Sebagai Milenial jadul yang tidak menjadikan medsos sebagai bagian hidup, saya sering bingung kalau ada orang membicarakan selebgram, TikToker, dan YouTuber ternama. Bukan cuma sekali dua kali juga saya diledek kudet (kurang update) karena tidak tahu makanan-minuman yang sedang viral.
Sekarang saya tambah bingung karena para pembuat asinan dan salad, bolu dan moci, juga katering masakan rumahan yang secara rutin saya beli sudah tidak jualan lagi. Para ibu rumah tangga pemilik bisnis mikro itu telah meninggalkan usahanya dan memilih jadi TikToker.
Dibanding baking, cooking, dan selling, tampil Live di TikTok memang terasa lebih mudah dijalani. Sama-sama harus begadang, tapi tenaga yang dikeluarkan dan hasil didapat jauh berbeda. Selesai Live di TikTok, ibu bisa tidur dan menikmati teh pagi dengan nyaman. Kalau jualan, paginya masih harus mengantar ke rumah pelanggan. Kena panas, debu, sering kebasahan juga kalau musim hujan.
Uang dan Kepuasan
Peraturan Pemerintah (PP) No.7/2021 menyebut bahwa kriteria usaha mikro adalah usaha yang memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp2 miliar. Â Mereka juga harus punya izin dan sertifikat halal yang harus diperbarui tiap tujuh dan empat tahun sekali.
Sementara itu jadi TikToker tidak butuh izin. Tinggal beli tongsis (tongkat narsis) dan kuota data, kita bisa langsung Live. Potensi dapat uangnya juga lebih cepat dan banyak daripada harus menjajakan aneka dagangan.
Ini mirip seperti Gunawan Sadbor yang bersama warga kampungnya memilih jadi TikToker alih-alih tetap jadi penjahit dan petani. Selain dapat uang dari saweran gift, TikToker juga dapat insentif dari TikTok, dan komisi dari kerja sama penjualan produk dari jenama yang menyewa mereka.
Saya juga pernah hampir jadi TikToker karena sebulan setelah bikin akun, follower saya sudah 1000 lebih. Tiap video yang saya posting juga gampang dapat Like. Saya rutin posting video dan pernah juga Live meski cuma saat staycation.
Lalu tibalah saya bosan karena dibanding menulis, TikTok ternyata terlalu receh, gak butuh effort. Saya sempat posting lagi 1-2 video, tapi hati kecil saya makin bilang ini bukan jalanmu. Jalanmu tetaplah menulis. Jadi blogger kadang ghostwriter meski sering tekor karena lebih gede bayar domain dan pajak daripada Adsense-nya.
Di Kompasiana saya juga selalu langganan Premium untuk menyimpan draft tak terbatas, tapi berapa K-Rewards yang didapat? Muwehehehe. Jarang nulis gimana mau dapat banyak K-Rewards.
Real life atau kehidupan nyata adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang, peristiwa, dan aktivitas yang terjadi di luar dunia virtual (internet, buku, film, dan gim).
Karena pertimbangannya kepuasan batin, saya mengurungkan niat jadi TikToker. Sementara para ibu rumah tangga yang lelah berjibaku jualan makanan di real life akhirnya menyerah. Hidup lebih butuh uang daripada kepuasan batin.
Kepuasan batin bisa diciptakan, tapi uang cuma Peruri yang boleh mencetaknya.
YouTuber dan TikToker Cita-cita Gen Alpha
Apa yang dilakukan para ibu rumah tangga itu mungkin memang sesuai zamannya. Zaman medsos. Tiap kali mengisi kelas menulis, saya sempatkan bertanya kepada anak kabupaten Generasi Alpha (usia 13 tahun kebawah) apa cita-cita mereka kalau sudah besar.
Selalu ada jawaban jadi YouTuber, TikToker, dan influencer. Tidak pernah ada jawaban ingin jadi gamer, sebab anak kabupaten jarang main gim. Tiap pegang HP yang mereka lihat adalah TikTok, YouTube, Instagram, dan aplikasi CapCut serta Snack Video.
Menurut riset Global Media Insight sepanjang 2024 ada 122 juta orang yang menonton YouTube setiap harinya. Sebanyak 95 persen populasi dunia dari 100 negara menonton YouTube. Rata-rata orang menonton selama 40 menit di ponsel mereka.Â
Sementara itu Demandsage mencatat ada 1,58 miliar pengguna aktif TikTok per bulannya selama 2024. Tiap orang menghabiskan rata-rata 58 menit menonton TikTok di ponsel.Â
Indonesia ditasbihkan sebagai negara dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak dengan 157 juta pengguna aktif. Menyusul dibawahnya Amerika Serikat, Brasil, Meksiko, dan Vietnam.
Melihat besarnya pengguna dan penonton dua aplikasi itu, jadinya terasa wajar kalau anak dan remaja bercita-cita jadi YouTuber dan TikToker. Jadinya wajar juga kalau ibu-ibu banting setir jadi TikToker. Di sana mereka bisa bernyanyi, melawak, bercerita kehidupan sehari-hari, atau ikut berbagai tantangan yang sedang viral.
Mereka tahunya medsos jadi tempat satu-satunya untuk dapat uang dan ketenaran. Padahal kita tahu kalau Ria Ricis, Gen Halilintar, Tante Ernie, atau Bunda Corla memulai "karir" di medsos secara tidak sengaja. Awalnya mereka tidak meniatkan diri untuk cari uang dan ketenaran.
Menurut pemikiran jadul saya, TikToker dan YouTuber tidak ideal untuk dijadikan cita-cita karena terjadi di dunia virtual, bukan dunia nyata. Kalau buat hobi, ya, oke aja. Seperti Kompasiana, tidak ideal kalau tujuan kita untuk cari duit. Namun, kalau untuk mengasah kemampuan menulis, cari teman sehobi, gabung komunitas, memperluas wawasan dari artikel orang lain, atau untuk coba-coba menulis, ya, ideal banget.
Usaha Real Life
Meski banyak yang pindah jadi TikToker, ada juga kebalikannya. Satu ibu teman anak saya tadinya aktif di TikTok dan sudah meng-endorse banyak produk sekarang jadi pengusaha mikro. Dia buka usaha fotokopi dan percetakan serta jualan es teh kekinian. Saya iseng tanya kenapa pilih buka usaha, kan, sudah enak di TikTok.
Dia memilih berwirausaha di real life karena kepuasan batin dan tantangan. Bagaimana dia harus taat pada target balik modal (breakeven point) dan menggali kreativitas supaya bisnis dan jualannya tetap jalan. Usahanya itu didukung suaminya yang punya bengkel las.
Anak-anak yang melihat orangtuanya berkarya di dunia nyata, kata ibu itu, akan memotivasi mereka untuk giat bekerja saat dewasa, apa pun tantangannya.
Sebetulnya, untuk dapat uang dari medsos juga butuh usaha. Sama dengan di real life. Bedanya, selain uang kita dapat ketenaran. Banyak orang yang tidak terkenal di real life, ternyata populer di medsos. Kemudian, modal dan usaha untuk "berkarir" di medsos tidak sebanyak di dunia nyata.
Ini mungkin yang jadi pertimbangan para ibu rumah tangga untuk beralih dari pengusaha mikro ke TikToker. Saat ini saya belum menemukan penjual asinan, salad, bolu, dan masakan rumahan seenak para ibu tadi. Mungkin saya belum move on karena merasa buatan merekalah yang tersedap.
Meski menyayangkan, saya mengerti kenapa ibu rumah tangga memilih medsos sebagai tempat mencari nafkah. Cuma, saya selalu penasaran, kalau semua orang memilih "berkarir" di medsos, lantas siapa yang mengisi pekerjaan dan lahan usaha di real life?!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H