Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Setengah Penuh Setengah Kosong Tempat Resepsi Pernikahan

10 Desember 2024   14:37 Diperbarui: 10 Desember 2024   19:33 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan dari Pixabay/Takmeomeo

Entah ini tren atau cuma kebetulan. Saya beberapa kali menghadiri undangan resepsi pernikahan di tempat yang sempit dengan jumlah undangan yang membludak. Sebenarnya mungkin tidak membludak, tapi karena tempatnya yang kecil jadi tamu terlihat banyak karena untuk mengambil minum saja harus berdesakan.

Saya bahkan pernah ketumpahan kuah bakso karena tempat resepsi yang penuh sesak, padahal saya tidak makan bakso. Mungkin ada orang yang saking berdesakannya tidak sengaja menumpahkan baksonya. 

Mungkin juga saya menyenggol mangkuk yang ditinggalkan pemiliknya di gubuk bakso atau entah di mana. Biasanya kalau sebuah pernikahan menyewa katering, sudah ada petugas yang sigap membereskan piring, mangkuk, dan gelas kotor supaya tidak sampai menumpuk.

Untung saja yang ketumpahan di bagian bawah dan saya pakai dress batik warna gelap sehingga tidak sampai malu-maluin kelihatan basah-basahan.

Kalau tahu tempat resepnya akan berdesakan rasanya saya tidak akan dandan dan berpakaian bagus. Baju dan riasan kita tidak bakal terlihat karena semua orang sudah menghabiskan tenaga untuk bisa selamat mencapai prasmanan atau mencicipi hidangan di gubuk-gubuk.

Pasangan pengantin dan orangtua mereka juga tidak akan repot melihat tampilan kita karena mereka sibuk disalami dan berfoto dengan tamu undangan. 

Setengah Penuh Setengah Kosong

Saya lalu ingat teman yang punya salon dan mengelola wedding organizer skala mikro. Dia bilang lebih baik memilih gedung atau balai pertemuan yang tidak besar. Normalnya kalau kita menyebar 500 undangan berarti kapasitas gedung haruslah yang cukup untuk 1000 orang, karena hampir semua undangan datang berdua dengan pasangan atau teman. Namun, menyewa gedung dengan kapasitas kurang dari itu, kata dia, sudah cukup.

Tempat resepsi yang besar atau sesuai kapasitas tamu justru membuat ruangan terlihat lengang. Ruangan yang terlihat lowong dan lengang membuat tamu yang datang jadi terlihat sedikit. Ini bisa membuat "kredibilitas" pesta jadi tidak sedap karena seolah tamu yang diundang sedikit.

Tamu yang terlihat sedikit akan membuat pesta pernikahan jadi sepi, tidak ramai. Jadi, lebih baik ruangan yang disewa lebih kecil dari kapasitas tamu yang akan hadir.

Menurut saya, sih, lebih baik kita menyewa atau membuat tempat resepsi sesuai kapasitas tamu terutama kalau ada band pengiring dan booth foto. Ruang yang lega memungkinkan tamu bergerak leluasa dan saling berinteraksi satu sama lain, juga berfoto bersama. Pengantin juga bisa turun dari pelaminan dan menyapa para tamu kalau mau pesta terasa intimate.

Ruangan yang kecil dengan tujuan supaya tamu terlihat banyak membuat pesta jadi terasa kumuh karena berdesakan. Hilang keeleganannya dan tamu yang saling kenal jadi tidak bisa bertegur sapa secara wajar. Apesnya, kita bisa ketumpahan kuah bakso walau sama sekali tidak menyentuh bakso.

Namun, situasi setengah penuh setengah kosong ini berbeda kalau resepsi pernikahan digelar secara syar'i. Gelaran pernikahan syar'i tidak memungkinkan tempat sempit jadi ruang resepsi karena semua tamu harus duduk di kursi. Setelah mengambil makanan dan minuman, kita harus menyantapnya sambil duduk kembali, tidak berdiri.

Kondangan di Magelang

Di kota besar, kondangan atau resepsi bermakna sama, tapi di Kabupaten Magelang berbeda. Kalau kita diundang kondangan, itu berarti kita datang ke acara prapernikahan sebelum akad nikah dilakukan keesokan harinya. Kondangan bisa diadakan oleh calon mempelai wanita saja, pria saja, atau keduanya di rumah masing-masing.

Tidak ada acara khusus saat kondangan. Kita yang diundang tinggal datang, duduk di kursi dengan meja penuh hidangan, ditemui tuan rumah dan calon mempelai, kemudian makan prasmanan saat sudah dipersilakan untuk makan. Setelah makan boleh langsung pulang. 

Tamu memang diharap langsung pulang setelah makan supaya bisa bergantian dengan tamu lain yang hadir silih-berganti. Jadi paling lama kita di tempat kondangan 30-45 menit saja.

Saat pamit pulang tamu harus bersalaman dengan tuan rumah untuk memberikan salam tempel. Salam tempel artinya salaman sambil memberikan amplop berisi uang. Disebut salam tempel karena kita memberikan amplop uang itu secara tersembunyi dibalik tangan, tidak terang-terangan.

Jumlah uang yang diberikan tergantung di mana kita tinggal. Di Kecamatan Muntilan tempat saya tinggal cukup Rp50rb. Memberi lebih boleh, tapi tidak disarankan karena akan mengacaukan "harga pasar". Bagaimana kalau memberi kurang dari Rp50rb? Tidak disarankan juga, tapi nyatanya banyak orang yang memberi kurang dari itu, bahkan amplop kosong.

Sudah jadi risiko pengundang kalau mereka diberi amplop di bawah standar atau kosong. Maka kalau memberi Rp50rb kita wajib memberi nama dan tempat tinggal di amplop yang kita berikan untuk salam tempel.

Dulu banyak pengundang kondangan pasrah kalau diberi amplop kosong. Sekarang tiap mereka dapat salam tempel, amplop-amplop yang mereka dapat ditandai dengan cara tertentu. Mereka akan tahu siapa saja yang memberi uang di bawah standar atau amplop kosong.

Uniknya, kalau diundang kondangan itu berarti undangan hanya berlaku untuk satu orang. Kalau mertua saya diundang kondangan, misalnya, dan mengajak saya, maka amplop yang disiapkan harus dua. Kalau mertua mengajak saya dan anaknya (kakak ipar saya) maka amplop yang diberikan harus tiga. Tiga amplop itu dinamai dengan nama masing-masing dengan nominal isi sesuai standar.

Sebetulnya boleh saja amplopnya cuma satu. Namun, satu amplop untuk berdua atau bertiga menyiratkan kita sebagai orang tidak mampu. Jadi amplop saat salam tempel berkaitan dengan status sosial dan ekonomi seseorang di masyarakat.

Kelebihan kondangan, kita tidak perlu berdesakan untuk bersalaman dan mengambil makanan-minuman. Semua kue, teh panas, dan air putih ada di meja dan kita tinggal menyantapnya. Makan di prasmanan pun bergantian dengan tamu lain sehingga tidak perlu ketumpahan kuah bakso.

Resepsi di Magelang 

Delapan tahun lalu saya menghadiri resepsi pernikahan sepupu suami. Masih satu kecamatan, tapi lain desa. Resepsi itu berlangsung dari pukul 09.00-12.00. Selama tiga jam para tamu harus duduk tenang di kursi mengikuti prosesi demi prosesi dari akad nikah, pengajian, wejangan, dan lainnya. 

Kemudian, para sinom berkeliling memberikan kudapan dan minum (biasanya teh hangat) kepada para tamu di tempat duduk mereka.

Selama tamu menikmati kudapan biasanya ada acara selingan berupa hiburan musik religi atau wejangan ringan seperti lawak. Semua disampaikan dalam kromo inggil (bahasa Jawa halus). Setelah itu para tamu diberikan makan siang berupa nasi dan lauk-pauknya. Selama acara sejak akad nikah sampai makan-minum, para tamu tetap duduk di tempatnya. Tidak ada yang lalu-lalang dan berkeliaran antar tempat duduk.

Kalau pembawa acara sudah mempersilakan, barulah tamu berdiri untuk mengucapkan selamat kepada pasangan pengantin dan orangtua mereka. Resepsi pun selesai.

Beda kondangan dengan resepsi ada pada waktu dan tamunya. Kondangan diadakan di waktu sore sehari sebelum akad nikah. Tamu yang diundang berasal dari tetangga satu dusun dan dusun yang bersebelahan. Sedangkan tamu resepsi berasal dari circle pertemanan, rekan kerja, kenalan orangtua, dan kerabat jauh.

Keluarga dekat seperti paman, tante, kakek, nenek, sepupu, dan lainnya boleh datang saat kondangan maupun resepsi.

Di masa yang lebih lampau. Acara resepsi bisa berlangsung dari pagi sampai sore. Lama-lama waktu resepsi dipersingkat dan sekarang resepsi seperti ini sudah ditinggalkan. Orang Magelang sudah merayakan pernikahan dengan resepsi standing party dengan sedikit tempat duduk ala Barat seperti di kota.

Sama seperti kondangan, di resepsi tradisional kita tidak perlu berdesakan karena tiap tamu sudah punya tempat duduk dan jatah makan-minumnya masing-masing. Dengan begitu kita tidak perlu kuatir ketumpahan kuah bakso dari orang lain. Pun tidak perlu pegal berdiri saat menikmati tengkleng.

Kapasitas Tempat Resepsi Ideal

Soal setengah penuh setengah kosong, saya yakin tempat resepsi yang ideal adalah yang tidak sempit dan sesuai dengan jumlah tamu yang diperkirakan hadir. WeddingMarket menyarankan memilih tempat resepsi yang kapasitasnya cukup supaya ada ruang bagi semua tamu. Ruang tambahan untuk dekorasi, tempat duduk, dan area untuk band atau tarian juga harus diperhitungkan. 

Masuk akalnya memang seperti itu. Namun, persepsi bahwa tempat resepsi yang sempit bisa membuat tamu terlihat membludak yang mengesankan mempelai dan keluarganya punya banyak kenalan, juga tidak boleh disepelekan. Dibalik sebuah pesta pernikahan bukan cuma ada niat merayakan, tapi ada banyak maksud yang hanya empunya yang tahu.

Kalau begitu semua kembali kepada pemilik pesta. Mau menyamankan tamunya dengan tempat yang proporsional atau image sebagai keluarga dengan tamu membludak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun