Udara dingin pagi menyapa kulitku. Aku berjalan pelan, mengikuti alunan lagu penjual nasi goreng yang melantun di gang sempit. Aroma wangi rempah dan asap kayu membelai hidungku. Mataku tak sengaja tertuju pada sebuah kios kecil yang menjual berbagai barang antik. Kaca mata bundar milik kakek terlintas dalam benakku.
Aku mendekati kios itu. Segera, seorang pria berwajah keriput dengan senyum ramah menyambutku. "Ada yang dicari, Nak?" tanyanya. Aku menggeleng, "Tidak, Pak. Hanya ingin melihat-lihat."
Mata-mataku berkelana, menjelajahi aneka benda usang yang tertata rapi di etalase. Kaca mata, jam tangan, radio kuno, semuanya bercerita tentang masa silam. Tiba-tiba, pandangan ku terhenti pada sebuah kotak kayu tua. Di dalamnya tersimpan sebuah kaca mata bundar, yang sangat mirip dengan milik kakek.
"Boleh saya lihat?" tanyaku. Pria tua itu mengangguk dan menyerahkan kotak itu padaku. Aku membuka kotak itu dengan perlahan. Kaca mata itu bermandikan debu, tapi tetap terlihat elegan. Aku menyentuhnya dengan lembut. Bayangan kakek tersenyum, terukir jelas dalam ingatan.
Kakek selalu memakai kaca mata itu saat membaca koran di teras, sambil menikmati secangkir kopi panas. Ia juga memakai kaca mata itu saat bercerita tentang masa kecilnya, tentang perang, tentang cinta, dan tentang harapan.
"Ini milik kakekmu, ya?" tanya pria tua itu. Aku tertegun. Dari mana ia tahu?
"Bagaimana kau tahu?" tanyaku. "Aku memang mencari kaca mata mirip ini. Kakekku meninggal beberapa bulan lalu dan kacamata ini adalah satu-satunya benda yang tertinggal."
Pria tua itu tersenyum. "Kakekmu pernah menjualnya di sini, beberapa tahun lalu. Ia mengatakan, kacamata ini adalah saksi bisu dari masa-masa indah hidupnya."
Aku terdiam, terharu. Kakek ternyata pernah menjual kaca mata kesayangannya. Mungkin karena alasan yang tak bisa ia ceritakan.
"Berapa harganya?" tanyaku.
"Tidak usah dibayar, Nak. Ini hadiah untukmu."
Aku tercengang. "Tapi..."
"Tidak perlu sungkan. Kakekmu pernah berpesan, 'Jika ada yang mencari kacamata ini, berilah mereka secara cuma-cuma. Katakan padanya, bahwa hidup harus selalu berlanjut.'"
Aku mengangguk, mataku berkaca-kaca. Aku mengambil kaca mata itu dan menyimpannya dengan hati-hati. Kaca mata itu bukan hanya sekedar benda mati, tetapi sebuah simbol dari masa-masa indah bersama kakek.
Aku melangkah meninggalkan kios itu. Udara dingin pagi seolah terasa lebih hangat. Suara penjual nasi goreng masih melantun di gang sempit. Aku berjalan dengan langkah lebih ringan, dengan kaca mata kakek yang tersimpan dengan erat di saku bajuku. Kakek, aku akan terus mengingat cerita-cerita indahmu, melalui kaca mata ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H