Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Membidas Selera Admin Kompasiana

7 Januari 2025   14:42 Diperbarui: 7 Januari 2025   15:47 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah pribadi dari Canva

Melihat makna dibalik Beyond Blogging-Lebih dari Sekadar Ngeblog itulah maka artikel yang berbentuk laporan ala media berita dan parafrasa (menulis ulang suatu artikel dari media massa atau sumber lainnya) sulit untuk dapat label Pilihan apalagi Artikel Utama.

Opini Bermakna

Pada 2021 COO Kompasiana Nurulloh pada kompascom mengatakan, "Harapannya, di tahun ke-13 ini, Kompasiana dapat memperkuat posisinya sebagai platform yang dapat mengonversi 'noise' menjadi 'voice', sehingga menimbulkan dampak baik serta dapat mendorong literasi digital masyarakat Indonesia terutama di kalangan muda."

Dari sini kita bisa tarik makna bahwa artikel yang diinginkan Kompasiana jadi Pilihan dan Artikel Utama adalah artikel yang bukan cuma protes provokatif, tapi menghasilkan masukan, saran, dan pendapat yang santun dan masuk akal. Karena kalau sekadar "bising" malah akan menjadikan Kompasiana bak media sosial belaka.

Ajakan untuk mengonversi kebisingan menjadi sesuatu yang bermanfaat sejak tahun ke-13 Kompasiana | Dok. Kompasiana via kompas.com
Ajakan untuk mengonversi kebisingan menjadi sesuatu yang bermanfaat sejak tahun ke-13 Kompasiana | Dok. Kompasiana via kompas.com

Saya juga pernah nulis soal peninggalan Wangsa Syailendra di Magelang terus kena karantina beberapa jam. Ada kata dari stupa di Borobudur yang mungkin dianggap sensitif karena berkaitan dengan peninggalan dua mantan presiden.

Berarti benar, dong, kalau artikel di Kompasiana membosankan? Tidak ada topik kekinian atau antimainstream karena isinya basi semua. Tidak juga. Saya pernah menulis soal hubungan intim tiga ronde, tidak kena pelanggaran padahal topiknya termasuk vulgar.

Pun pernah menulis artikel agak laen dengan judul Katanya Miskin Kok Gendut, malah jadi Headline. Budi Susilo, Felix Tani, Mbah Ukik, dan banyak Kompasianer lawas lain juga sering menulis artikel dengan bahasan serius, tapi dibacanya tidak membosankan.

Cerpen-cerpen dari Ayah Tuah dan mendiang Indra Rahadian sering jadi Headline karena positif dan bermanfaat luas. Cerpen-cerpen mereka banyak tentang isu-isu sosial dengan kemasan yang tanpa menghakimi dan menggurui. Tidak heran kalau mereka terpilih jadi Best in Fiction Kompasiana Awards 2021 dan 2023. Pun Pical Gadi juga sering membuat puisi dan cerpen serupa.

Ini membuktikan Kompasianer sangat boleh kritis terhadap apa pun yang terjadi di lingkungannya, tapi kalau ingin jadi Artikel Utama kita harus mengemasnya sesuai Beyond Blogging dan Opini Bermakna tadi.

Rumah Buat Semua

Apa yang saya tulis ini subjektif berdasarkan pengalaman menulis dan membaca banyak artikel Kompasianer, jadi sangat mungkin tidak sesuai keadaan yang real.

Namun, tampak jelas bahwa Kompasiana ingin jadi rumah bagi semua suku, agama, ras, dan golongan, maka diterapkanlah syarat dan ketentuan yang ketat dengan sistem filter dan karantina artikel. Kompasiana ingin jadi blog publik yang membuat semua orang merasa opini dan pikirannya diterima.

Secara tidak langsung, S&K yang ketat melatih kita untuk menulis secara halus dengan tetap sesuai fakta, data, dan bisa dipertanggungjawabkan bahkan setelah kita tiada di dunia ini.
Saya pikir itu yang jadi selera Admin Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun