Belakangan ini Kompasiana ramai lagi. Soal perolehan K-Rewards dan artikel seperti apa yang layak dapat Pilihan dan Headline (Artikel Utama). Apakah Pengelola Kompasiana pilih kasih, cuma jenis artikel itu-itu saja yang jadi Headline? Atau Kompasiana memang membosankan karena artikel Kompasianer itu-itu melulu yang jadi Artikel Utama?
Kompasianer Centang Hijau dan Biru
Dulu semua Kompasianer yang baru gabung dan data dirinya lengkap, dapat centang hijau di sebelah namanya. Sekarang saya lihat Kompasiana lebih ringan dalam memberikan centang biru ke Kompasianer, cukup punya 20 artikel Headline Kompasianer sudah dapat centang biru. Mungkin karena pemberian centang hijau sudah tidak ada lagi.
Sebelumnya, banyak yang berpendapat kalau centang hijau dan biru ini menciptakan diskriminasi dan kasta di antara Kompasianer. Ada Kompasianer yang bertahun-tahun hijau terus karena tidak ada tulisannya yang jadi Headline. Ini dialami oleh banyak Fiksianer.Â
Centang biru sebagai kasta tertinggi dianggap istimewa karena semua artikel mereka, meski cuma satu paragraf, otomatis dapat label Pilihan. Mereka juga bisa dinominasikan dan jadi pemenang Kompasiana Awards.Â
Meski begitu centang biru tidaklah seistimewa itu karena kalau melanggar S&K mereka bisa kembali jadi centang hijau. Yang saya saksikan pernah kembali jadi hijau adalah OmJay dan David Abdullah. OmJay karena perkara buku, David karena keterangan gambar.Â
Mungkin pada akhirnya Pengelola Kompasiana mendengar soal centang hijau dan biru ini karena sekarang tidak ada lagi Kompasianer centang hijau. Pun sekarang Kompasianer yang belum bercentang biru bisa jadi nomine Kompasiana Awards.
Kalau begitu kenapa centang biru tidak dihapus juga? Jangan, dong, centang biru itu sebagai penghargaan atas kesungguhan Kompasianer menghasilkan artikel yang sesuai selera Admin berkualitas.
Dari mana tolok ukur suatu artikel berkualitas atau tidak?Â
Beyond Blogging
Slogan Beyond Blogging dimulai sejak 2017 dengan semangat Lebih dari Sekadar Ngeblog. Melansir kompascom, Kompasiana mengajak dan memberikan ruang bagi blogger untuk bersama-sama berbagi konten positif dan bermanfaat luas, sekaligus menjadi ruang interaksi melalui beragam kegiatan online dan offline yang rutin digelar.Â
Dari sini bisa kita simpulkan kalau konten provokatif yang memojokkan pihak tertentu, menantang keras suatu kelompok, atau penuh hujatan tidak bakalan dapat label Pilihan apalagi Artikel Utama. Lolos karantina saja sudah sukur banget.
Waktu jagoan saya kalah Pilkada saya mangkel. Pengin curhat dan menunjukkan pada dunia kalau kekalahan itu tidak adil karena campur tangan kekuasaan. Saya pilih diksi dan kalimat yang menyindir halus dan tidak provokatif. Alhamdulillah jadi Artikel Utama meski sempat beberapa jam kena karantina.
Melihat makna dibalik Beyond Blogging-Lebih dari Sekadar Ngeblog itulah maka artikel yang berbentuk laporan ala media berita dan parafrasa (menulis ulang suatu artikel dari media massa atau sumber lainnya) sulit untuk dapat label Pilihan apalagi Artikel Utama.
Opini Bermakna
Pada 2021 COO Kompasiana Nurulloh pada kompascom mengatakan, "Harapannya, di tahun ke-13 ini, Kompasiana dapat memperkuat posisinya sebagai platform yang dapat mengonversi 'noise' menjadi 'voice', sehingga menimbulkan dampak baik serta dapat mendorong literasi digital masyarakat Indonesia terutama di kalangan muda."
Dari sini kita bisa tarik makna bahwa artikel yang diinginkan Kompasiana jadi Pilihan dan Artikel Utama adalah artikel yang bukan cuma protes provokatif, tapi menghasilkan masukan, saran, dan pendapat yang santun dan masuk akal. Karena kalau sekadar "bising" malah akan menjadikan Kompasiana bak media sosial belaka.
Saya juga pernah nulis soal peninggalan Wangsa Syailendra di Magelang terus kena karantina beberapa jam. Ada kata dari stupa di Borobudur yang mungkin dianggap sensitif karena berkaitan dengan peninggalan dua mantan presiden.
Berarti benar, dong, kalau artikel di Kompasiana membosankan? Tidak ada topik kekinian atau antimainstream karena isinya basi semua. Tidak juga. Saya pernah menulis soal hubungan intim tiga ronde, tidak kena pelanggaran padahal topiknya termasuk vulgar.
Pun pernah menulis artikel agak laen dengan judul Katanya Miskin Kok Gendut, malah jadi Headline. Budi Susilo, Felix Tani, Mbah Ukik, dan banyak Kompasianer lawas lain juga sering menulis artikel dengan bahasan serius, tapi dibacanya tidak membosankan.
Cerpen-cerpen dari Ayah Tuah dan mendiang Indra Rahadian sering jadi Headline karena positif dan bermanfaat luas. Cerpen-cerpen mereka banyak tentang isu-isu sosial dengan kemasan yang tanpa menghakimi dan menggurui. Tidak heran kalau mereka terpilih jadi Best in Fiction Kompasiana Awards 2021 dan 2023. Pun Pical Gadi juga sering membuat puisi dan cerpen serupa.
Ini membuktikan Kompasianer sangat boleh kritis terhadap apa pun yang terjadi di lingkungannya, tapi kalau ingin jadi Artikel Utama kita harus mengemasnya sesuai Beyond Blogging dan Opini Bermakna tadi.
Rumah Buat Semua
Apa yang saya tulis ini subjektif berdasarkan pengalaman menulis dan membaca banyak artikel Kompasianer, jadi sangat mungkin tidak sesuai keadaan yang real.
Namun, tampak jelas bahwa Kompasiana ingin jadi rumah bagi semua suku, agama, ras, dan golongan, maka diterapkanlah syarat dan ketentuan yang ketat dengan sistem filter dan karantina artikel. Kompasiana ingin jadi blog publik yang membuat semua orang merasa opini dan pikirannya diterima.
Secara tidak langsung, S&K yang ketat melatih kita untuk menulis secara halus dengan tetap sesuai fakta, data, dan bisa dipertanggungjawabkan bahkan setelah kita tiada di dunia ini.
Saya pikir itu yang jadi selera Admin Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H