Selalu menyenangkan ketika berbicara tentang cinta dan teman hidup. Media dunia seolah memiliki cerita yang tak ada habisnya untuk membicarakan topik ini. Lagu-lagu Pop terkenal, puisi-puisi cinta, dan cerita-cerita cinta antara dua anak manusia--laki-laki dan perempuan tentunya--sungguh mendominasi semua metafora dan sajak para penyair dan musisi sepanjang sejarah.
Saya, dalam hal ini jelas bukanlah pengecualian. Merasakan cinta, aktif maupun pasif, mengalami sakit dan senangnya, serta selalu terinspirasi untuk suatu saat nanti memiliki cerita cinta sejati, yang tak akan luntur dimakan waktu, dan menjadi sebuah kenangan yang sangat indah dan mengagumkan ketika suatu saat nanti cerita itu disampaikan ke anak-cucu. Sungguh..., saya benar-benar merindukannya dan berjuang untuk itu.
Ketika merenung, dalam usaha untuk memperoleh pemahaman yang benar tentang panjang, lebar, dan dalamnya cinta sejati itu, harus diakui, saya menemukan fenomena yang miris akhir-akhir ini. Kita sedang berbicara tentang sesuatu yang sempit, namun efeknya benar-benar merusak, tak tanggung-tanggung, satu generasi adalah korbannya. Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk kembali ke tahun-tahun 70-90-an, di mana saat itu puisi-puisi dan lagu-lagu cinta yang dirilis oleh musisi dan penyanyi kita benar-benar dalam dan sangat menaruh respek terhadap apa itu kata cinta. Mereka mengerti betul apa arti mencintai dan betapa pentingnya respek yang tepat ketika kita mengatakan kata itu pada lawan jenisnya. Benar-benar tulus dan sangat mendalam.
Sebuah kutipan lagu mungkin dapat saya ambil di sini:
"...kita berdiri begitu rapat, hingga suasana begitu hangat
tanganmu kupegang erat-erat, kenangan itu selalu kuingat.."
Anda mungkin tahu lirik lengkapnya dan jika kita mau memikirkannya, ini bukanlah cinta dan kenangan yang murahan. Ada pesan yang begitu kuat tentang kesetiaan dan kenangan indah, dan disampaikan dengan rangkaian melodi yang elegan, sangat khas zaman itu. Ada banyak cerita tentang lagu-lagu yang dalam seperti ini, yang mungkin melodinya tidak lagi sesuai zaman, namun ukiran katanya benar-benar abadi dalam ingatan.
Hal ini benar-benar sulit untuk kita temukan di masa sekarang. Kata cinta begitu mudah diucapkan, dan telah terdistorsi dengan pragmatisme zaman sekarang. Tidak ada kesetiaan, tidak ada kenangan yang menggetarkan, semua hanya tentang kenikmatan sesaat dan sangat dipaksakan untuk diterima oleh pasar.
"Putus nyambung...3x,
sekarang putus, besok nyambung lagi..."
Kutipan lagu ini mungkin mewakili betapa rendahnya makna sebuah hubungan yang dibangun oleh kita kaum muda yang hidup di zaman posmodern ini. Begitu mudah mengatakan cinta, dan begitu mudah pula memutuskannya. Tidak ada lagi makna kesetiaan, dan bahkan kesetiaan sendiri hanyalah sebuah kebodohan bagi generasi ini. Entahlah...mungkin seharusnya kita malu dengan ini.
Zaman benar-benar telah berubah. Orang-orang tidak lagi peduli dengan apa yang sebaiknya dilakukan. Seorang anak yang seharusnya masih bernyanyi "Balonku ada lima" pun sudah bernyanyi "Jangan...jangan...kau menolak cintaku", dan dengan mudahnya kita mengatakan ini sebagai bagian dari zaman dan sebaiknya mengikutinya, benar-benar menggelikan.
Akhirnya, saya sampai pada sebuah refleksi, apakah degradasi makna cinta dan kesetiaan ini telah menggerus nilai-nilai moral dan hidup bangsa kita ini sampai sedemikian rendahnya? Jangan-jangan, inilah penyebab bangsa ini tidak lagi memiliki keteraturan di berbagai sisi kehidupan.
Para artis melakukan perselingkuhan, politisi semakin sulit dibedakan dengan para koruptor, dan siswa serta mahasiswa menjadi aktor utama atas seks bebas dan narkotika.
Lagi-lagi, semoga saya salah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H