acak-acakan, dan tidak satupun yang rambutnya dicat. Seolah ada kesepakatan tidak tertulis bahwa rambut tidak menutupi wajah pada saat belajar.
Kedua, warga sekolah (siswa, guru, penjaga sekolah) semuanya taat aturan. Sebagai contoh kecil adalah patuh pada ketetapan bahwa semua orang harus menghemat listrik.
Saat musim dingin, setiap ruangan di sekolah termasuk kelas dilengkapi dengan pemanas ruangan. Cara menggunakan pemanas ruangan memiliki aturan yang tanpa kecuali dipatuhi semua warga sekolah. Ketika masuk ke dalam kelas, pemanas ruangan dinyalakan. Setelah suhu ruangan sesuai dan cukup hangat, pemanas dimatikan. Mereka sangat hati-hati dengan penggunaan listrik. Gaya hidup irit listrik, dilaksanakan tidak hanya dalam bentuk mematikan peralatan listrik pada saat tidak dipakai seperti yang dilaksanakan di sekolah. Namun di rumah, mereka juga mengamalkan sikap menggunakan listrik sesuai kebutuhannya. Pada malam hari, ketika tidur, lampu kamar dimatikan. Bagi yang tidak biasa, tidur dalam gelap gulita tentulah tidak nyaman. Alasan mereka mematikan lampu selain menghemat listrik, juga memberikan kesempatan kepada tubuh untuk kembali ke alam. Maksudnya, malam hari secara alamiahnya gelap. Hukum alam menetapkan siang hari terang dan malam hari gelap. Ketika ada pikiran jika malam hari harus terang benderang karena ada listrik, menurut mereka, pemikiran seperti itu salah. Ketika malam tiba, hak tubuh menerima hal alami, yakni gelap agar tubuh dapat beristirahat dan dapat memperbarui sel secara sempurna. Maka, tanpa kecuali, di Australia, jika malam hari dan saatnya tidur, kamarnya gelap gulita.
Ketiga, siswa dan guru tidak jajan. SMA Woodville memiliki kantin, namun sedikit sekali siswa yang jajan. Kantin adalah tempat mereka untuk memakan makanan bekal karena umumnya, siswa dan guru membawa bekal dari rumah. Yang menarik, pada hari Selasa sekolah memberikan apel dan pada hari Kamis sekolah memberikan donat kepada semua warga sekolah. Apel dan donat diberikan ke setiap kelas; para siswa juga guru bebas mengambil berapapun. Rata-rata mereka hanya mengambil satu karena mereka telah membawa bekal sendiri seperti pisang, jeruk, roti, atau makanan lain yang dibawa dari rumah.
Diluar sekolahpun, mereka tidak jajan. Di negara kita, setiap jengkal, mulai dari rumah sampai ke sekolah, pinggiran jalan dipenuhi pedagang aneka rupa makanan dan minuman. Di Woodville, tidak ada. Anak-anak Australia tidak berkeliaran di mall ataupun Coles (sejenis mini market) dengan berseragam kemudian membeli ini itu seperti anak-anak di sini. Mereka makan dan minum sesuai jadwal dan kebutuhan. Mereka tidak dibekali uang, untuk bepergian dan membayar bis atau trem mereka menggunakan kartu. Mereka memiliki uang kalau mereka bekerja terlebih dahulu.
Urusan tidak jajan berlaku pula setelah mereka kuliah. Mereka tetap membawa bekal dari rumah dan pada saat istirahat mereka masuk ke sebuah ruangan tempat makan siang. Di ruangan ini, mereka mengantri untuk menghangatkan makanan. Jika mereka membawa roti, mereka mengantri di tempat pemanas roti. Jika membawa makanan lain, mereka mengantri di depan microwave. Semuanya dengan tertib makan di meja yang disediakan. Selesai makan, meja dibersihkan. Seolah tidak ada tanda-tanda bahwa ruangan itu sebelumnya penuh oleh mahasiswa dan dosen yang makan. Mahasiswa, mahasiswi dan dosen semuanya mencuci piring atau peralatan yang dipakainya. Rupanya, di Australia, urusan masak, mencuci, dan membersihkan rumah menjadi tanggung jawab semua anggota keluarga. Anak laki-laki sama tugasnya dengan anak perempuan. Jangan kaget ketika melihat anak laki-laki atau ayah mencuci piring dan memasak untuk seluruh keluarga.
