Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Gelar Karya P5 dan Tipe Orangtua Tiap Ada Kegiatan di Sekolah

22 Desember 2024   14:10 Diperbarui: 25 Desember 2024   07:12 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Libur sekolah sedang berlangsung sampai 6 Januari 2025, tapi sisa cerita kegiatan di semester kemarin sayang kalau tidak diceritakan.

Di kelas 7 SMP tempat anak lelaki kami belajar, P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) diadakan selama dua pekan berturut-turut. Selama P5 tidak ada pelajaran lain. Pada P5 pertama yang bertema Bangun Jiwa Raga Berempati dan Membangun Akhlak Terhadap Sesama, kelas 7 belajar bahasa isyarat, mengenali huruf braille, melakukan senam bersama dan memberi bingkisan kepada teman-teman dari SLB, juga membuat es buah.

Pada P5 kedua yang bertema Demokrasi, kelas 7 belajar apa itu demokrasi dan bagaimana mempraktikkan demokrasi di rumah dan sekolah. Mereka juga menyusun proposal untuk menggelar pemilihan ketua OSIS baru. Acara dipuncaki oleh pemilihan ketua OSIS langsung dibilik suara oleh kelas 7, 8, dan 9.

Terus Apa Hubungannya Sama Orangtua?

Kalau kegiatan P5-nya seperti itu tentu orangtua tidak perlu repot membantu sekolah. Kalaupun ada dana yang harus dikeluarkan biasanya sudah terbiayai dari BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Kerepotan baru terjadi kalau diadakan gelar karya untuk memamerkan hasil belajar siswa selama pelajaran P5.

Di SD anak perempuan kami dan banyak SD di Kabupaten Magelang, gelar karya/pameran P5 diadakan setahun dua kali untuk memamerkan hasil belajar P5 siswa selama satu semester. Apa yang dipamerkan tergantung dari tema yang diangkat sekolah. Misal tema kewirausahaan, kesenian dan kebudayaan, lingkungan hidup, atau lainnya sesuai kebutuhan dan kebijakan sekolah.

Kalau ada gelar karya sudah pasti orangtua harus membantu karena tiap kelas perlu stand yang harus dihias, diisi, dan dibiayai oleh orangtua yang terhimpun dalam paguyuban kelas. Memang, tidak semua orangtua harus terlibat mengurusi tetek-bengek, biasanya cuma pengurus paguyuban saja.

Ada kelas yang cuma punya empat pengurus, ada juga yang punya delapan pengurus. Kalau para pengurus kewalahan, barulah minta bantuan orangtua nonpengurus untuk ikut membantu membuat dekorasi, menyusun stand, dan segala keperluan pameran. Siapa yang mau jadi pengurus juga sifatnya sukarela. 

Saya terpilih jadi pengurus paguyuban secara tidak sengaja karena tidak ada orang yang mau mengisi posisi wakil ketua, maka saya yang kena tunjuk di akhir. Padahal sudah diam anteng berusaha tidak menarik perhatian. 

Posisi wakil memang sebetulnya gak perlu karena segala keputusan ada ditangan ketua. Untuk formalitas ya sudah diadakanlah posisi wakil ketua paguyuban. Anggap aja numpang eksis, minimal bisa dikenal sama wali kelas. Tiap ada kegiatan sekolah, pengurus payugubanlah yang paling capek turun tangan.

Beruntung kalau ada orangtua nonpaguyuban yang rela turun membantu, tapi amat sangat jarang. Makanya beberapa ketua paguyuban memberlakukan denda Rp50.000-Rp100.000 bagi orangtua yang tidak hadir membantu di kegiatan kerja bakti kelas, tujuhbelasan, karnaval, atau gelar karya P5.

Terlepas dari denda yang diberlakukan kepada orangtua yang enggan ribet, ada empat tipe orangtua yang paling sering kita jumpai kalau sekolah sedang ada gelar karya atau kegiatan lain.

Si Paling Semangat

Selalu ada orangtua yang semangat membantu sekolah tiap ada kegiatan. Mereka selalu semangat dan punya bermacam cara untuk menggalang dana dan tenaga dari sesama orangtua siswa. Si Paling Semangat biasanya menjabat sebagai ketua paguyuban atau anggota Komite Sekolah. Jadi dia merasa perlu untuk terlibat tiap sekolah bikin kegiatan.

Meski tidak diminta, si Paling Semangat akan selalu memberi inisiatif dan ide bagaimana kegiatan sekolah akan berjalan. Namun, jeleknya si Paling Semangat kadang kebablasan karena mengira semua bisa sesuai keinginannya. Makanya dia jadi mau menang sendiri, sulit diajak kerja sama kalau idenya tidak dijalankan, dan gambang ngambek.

Semua guru di sekolah pasti mengenal si Paling Semangat karena dia tidak pernah absen di satu pun kegiatan sekolah dan selalu menyempatkan berinteraksi dengan para guru.

Si Paling Pasrah

Si Paling Pasrah sebetulnya sedang capek atau bosan karena selalu mengurusi kebutuhan kelas tiap ada kegiatan sekolah. Namun, dia sungkan menolak. Meski begitu, hasil kerjanya selalu baik dan sering jadi andalan kalau pengurus paguyuban lain sedang berhalangan ikut kegiatan sekolah.

Si Paling Pasrah juga biasanya menjabat sebagai bendahara paguyuban. Karena dia yang pegang duit makanya si Paling Pasrah sering dimintai tolong untuk wara-wiri membeli keperluan kelas guna berpartisipasi pada kegiatan sekolah.

Dia sering tidak bisa menolak kalau dimintai tolong atau dibebankan sesuatu, makanya kadang dimanfaatkan oleh orangtua lain yang malas. Si Paling Pasrah baru berani menolak kalau sedang sakit atau ada keluarganya yang meninggal. Sama seperti si Paling Semangat, si Paling Pasrah juga dikenal para guru karena paling sering diminta terlibat di tiap kegiatan sekolah.

Si Paling Kelihatan

Ada orangtua yang juga selalu hadir tiap sekolah butuh bantuan untuk menyiapkan kegiatan. Namun, si Paling Kelihatan hampir tidak pernah ngapa-ngapain. Padanya berlaku prinsip, gak perlu ikut repot yang penting batang hidung kelihatan. Tidak bisa disalahkan juga, sih, yang penting, kan, datang.

Soal dia cuma nyuruh-nyuruh atau duduk sambil ngobrol dengan orangtua lain, siapa juga yang bisa menyalahkan, yang penting dia diminta datang dan beneran datang. Ndilalah, tidak ada orangtua lain yang berani minta bantuannya saat mereka butuh bantuan menata dan menyusun untuk gelar karya atau kegiatan lain yang akan diadakan sekolah.

Si Paling Ngumpet

Saya pernah punya ketua paguyuban yang ngomel di grup karena ada orangtua yang sejak kelas 1 sampai kelas 5 tidak pernah berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Ikut kerja bakti membersihkan dan menata kelas tidak pernah, waktu ambil rapor pun paling belakangan dan tidak berinteraksi dengan orangtua yang lain. 

Jangankan berpartisipasi dan berinteraksi, memberi emoji dan memberi komentar di grup saja tidak pernah. Setelah ketua paguyuban ngomel-ngomel, barulah si Paling Ngumpet datang membantu menata untuk lomba kebersihan dan kecantikan kelas tujuhbelasagustusan.

Si Paling Ngumpet hampir tidak pernah mengantar-jemput sekolah karena sibuk bekerja. Pun tidak pernah menyahut dan berkomentar di grup. Paling menonjol adalah, si Paling Ngumpet jarang berinteraksi dengan sesama orangtua, kalau kebetulan bertemu di sekolah, karena satu sama lain tidak saling mengenal.

Pelibatan Orangtua di Sekolah

Terlibatnya orangtua di kegiatan sekolah memang diminta oleh Permendikbud No. 30/2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan. Sampai sekarang Peraturan Menteri ini masih berlaku meski menterinya sudah dua kali ganti dan kementeriannya dipecah.

Permendikbud ini punya tujuan meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab bersama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan. Jadi orangtua tidak boleh lagi berpikir urusan pendidikan dan penguatan karakter anak ada di tangan sekolah saja.

Zaman saya sekolah di era 1990-an orangtua ke sekolah cuma untuk ambil rapor atau kalau anaknya berulah. Tidak ada rapat paguyuban, rapat komite, atau rapat kegiatan yang harus dihadiri. Ada POMG, tapi hampir tidak pernah ada rapat POMG antara orangtua dengan sekolah.

Sekarang tiap sekolah membutuhkan, orangtua bisa dimintai tolong dan terlibat di dalamnya. Makin aktif dan berprestasi sekolahnya, makin sering orangtua akan dilibatkan. Sebabnya, satu, karena jumlah dan tenaga guru terbatas sementara kegiatannya banyak. Kedua, dana BOS terbatas.

Soal dana BOS ini kita bisa ngarep apa, namanya saja dana Bantuan Operasional Sekolah. Bantuan. Karena cuma bantuan tentu tidak bisa membiayai semua kebutuhan dan kegiatan sekolah. Kalau cuma membiayai tenda dan banner gelar karya, tujuhbelasan, dan karnaval kecamatan, cukuplah, tapi kebutuhan diluar tenda dan banner, terpaksa minta bantuan orangtua.

Sama dengan ekskrakurikuler. Kalau cuma Pramuka dan PMR, cukuplah sekolah pakai dana BOS, tapi kalau ditambah taekwondo, pencak silat, melukis, basket, futsal, dan lainnya, ya harus minta ke orangtua. Memang mau minta siapa lagi? Sekolah berprestasi terpaksa harus minta bantuan pembiayaan ekstrakurikuler ke orangtua karena dana BOS tidak cukup sementara permintaan mengadakan ekstrakurikuler banyak.

Di sekolah swasta tidak masalah. Orangtua yang menyekolahkan anaknya ke swasta sudah siap dengan biaya mahal. Kekagetan banyak terjadi pada orangtua di sekolah negeri. Mereka cuma tahu sekolah negeri gratis, padahal jargon itu telah lama terbukti sesat dan digunakan demi kepentingan politik semata.

Biaya sekolahnya memang gratis, tidak ada bayar sekolah bulanan seperti masa lalu. Ekskulnya juga gratis meski terbatas cuma dua ekstrakurikuler. Namun, dana pemerintah itu cuma membiayai operasional sekolah (listrik, ATK, gaji karyawan tata usaha, guru honorer, pengadaan buku, dan alat peraga pendidikan). 

Makin berprestasi makin susah gratis sekolahnya karena banyak komponen yang tidak cukup dibiayai dari dana BOS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun