Orang-orang bilang pemilihan gubernur Jawa Tengah kali ini adalah perang bintang. Komisaris Jenderal Polisi Ahmad Luthfi berhadapan dengan Jenderal TNI (Purn) Andika Perkasa untuk menempati kursi Jateng 1.Â
Kalau menang Lutfhi akan jadi polisi pertama yang jadi gubernur Jateng. Kalau Andika yang menang kandang banteng akan punya gubernur ke-4 berturut-turut dari PDIP sejak 1998.
Dari coretan diatas kertas Andika kalah unggul dari Luthfi karena faktor jabatan aktif dan dukungan parpol. Namun, Andika adalah kader PDIP dan Luthfi bukan kader parpol mana pun. Kalau PDIP berhasil menggerakkan militansi kader dan simpatisannya ke tingkat maksimal maka tidak mustahil Andika menang meski digempur dukungan dari segala penjuru untuk Luthfi.
Adu Pengaruh Mantan Panglima dan Kapolda
Sebagai mantan Kapolda Jateng Luthfi tentu lebih mengenal spesifik karakter masyarakat Jateng dibanding Andika. Tambahan lagi saat dicalonkan Luthfi masih aktif bekerja sebagai Irjen di Kemendag.
Sementara Andika "cuma" purnawirawan. Pekerja aktif lebih diuntungkan karena akses data dan fasilitas negara masih tersedia walau tidak boleh digunakan untuk kampanye.
Meski begitu Andika juga mungkin akan menggunakan pengaruhnya sebagai mantan panglima TNI. Walau TNI tidak punya hak pilih, Andika bisa dapat dukungan moril dan logistik dari para jenderal di Jateng.
Mantan komandan Paspampres ini juga pasti dapat dukungan dari pecinta olahraga se-Jateng karena terbukti beliau gemar berolahraga dilihat dari tubuhnya yang kekar.
Adu Dukungan Parpol
Andika Perkasa dan Hendrar Prihadi cuma didukung oleh PDIP sedangkan Ahmad Luthfi-Taj Yasin didukung oleh Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PKS, PSI, PPP, Nasdem dan PKB. Gabungan suara 9 parpol itu di Jateng pada Pileg kemarin jumlahnya sekitar 13,7 juta suara. Sedangkan PDIP cuma punya 5.270.261 suara.
Dari jumlah suara ini saja sebetulnya sudah njomplang banget. Belum lagi dukungan logistik juga pasti amat besar dari 9 parpol tersebut. Namun, sebagai partai pemenang Pemilu, PDIP bisa memanfaatkan pemilih labil yang pro gerakan Kawal Keputusan MK kemarin. Suara pemilih pro Gerakan Kawal Keputusan MK ini bisa direbut untuk Andika.
Adu Pengaruh Wakil
Andika Perkasa menggandeng Hendrar Prihadi yang mantan wali kota Semarang sebagai wakilnya. Hasil riset dan survei Solopos Media Group pada 1-30 April 2024 di tujuh platform medsos (termasuk blog dan forum) membuktikan Hendrar jadi kandidat paling populer untuk menempati kursi gubernur Jateng.
Populernya Hendrar karena beliau pernah jadi wakil dan wali kota Semarang pada dalam kurun waktu berbeda di 2010-2022. Meski kalah mentereng, nama Hendrar tidak asing-asing amat buat warga Jateng.
Taj Yasin sudah pasti mentereng karena beliau putra ulama kharismatik (almarhum) Mbah Maimun Zubair. Meski PPP tempat Taj Yasin bernaung gagal masuk parlemen, namun Gus Yasin lebih terkenal dari partainya.Â
Pada pemilihan anggota DPD RI 2024-2029 Taj Yasin dapat 3.821.699 suara, menjadikannya bertengger di peringkat pertama. Ini membuktikan Gus Yasin memang sepopuler itu di Jateng. Dua faktor itu jugalah yang membuat Ganjar Pranowo menggaet Taj Yasin sebagai wakilnya di periode kedua pemerintahannya.
Hendrar bisa mendongkrak lagi kepopulerannya di Jateng sebelah barat seperti Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, dan Kebumen dengan rajin menemui warga di sana dan bercakap bahasa ngapak (Banyumasan) untuk meraih simpati.
Meski Gus Yasin lebih disegani karena berasal dari keluarga pesantren yang terpandang, Hendrar bisa membangun hubungan yang lebih luwes dengan warga tanpa ada sekat keseganan.
Adu Spanduk dan Baliho
Spanduk dan baliho Ahmad Luthfi sudah bertebaran di seantero Jateng sejak Idulfitri April kemarin saat beliau masih jadi Kapolda Jateng. Hal ini wajar karena Luthfi memang sudah disiapkan oleh Presiden Joko Widodo untuk jadi calon gubernur Jateng.
Sementara itu baliho Andika masih amat sangat minim kalau tidak boleh dibilang belum ada. Meski sejak sebulan lalu namanya sudah santer akan diusung jadi calon gubernur, tapi keputusan resmi pencalonan itu baru diambil kemarin sore oleh PDIP. Nasib Hendrar lebih baik karena 1-2 balihonya sudah lebih dulu muncul di beberapa titik.
Spanduk dan baliho bagian dari komunikasi publik untuk mempengaruhi persepsi orang. Warga yang sebelumnya tidak tahu bisa jadi merasa dekat dengan seseorang karena seringnya dia melihat baliho dan spanduk orang tersebut. Mirip seperti perusahaan yang memasang iklan di tempat umum.
Berhubung parpol yang mendukung cuma PDIP, Andika bisa saja tidak memasang banyak spanduk dan baliho, melainkan menggunakan pendekatan tatap muka dengan bantuan kader dan simpatisan.
Kader adalah mereka yang punya kartu tanda keanggotaan sebuah partai politik. Sedangkan simpatisan merupakan mereka yang bukan anggota, tapi selalu ikut mendukung program dan kebijakan parpol.
Adu Pengaruh Media Sosial
Simpatisan Luthfi sudah bergerak di dunia nyata sejak lama, saya sering menemui orang yang menyatakan dukungannya pada Luthfi-siapa pun wakilnya. Maka Andika perlu memanfaatkan media sosial untuk mendongkrak suara. Andika dan Hendrar harus punya akun pribadi alih-alih diwartakan melalui PDIP semata.
Apalagi Hendrar sudah populer dalam survei di medsos, tinggal maksimalkan lagi interaksi dengan warganet Jateng. Sapa mereka di medsos walau cuma dengan kalimat, "Selamat pagi."
Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebut pengguna internet di Jateng jumlahnya 14,12%Â dari total pengguna di Indonesia. Pengguna internet ini juga mengakses medsos, tentu saja. Tambahan lagi Gen Z dan Milenial lebih sering mencari informasi di medsos daripada di media massa.
Haruskah mengerahkan para buzzer? Tidak perlu-perlu amat. Paling utama para calon gubernur dan wakilnya harus punya akun media sosial pribadi dan aktif berinteraksi di dalamnya.Â
Menjaga Militansi Kader dan Simpatisan
Mengapa penting menjaga militansi kader dan simpatisan? Sebab mereka mau dan mampu bergerak bahkan dengan modal pribadi sedapat yang mereka bisa untuk memenangkan calon yang didukungnya.
Kalau tidak punya modal sama sekali mereka juga sering memanfaatkan tempat nongki di warung kopi, pengkolan, pinggir jalan, dan di mana pun untuk mempromosikan jagoannya.
Militansi kader dan simpatisan ini saya pernah saksikan sendiri di pemilihan gubernur Jakarta pada 2007 dan gubernur Jateng 2018. Di pilgub Jakarta Adang Darajatun dari PKS berhadapan dengan Fauzi Bowo yang didukung 20 parpol.
Bang Foke tentu saja menang, tapi perolehan suaranya gak gede-gede amat sebab beliau cuma meraih 57,87% suara. Adang yang cuma didukung PKS berhasil mendulang 42,13% suara.
Waktu itu saya mencoblos Adang Darajatun.
Kondisi militan lain yang saya rasakan adalah saat periode kedua Ganjar Pranowo di 2018. Di pilgub Ganjar Pranowo-Taj Yasin yang didukung PDIP, Demokrat, Golkar, PPP, dan Nasdem berhadapan dengan Sudirman Said-Ida Fauziyah yang didukung Gerindra, PKB, PAN, dan PKS.
Ganjar nyaris kalah dari Sudirman Said karena militansi kader dan simpatisan PKB, parpol tempat Ida Fauziyah bernaung. Ida juga mantan ketum Fatayat NU yang membuat kader dan simpatisan NU bergerak sampai ke rumah-rumah untuk mendongkrak suara bagi Sudirman-Ida.
Militansi itulah yang membawa Ganjar meraih kemenangan di angka 58,78% suara dan Sudirman Said meraih 41,22% suara. Padahal banyak survei sebelumnya menjagokan Ganjar akan menang telak di angka 70%. Survei Litbang Kompas waktu itu bahkan mendapati elektabilitas Ganjar-Yasin sebesar 76,6%.
Waktu itu saya sudah jadi warga Jateng dan mencoblos Ganjar Pranowo.
Jadi, walau Luthfi didukung semua parpol dengan dukungan moril dan materil unlimited lalu menang, minimal PDIP bisa memperkecil selisih suara Andika-Hendrar dari bantuan kader dan simpatisan PDIP. Kalau kader dan simpatisan PDIP bisa dimaksimalkan militansinya dengan pendekatan kekeluargaan, bukan hal mustahil Andika bisa menang di pilgub Jateng ini.
***
Bagaimana kalau ada warga Jateng yang tidak cocok dengan Ahmad Luthfi dan Andika Perkasa? Pelajari rekam jejak dan prestasi mereka. Perhatikan juga parpol yang mendukung mereka. Amati juga apa ada hubungan Luthfi dan Andika dengan kisruh politik yang terjadi beberapa hari kemarin.
Lalu pilihlah berdasarkan akal sehat. Jangan sampai mencoblos wajah Luthfi dan Andika sekaligus, itu sama dengan golput. Walau suara kita cuma dimanfaatkan lima tahun sekali, setidaknya di lima tahun itu kita ikut andil memilih pemimpin yang kita inginkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H