Keempat, siswa dalam satu kelas, tidak bule semua. Hampir semua kelas bersifat multietnis dan multibangsa. Pada kelas bahasa Inggris yang diajari oleh Carly, siswanya ada 12 orang berasal dari 7 negara yang berbeda, termasuk siswa dari suku Aborigin dan pengungsi. Oleh karenanya, kemampuan berbahasa Inggris mereka beragam. Â Pada saat tertentu, di luar kelas, kadang terdengar mereka berbicara dengan temannya dengan menggunakan bahasa asal negaranya. Namun ketika di dalam kelas, mereka berbahasa Inggris.
Para siswa dan guru sepertinya tidak terganggu dengan perbedaan mencolok secara fisik dari teman sekelas dan sesekolah mereka. Tidak pernah terdengar sekalipun mereka menyinggung soal perbedaan bangsa, bahasa, makanan, pakaian, ataupun agama. Mereka duduk semeja dan serius belajar tanpa terdengar ejekan ‘kamu hitam, kamu jelek, kamu miskin’. Kata Carly, guru mereka, semua orang sama, didalamnya terdiri dari tulang berwarna putih, yang membuatnya unik dan spesial adalah mereka dibungkus oleh kulit yang warnanya tidak sama. Artinya, semua orang pada dasarnya sama, dan semua orang unik serta spesial.
Kelima, siswa masih menggunakan kertas dan pensil selama proses pembelajaran. Memang benar pada saat pembelajaran guru menggunakan interactive whiteboard dan sesekali menggunakan whiteboard. Tapi para siswa mengerjakan latihan pada lembar kerja siswa dan dikumpulkan serta diperiksa secara manual oleh gurunya. Untuk penilaian, guru tidak menuliskan angka. Mereka menuliskan huruf A, B, C sampai F, dan deskripsi makna dari huruf tersebut.
Para siswa diberi pinjaman laptop, sejenis Chromebook selama belajar di kelas. Ketika ada tugas yang membutuhkan berselancar ke Google, mereka memanfaatkan Chroomebook tersebut. Jangan mengira siswa bisa sekehendak hati ketika berselancar, guru segera mengingatkan ketika siswa melakukan aktivitas diluar perintah. Mereka ditegur keras, dan diminta pindah ke ruang hukuman. Hukuman yang diterima siswa sangatlah unik. Dia masuk ke sebuah ruang, dan diminta duduk di sana memikirkan kenapa dia ada di ruang itu. Setelah waktu hukuman selesai, dia kembali ke kelas. Tidak terdengar guru memaki, atau memarahi. Siswa yang dihukum kembali belajar seolah menerima dan memahami kenapa dihukum telah menjadi bagian dari proses belajar itu sendiri. Â
Para siswa juga masih membaca buku kertas (printed book) selain buku elektronik dan buku digital. Pada saat materi ajar membaca, para siswa membawa kartu dan menyodorkannya kepada pegawai perpustakaan. Pegawai perpustakaan langsung memberikan buku. Rupanya, buku yang akan dibaca telah disetting oleh guru, sehingga pada saat ke perpustakaan bukunya telah siap. Kemudian mereka membaca buku bersama gurunya. Guru membimbing siswanya memahami isi buku dengan cara memprediksi dari jilid, dan gambar yang ada pada jilid. Dalam waktu dua jam membaca, mereka hanya membaca sekitar 3 halaman. Setiap baris, paragraf, dan frase yang (dianggap) tidak dikenal oleh siswa, dibahas bersama gurunya. Setelah itu guru meminta siswanya melanjutkan membaca di rumah dan melaporkan pemahaman bacaannya pada reading log (semacam Jurnal yang ditulis tangan).
Keenam,pelajaran yang diajarkan tidak jauh berbeda yakni menyangkut sikap, pengetahuan dan keterampilan. Setiap siswa dibimbing untuk belajar secara optimal. Para guru membantu siswa untuk mengenal kelebihan yang dimiliki siswanya. Dengan cara ini, para siswa merasa bahwa dirinya memilki keunggulan yang dapat membantunya berhasil dalam belajar dan dalam kehidupannya. Misalnya, ada siswa yang merasa bahwa dia tidak mampu mengikuti pembelajaran karena secara intelektual dia tergolong pembelajar yang lambat. Siswa itu sangat suka pada bunga Anggrek. Maka dia, belajar tentang hal ihwal Anggrek sebagai keterampilan vokasi disamping dia tetap harus mengikuti pelajaran biasa.
Siswa yang menyukai Anggrek tadi, diberi pengetahuan dan keterampilan tentang tanaman Anggrek. Pada saat kelas 11, dia diberi kesempatan mengikuti ujian keterampilan tentang Anggrek. Misalnya dia memperoleh Sertifikat yang menjelaskan bahwa dia (misalnya) terampil mengurus, memperbanyak, dan mengawinkan Anggrek. Dengan modal sertifikat ini, dia bisa bekerja di tempat yang menuntut kebutuhan keterampilan yang disebutkan tadi. Di Australia ada kewajiban bahwa setiap pelamar kerja diterima selama dia bisa menunjukkan sertifikat keterampilan. Â Dengan kata lain, siswa pembelajar lambat, bisa keluar dari SMA kelas 11, dan bekerja karena telah memiliki keterampilan tertentu.
Di SMA Woodville, sekolah bekerja sama dengan beberapa perusahaan, pertanian, dan juga pabrik donat. Siswa pembelajar lambat, diberi keterampilan sesuai dengan kesukaannya, misalnya siswa senang membuat kue donat, mereka belajar membuat roti dan donat. Selama mereka belajar membuat roti dan donat, mereka berlatih di pabrik yang bekerja sama dengan sekolah. Mereka diberi kebebasan untuk menciptakan model baru, atau membuat rasa baru. Karya mereka sebelum dijual ke pasaran, dicoba dulu dengan cara diberikan ke sekolah setiap hari Kamis. Â Setelah mereka mendapatkan sertifikat terampil, mereka bisa meninggalkan sekolah dan bekerja.
Terakhir, (bukan tentang siswa) di Adelaide Australia tidak ada kantong keresek (gratis) pada saat belanja. Jika di Indonesia kita belanja di warung, di mini market, di supermarket, di manapun, pasti belajaannya diserahkan kepada kita dengan kantong keresek plastik. Hal ini tidak terjadi di Adelaide. Ketika belanja ke Coles, membeli apapun, tasnya dari pembeli. Biasanya pembeli membawa tas belanja dari rumah. Kalau belanjaannya bisa masuk tas yang sedang kita bawa, langsung masuk tas saja. Bisa saja diberi kantong, namun dikenai bayaran khusus untuk kantong.
Gaya belanja dengan membawa kantong sendiri sangat membantu tidak bertebarannya kantong keresek yang sulit diuraikan oleh alam. Selain hemat, karena kantong bisa dipakai berulang-ulang, juga memberikan sensasi sebagai warga negara bertanggung jawab. Akibat langsung dari kebiasaan membawa kantong belanja sendiri adalah tidak ada sampah keresek yang gepeng tergilas mobil selama bertahun-tahun nempel di jalan dan di trotoar.Â
SMA Woodville dan SMA manapun di Indonesia memiliki banyak kesamaan, yaitu kesamaan secara konten pelajaran yakni mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Kesamaan komposisi kelas, yakni dalam satu kelas siswa berasal dari beragam daerah. Kesamaan tampilan, yaitu memakai seragam. Dari banyaknya kesamaan, semoga siswa Indonesia sama pula literatnya, kepatuhannya, keseriusan belajarnya sehingga dalam waktu tidak lama, bangsa ini sama-sama menjadi warga negara internasional yang saling bergandengan tangan membawa bangsanya ke tingkat peradaban yang lebih tinggi.
Bayangan bahwa siswa SMA Woodville di Adelaide Australia ketika bersekolah mereka tidak menggunakan seragam, berkulit putih semua (bule), bahasa Inggris sebagai bahasa Ibu, kaya-kaya, belajarnya memakai peralatan canggih, jajanannya keren-keren, Â ke sekolah membawa mobil sendiri atau paling tidak mengendarai motor, dan serba bebas; semuanya salah. Siswa SMA di sana, menjalani kehidupan sehari-hari sebagai pembelajar untuk beberapa hal sama dan tidak berbeda jauh dengan di Indonesia. Beberapa hal yang berbeda (yang membuatnya mendapat sebutan sebagai warga negara literat) diuraikan di bawah ini.
Pertama, para siswa terlihat sangat keren dan rapi karena mereka memakai seragam. Seragam terdiri dari kemeja atasan berwarna putih dan bawahan (celana panjang untuk putra, dan rok untuk putri) berwarna biru, dasi dan topi. Selain itu, sesuai cuaca, seragam dilengkapi pula dengan rompi berbahan wool, dan blazer. Mereka dengan bangga memakai seragam yang menjadikannya tampil beda dari siswa yang bersekolah di tempat lain.
Bagaimana dengan gurunya? Para guru di SMA Woodville tidak menggunakan seragam. Mereka menggunakan pakaian yang sesuai untuk mengajar. Carly, salah satu guru bahasa Inggris di sana. Ketika mengajar memakai baju casual dengan memakai rok dan bagian atasnya memakai kemeja dan blazer. Kadang-kadang dia juga memakai celana panjang. Pakaian guru tidak diseragamkan namun ada kesamaan pandangan diantara mereka bahwa pada saat mengajar mereka menggunakan pakaian yang sopan.
Yang tidak seragam adalah rambut. Siswa dan guru memiliki gaya rambut masing-masing. Carly misalnya, ketika mengajar, rambutnya yang panjang, diikat rapi sehingga tidak mengganggu, malah memberikan kesan elegan. Rambutnya dicat warna warni memakai kombinasi warna ungu, merah, dan kuning terlihat tidak mencolok karena ditata sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kulitnya yang putih. Sedangkan para siswanya sangat rapi rambutnya. Siswa putra rata-rata berambut pendek. Siswa putri, jika rambutnya panjang, mereka tidak membiarkan rambutnya tergerai begitu saja, namun dikepang rapi atau diikat. Tidak satu siswapun yang terlihat rambutnya acak-acakan, dan tidak satupun yang rambutnya dicat. Seolah ada kesepakatan tidak tertulis bahwa rambut tidak menutupi wajah pada saat belajar.
Kedua, warga sekolah (siswa, guru, penjaga sekolah) semuanya taat aturan. Sebagai contoh kecil adalah patuh pada ketetapan bahwa semua orang harus menghemat listrik.
Saat musim dingin, setiap ruangan di sekolah termasuk kelas dilengkapi dengan pemanas ruangan. Cara menggunakan pemanas ruangan memiliki aturan yang tanpa kecuali dipatuhi semua warga sekolah. Ketika masuk ke dalam kelas, pemanas ruangan dinyalakan. Setelah suhu ruangan sesuai dan cukup hangat, pemanas dimatikan. Mereka sangat hati-hati dengan penggunaan listrik. Gaya hidup irit listrik, dilaksanakan tidak hanya dalam bentuk mematikan peralatan listrik pada saat tidak dipakai seperti yang dilaksanakan di sekolah. Namun di rumah, mereka juga mengamalkan sikap menggunakan listrik sesuai kebutuhannya. Pada malam hari, ketika tidur, lampu kamar dimatikan. Bagi yang tidak biasa, tidur dalam gelap gulita tentulah tidak nyaman. Alasan mereka mematikan lampu selain menghemat listrik, juga memberikan kesempatan kepada tubuh untuk kembali ke alam. Maksudnya, malam hari secara alamiahnya gelap. Hukum alam menetapkan siang hari terang dan malam hari gelap. Ketika ada pikiran jika malam hari harus terang benderang karena ada listrik, menurut mereka, pemikiran seperti itu salah. Ketika malam tiba, hak tubuh menerima hal alami, yakni gelap agar tubuh dapat beristirahat dan dapat memperbarui sel secara sempurna. Maka, tanpa kecuali, di Australia, jika malam hari dan saatnya tidur, kamarnya gelap gulita.
Ketiga, siswa dan guru tidak jajan. SMA Woodville memiliki kantin, namun sedikit sekali siswa yang jajan. Kantin adalah tempat mereka untuk memakan makanan bekal karena umumnya, siswa dan guru membawa bekal dari rumah. Yang menarik, pada hari Selasa sekolah memberikan apel dan pada hari Kamis sekolah memberikan donat kepada semua warga sekolah. Apel dan donat diberikan ke setiap kelas; para siswa juga guru bebas mengambil berapapun. Rata-rata mereka hanya mengambil satu karena mereka telah membawa bekal sendiri seperti pisang, jeruk, roti, atau makanan lain yang dibawa dari rumah.
Diluar sekolahpun, mereka tidak jajan. Di negara kita, setiap jengkal, mulai dari rumah sampai ke sekolah, pinggiran jalan dipenuhi pedagang aneka rupa makanan dan minuman. Di Woodville, tidak ada. Anak-anak Australia tidak berkeliaran di mall ataupun Coles (sejenis mini market) dengan berseragam kemudian membeli ini itu seperti anak-anak di sini. Mereka makan dan minum sesuai jadwal dan kebutuhan. Mereka tidak dibekali uang, untuk bepergian dan membayar bis atau trem mereka menggunakan kartu. Mereka memiliki uang kalau mereka bekerja terlebih dahulu.
Urusan tidak jajan berlaku pula setelah mereka kuliah. Mereka tetap membawa bekal dari rumah dan pada saat istirahat mereka masuk ke sebuah ruangan tempat makan siang. Di ruangan ini, mereka mengantri untuk menghangatkan makanan. Jika mereka membawa roti, mereka mengantri di tempat pemanas roti. Jika membawa makanan lain, mereka mengantri di depan microwave. Semuanya dengan tertib makan di meja yang disediakan. Selesai makan, meja dibersihkan. Seolah tidak ada tanda-tanda bahwa ruangan itu sebelumnya penuh oleh mahasiswa dan dosen yang makan. Mahasiswa, mahasiswi dan dosen semuanya mencuci piring atau peralatan yang dipakainya. Rupanya, di Australia, urusan masak, mencuci, dan membersihkan rumah menjadi tanggung jawab semua anggota keluarga. Anak laki-laki sama tugasnya dengan anak perempuan. Jangan kaget ketika melihat anak laki-laki atau ayah mencuci piring dan memasak untuk seluruh keluarga.
Keempat, siswa dalam satu kelas, tidak bule semua. Hampir semua kelas bersifat multietnis dan multibangsa. Pada kelas bahasa Inggris yang diajari oleh Carly, siswanya ada 12 orang berasal dari 7 negara yang berbeda, termasuk siswa dari suku Aborigin dan pengungsi. Oleh karenanya, kemampuan berbahasa Inggris mereka beragam. Â Pada saat tertentu, di luar kelas, kadang terdengar mereka berbicara dengan temannya dengan menggunakan bahasa asal negaranya. Namun ketika di dalam kelas, mereka berbahasa Inggris.
Para siswa dan guru sepertinya tidak terganggu dengan perbedaan mencolok secara fisik dari teman sekelas dan sesekolah mereka. Tidak pernah terdengar sekalipun mereka menyinggung soal perbedaan bangsa, bahasa, makanan, pakaian, ataupun agama. Mereka duduk semeja dan serius belajar tanpa terdengar ejekan ‘kamu hitam, kamu jelek, kamu miskin’. Kata Carly, guru mereka, semua orang sama, didalamnya terdiri dari tulang berwarna putih, yang membuatnya unik dan spesial adalah mereka dibungkus oleh kulit yang warnanya tidak sama. Artinya, semua orang pada dasarnya sama, dan semua orang unik serta spesial.
Kelima, siswa masih menggunakan kertas dan pensil selama proses pembelajaran. Memang benar pada saat pembelajaran guru menggunakan interactive whiteboard dan sesekali menggunakan whiteboard. Tapi para siswa mengerjakan latihan pada lembar kerja siswa dan dikumpulkan serta diperiksa secara manual oleh gurunya. Untuk penilaian, guru tidak menuliskan angka. Mereka menuliskan huruf A, B, C sampai F, dan deskripsi makna dari huruf tersebut.
Para siswa diberi pinjaman laptop, sejenis Chromebook selama belajar di kelas. Ketika ada tugas yang membutuhkan berselancar ke Google, mereka memanfaatkan Chroomebook tersebut. Jangan mengira siswa bisa sekehendak hati ketika berselancar, guru segera mengingatkan ketika siswa melakukan aktivitas diluar perintah. Mereka ditegur keras, dan diminta pindah ke ruang hukuman. Hukuman yang diterima siswa sangatlah unik. Dia masuk ke sebuah ruang, dan diminta duduk di sana memikirkan kenapa dia ada di ruang itu. Setelah waktu hukuman selesai, dia kembali ke kelas. Tidak terdengar guru memaki, atau memarahi. Siswa yang dihukum kembali belajar seolah menerima dan memahami kenapa dihukum telah menjadi bagian dari proses belajar itu sendiri. Â
Para siswa juga masih membaca buku kertas (printed book) selain buku elektronik dan buku digital. Pada saat materi ajar membaca, para siswa membawa kartu dan menyodorkannya kepada pegawai perpustakaan. Pegawai perpustakaan langsung memberikan buku. Rupanya, buku yang akan dibaca telah disetting oleh guru, sehingga pada saat ke perpustakaan bukunya telah siap. Kemudian mereka membaca buku bersama gurunya. Guru membimbing siswanya memahami isi buku dengan cara memprediksi dari jilid, dan gambar yang ada pada jilid. Dalam waktu dua jam membaca, mereka hanya membaca sekitar 3 halaman. Setiap baris, paragraf, dan frase yang (dianggap) tidak dikenal oleh siswa, dibahas bersama gurunya. Setelah itu guru meminta siswanya melanjutkan membaca di rumah dan melaporkan pemahaman bacaannya pada reading log (semacam Jurnal yang ditulis tangan).
Keenam,pelajaran yang diajarkan tidak jauh berbeda yakni menyangkut sikap, pengetahuan dan keterampilan. Setiap siswa dibimbing untuk belajar secara optimal. Para guru membantu siswa untuk mengenal kelebihan yang dimiliki siswanya. Dengan cara ini, para siswa merasa bahwa dirinya memilki keunggulan yang dapat membantunya berhasil dalam belajar dan dalam kehidupannya. Misalnya, ada siswa yang merasa bahwa dia tidak mampu mengikuti pembelajaran karena secara intelektual dia tergolong pembelajar yang lambat. Siswa itu sangat suka pada bunga Anggrek. Maka dia, belajar tentang hal ihwal Anggrek sebagai keterampilan vokasi disamping dia tetap harus mengikuti pelajaran biasa.
Siswa yang menyukai Anggrek tadi, diberi pengetahuan dan keterampilan tentang tanaman Anggrek. Pada saat kelas 11, dia diberi kesempatan mengikuti ujian keterampilan tentang Anggrek. Misalnya dia memperoleh Sertifikat yang menjelaskan bahwa dia (misalnya) terampil mengurus, memperbanyak, dan mengawinkan Anggrek. Dengan modal sertifikat ini, dia bisa bekerja di tempat yang menuntut kebutuhan keterampilan yang disebutkan tadi. Di Australia ada kewajiban bahwa setiap pelamar kerja diterima selama dia bisa menunjukkan sertifikat keterampilan. Â Dengan kata lain, siswa pembelajar lambat, bisa keluar dari SMA kelas 11, dan bekerja karena telah memiliki keterampilan tertentu.
Di SMA Woodville, sekolah bekerja sama dengan beberapa perusahaan, pertanian, dan juga pabrik donat. Siswa pembelajar lambat, diberi keterampilan sesuai dengan kesukaannya, misalnya siswa senang membuat kue donat, mereka belajar membuat roti dan donat. Selama mereka belajar membuat roti dan donat, mereka berlatih di pabrik yang bekerja sama dengan sekolah. Mereka diberi kebebasan untuk menciptakan model baru, atau membuat rasa baru. Karya mereka sebelum dijual ke pasaran, dicoba dulu dengan cara diberikan ke sekolah setiap hari Kamis. Â Setelah mereka mendapatkan sertifikat terampil, mereka bisa meninggalkan sekolah dan bekerja.
Terakhir, (bukan tentang siswa) di Adelaide Australia tidak ada kantong keresek (gratis) pada saat belanja. Jika di Indonesia kita belanja di warung, di mini market, di supermarket, di manapun, pasti belajaannya diserahkan kepada kita dengan kantong keresek plastik. Hal ini tidak terjadi di Adelaide. Ketika belanja ke Coles, membeli apapun, tasnya dari pembeli. Biasanya pembeli membawa tas belanja dari rumah. Kalau belanjaannya bisa masuk tas yang sedang kita bawa, langsung masuk tas saja. Bisa saja diberi kantong, namun dikenai bayaran khusus untuk kantong.
Gaya belanja dengan membawa kantong sendiri sangat membantu tidak bertebarannya kantong keresek yang sulit diuraikan oleh alam. Selain hemat, karena kantong bisa dipakai berulang-ulang, juga memberikan sensasi sebagai warga negara bertanggung jawab. Akibat langsung dari kebiasaan membawa kantong belanja sendiri adalah tidak ada sampah keresek yang gepeng tergilas mobil selama bertahun-tahun nempel di jalan dan di trotoar.Â
SMA Woodville dan SMA manapun di Indonesia memiliki banyak kesamaan, yaitu kesamaan secara konten pelajaran yakni mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Kesamaan komposisi kelas, yakni dalam satu kelas siswa berasal dari beragam daerah. Kesamaan tampilan, yaitu memakai seragam. Dari banyaknya kesamaan, semoga siswa Indonesia sama pula literatnya, kepatuhannya, keseriusan belajarnya sehingga dalam waktu tidak lama, bangsa ini sama-sama menjadi warga negara internasional yang saling bergandengan tangan membawa bangsanya ke tingkat peradaban yang lebih tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H