Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sering Nonton Video Pendek Bikin Pelajar Gagal Fokus Setelah 10 Menit

4 September 2024   13:44 Diperbarui: 5 September 2024   06:49 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak sedang menonton video di ponsel | Foto: KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO 

Pekan lalu anak perempuan kami minta saya melatih kelompoknya untuk tugas ansambel musik. Dari tujuh anak, selain anak saya, cuma satu yang sudah bisa main pianika. Mereka minta ada yang main suling (recorder), drum (pakai galon), dan marakas (pakai botol pasir), dan tentu saja keyboard.

Baru 10 menit mengajarkan cara meniup pianika tanpa kehabisan napas, menutup lubang suling recorder dan membentuk nada dengan galon dan marakas, mereka sudah gelisah dan kacau balau.

Tambahan lagi, amat sulit buat mereka mempraktikkan cara meniup, memencet, dan memukul dalam satu harmoni. Kalau boleh dianalogikan kebingungan mereka seperti orang yang belum pernah dengar lagu dan musik. Belum sempat memahami cara memainkan alat musik, mereka sudah gagal fokus duluan.

Kemudian saya ingat saat mengajar kelas menulis tahun lalu. Pada 15 menit pertama saat sedang menjelaskan soal tema tulisan, satu-persatu anak-anak di kelas mulai menggeser-geser posisi duduknya, bertopang dagu, menyenderkan badan, lalu menelungkupkan wajah ke meja.

Alhasil saya harus mengistirahatkan mereka sebentar untuk minum, ngemil, atau bercanda dengan temannya. Alhasil selama 90 menit saya mengajar, waktu lebih banyak dihabiskan untuk bercanda, bergurau, dan menyanyi. Momen paling serius di kelas adalah menulis puisi untuk ibu mereka. Kesulitan saat mengajar kelas menulis ini saya temukan juga saat mengajar anak-anak di dua tempat berbeda.

Video Pendek dan Fokus Pendek

Kendala yang saya alami saat mengajar karena saya cuma orang yang belagak jadi guru, bukan guru betulan. Namun, dugaan saya ternyata betul. Mudahnya anak-anak 10-12 tahun ini kehilangan fokus karena keseringan scrolling video pendek di TikTok, YouTube Shorts, dan Reels.

Usia minimum anak punya akun di tiga platform itu 13 tahun, tapi tidak banyak orang tua yang tahu dan alih-alih membatasi malah mengizinkan anak-anak punya akun sendiri.

Berkaitan dengan itu, Social Media Psychology mengungkap kalau video pendek berdurasi hitungan detik dapat memperpendek fokus dan membunuh saraf otak bahkan hanya dari satu video saja.

Laman ini menambahkan di antara platform lain, TikToklah yang paling banyak ditonton anak dan remaja. Rata-rata video TikTok punya durasi 15-30 detik. Maka tidak aneh kalau anak dan remaja yang sering nonton TikTok tidak betah nonton video yang lebih panjang dari 30 detik. Mereka juga mengaku sulit berkonsentrasi saat mengerjakan PR, apalagi membaca buku.

Rizqina Ardiwijaya psikolog anak dan remaja, melalui kompasid, juga berpendapat bahwa kebiasaan menonton video berdurasi hitungan detik bukan cuma dialami pelajar, melainkan juga mahasiswa. Mereka sering berpindah-pindah fokus saat scrolling TikTok dan akibatnya jadi kesulitan memusatkan perhatian saat membaca artikel atau menonton video berdurasi panjang.

Dia kemudian menjelaskan rentang fokus minimal yang harus dipenuhi sesuai usia. Rentang atau batas perhatian yang optimal dapat dicari dengan rumus usia dikali dengan 3-4 menit. Misalnya anak-anak yang pernah saya ajari menulis dan bermusik usianya 10 tahun, berarti 10x3=30 menit. 

Jadi idealnya anak usia 10 tahun harus bisa berkonsentrasi terhadap suatu hal minimal 30 menit. Pun remaja 16 tahun mestinya bisa berkonsentrasi selama 48 menit yang digunakan, misalnya, untuk membaca buku atau menonton dokumenter. Kalau ingin mencari hiburan sekaligus menjaga rentang fokus, Rizqina menyarankan untuk menonton video dengan durasi minimal sesuai rumus usia.

Sayangnya, semua video di YouTube Shorts dan TikTok durasinya cuma hitungan detik dan inilah yang mereka tonton.

Memahamkan Anak Hal Konsentrasi

Beberapa studi yang dimuat di jurnal akademis Taylor & Francis membuktikan beda efek membaca di versi cetak dengan ebook. Saat kita membaca novel, majalah, bahkan komik di versi cetak, otak kita menerima dan memahami informasi lebih banyak daripada saat kita membacanya dari layar (tablet, ponsel, komputer, dll).

Selain menerima dan memahami lebih banyak informasi, manfaat dari membaca adalah melatih konsentrasi. Fokus anak-anak kami , terus terang, sekarang juga jadi lebih pendek efek nonton YouTube Shorts. Untungnya tidak separah teman-temannya karena sejak kecil sudah kami biasakan membaca buku fisik, jadi rentang konsentrasi mereka lebih panjang.

Sulit berkonsentrasi lebih dari 10 menit bisa jadi bikin para pelajar sering terlihat kelelahan di sore hari sepulang sekolah. Seharian di sekolah mereka seperti harus memeras otak untuk berkonsentrasi tiap 35 menit jam pelajaran. Meski guru sudah sekreatif mungkin memberi pembelajaran, tetap saja fokus selama 35 menit itu butuh so much effort.

Jadi jalan keluar paling realistis mengatasi anak dan remaja yang sering hilang fokus ini bukan dengan melarang mereka main HP, tapi beri pengertian efek buruknya kalau mereka kelamaan scrolling TikTok dan YouTube Shorts.

Katakan kalau mereka butuh fokus panjang untuk mengerjakan asesmen formatif (ulangan harian) dan asesmen sumatif (ujian tengah dan akhir semester). Kalau sering gagal fokus gimana mau maksimal ngerjain asesmennya, ya, kan.

Kesehatan Mental Antar Generasi

Sulit berkonsentrasi mengerjakan hal rumit dalam durasi panjang jadi salah satu hal yang bikin membuat Gen Z (15-28 tahun) dan Gen Alpha (1-14 tahun) sering dipandang sebagai generasi yang mentalnya lemah oleh generasi sebelumnya.

Sebetulnya bukan mentalnya yang lemah, tapi digitalisasi dan stimulasi teknologi informasi telah mengubah pola saraf di otak mereka. Ini diakui oleh Mark McCrindle sebagai orang pertama yang memberi nama generasi setelah Gen Z sebagai Gen Alpha. 

Meski lemah mempertahankan konsentrasi untuk hal berdurasi panjang, kemampuan kognitif Gen Alpha melebihi generasi sebelumnya. Kemampuan kognitif ini bikin mereka mudah menguasai perangkat teknologi digital dan lebih kreatif mengolah konten digital. 

Sementara itu, generasi sebelumnya yaitu Milenial dan Gen X sudah hidup disertai teknologi canggih, tapi belum hidup dalam digitalisasi internet. Sedangkan Gen Z dan Gen Alpha dari mereka lahir sudah diselimuti oleh internet. Tiap menit tumbuh-kembang mereka juga terdokumentasikan dan dibagikan ke media sosial oleh orang tuanya. Secara tidak langsung generasi kitalah yang juga membentuk mereka jadi seperti sekarang.

Kalau Anda pernah membaca Origin karya Dan Brown di mana teknologi informasi sudah menyatu dengan manusia, seperti itulah gambarannya yang terjadi dengan Gen Z dan Gen Alpha. Kita Milenial dan Gen X bukannya memahami supaya bisa membantu, malah menyalahkan mereka sebagai generasi lemah mental yang sukanya maen HP teroosss....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun