Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Unjuk Rasa Tanpa Rusuh dari Kepentingan Pendemo dan yang Didemo

23 Agustus 2024   13:38 Diperbarui: 26 Agustus 2024   09:31 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi unjuk rasa dari Freepik

"Adik-adik yang lagi demo tolong jangan rusuh, ya!"
"Ngapain, sih, pada demo. Udah bikin macet entar rusuh, lagi."

Begitu yang sering kita dengar (terutama di kota besar) tiap kali ada unjuk rasa yang massanya luber sampai ke jalan umum. Sebegitu seringnya unjuk rasa berakhir rusuh sampai tiap ada unjuk rasa orang-orang khawatir akan berujung rusuh dan merugikan mereka.

Para pengunjuk rasa bukannya tidak tahu keresahan itu. Pada banyak unjuk rasa mereka sering meyakinkan media massa dan masyarakat kalau yang mereka lakukan adalah aksi damai.

Mereka cuma ingin berunjuk rasa, tidak bakar ban dan memblokade jalan, merobohkan pagar, atau merusak fasilitas umum lainnya.

Sudut Pandang Pengunjuk Rasa

Orang-orang yang berunjuk rasa bertujuan supaya keinginan dan aspirasinya didengar dan kalau bisa dipenuhi. Ada juga unjuk rasa yang dimaksudkan untuk cari perhatian saja.

Unjuk rasa yang ditujukan untuk cari perhatian banyak dilakukan di negara maju dengan tujuan memperkenalkan, menggugah kepedulian, dan meningkat pengetahuan khalayak terhadap suatu isu. Karena itulah unjuk rasa cari perhatian ini banyak dilakukan oleh kelompok LGBTQ, pergerakan perempuan, serta pejuang hak asasi.

Di negara kita unjuk rasa dengan tujuan cari perhatian jarang dilakukan. Paling banter dilakukan para seniman, itu pun bukan berbentuk unjuk rasa, melainkan dilakukan di satu tempat dengan mimbar di mana mereka bisa unjuk aksi seni.

Tujuan unjuk rasa untuk memperjuangkan aspirasi dan keinginan seperti yang dilakukan gerakan Kawal Keputusan MK kemarin (22/8) juga menjelaskan kenapa anggota DPR RI Habiburokhman kena timpuk beberapa botol air mineral saat mengutarakan soal revisi UU Pilkada dari atas mobil komando.

Apa yang dijelaskan oleh Habiburokhman bertentangan dengan keinginan pengunjuk rasa. Pengunjuk rasa ingin pengesahan RUU Pilkada dibatalkan, sementara Habiburokhman menyatakan tidak ada pengesahan UU Pilkada. 

Kalimat "tidak ada pengesahan UU Pilkada" diartikan oleh pengunjuk rasa cuma ditunda, tidak dibatalkan. Apalagi DPR RI pernah mengesahkan UU Cipta Kerja pada malam hari disaat jam unjuk rasa berakhir. Inilah yang bikin Habiburokhman diumpat dan ditimpuk karena yang disampaikan Habiburokhman bertentangan dengan keinginan pengunjuk rasa.

Tambahan lagi dia dari Partai Gerindra yang melakukan revisi UU Pilkada dan mengabaikan keputusan MK soal batas usia dan parliamentary threshold. 

Berkaitan dengan hal itu, dapat dipastikan kalau unjuk rasa yang berakhir rusuh biasanya yang ada hubungannya dengan kebijakan publik, keputusan lembaga negara, aparat hukum, dan institusi pemerintahan. 

Itulah juga yang jadi alasan Gerakan 212 sukses menggelar unjuk rasa tanpa rusuh. Meski termasuk unjuk rasa cari perhatian, yang mereka tentang adalah individu, bukan kebijakan publik atau yang berhubungan dengan pemerintahan maka tidak ada pertentangan kepentingan antara yang didemo dengan pendemo.

Tubrukan Kepentingan

Pertentangan kepentingan antara pendemo dengan yang didemo bisa juga terjadi di luar hal yang berbau pemerintahan. Kalau boleh menilik ke masa lampau, teman-teman SMA saya pernah melakukan demo menuntut penurunan SPP (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan).

Dua puluh lima tahun lalu teman-teman SMA saya menganggap uang sekolah kemahalan (Rp100.000) padahal fasilitas dan ekstrakurikuler tergolong minim untuk ukuran sekolah swasta. Mereka menghitung dengan cuma punya tiga ekstrakurikuler dan dua laboratorium mestinya uang sekolah bisa hanya Rp50.000 saja. 

Waktu itu SPP di SMA negeri di Jaksel ada di kisaran Rp30.000-Rp35.000. Jadi Rp50.000 buat sekolah swasta rasanya tidak mahal juga tidak murah. Unjuk rasa berlangsung sejak pukul 07.10 sampai pukul 09.00 saja karena kepala sekolah langsung mengajak siswa berdiskusi di ruangannya. 

Hadir juga guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan, sering disebut juga dengan BK-Bimbingan dan Konseling), guru IPA, dan guru agama. Guru IPA dihadirkan atas permintaan ketua OSIS karena beliau lebih sering mengajar teori di kelas alih-alih praktik di laboratorium.

Pihak sekolah yang gercep mengakomodir keinginan siswa membuat unjuk rasa berakhir lebih cepat tanpa ribut-ribut apalagi rusuh dan ricuh. Padahal kalau saya ingat lagi, uang sekolah tidak turun, tetap Rp100.000 sampai kami lulus. Kadang kita memang cuma butuh didengarkan.

Kalau kita cermati dari berbagai berita, unjuk rasa yang berbumbu rusuh dan ricuh biasanya terjadi karena benturan kepentingan antara pendemo dan yang didemo.

Pihak yang didemo tidak ingin duduk semeja dan membicarakannya kepada pendemo karena tidak ingin mengubah apa pun yang sudah atau yang ingin diputuskan.

Ricuh dan rusuh makin sulit dihindari kalau yang didemo minta bantuan aparat, entah itu satpam, hansip, atau polisi. Kalau sudah melibatkan aparat hampir dipastikan unjuk rasa akan berakhir rusuh karena terjadi kontak fisik yang tidak seimbang.

Deindividuasi

Selain soal tubrukan kepentingan, rusuh terjadi biasanya terjadi pada unjuk rasa yang melibatkan ribuan orang karena adanya deindividuasi.

Deindividuasi adalah kondisi di mana saat sedang beramai-ramai seseorang melakukan hal diluar kebiasaannya karena merasa bagian dari satu kelompok. 

Deindividuasi juga menyebabkan orang yang cuma ikut-ikutan demo tanpa tahu apa yang didemo bisa bertindak anarkis padahal sehari-harinya dia kalem dan pendiem.

Hal sama berlaku pada tawuran pelajar. Saat berhadapan dengan "musuh" di jalan raya dia garang mengacungkan samurai, tapi saat ditangkap dan ditahan di kantor polisi, nyalinya mendadak ciut seperti ayam sayur.

Tanpa adanya provokator, deindividuasi bisa terjadi kalau ada satu saja orang yang mulai duluan merusak fasilitas umum atau memaki aparat. Maka terjadilah rusuh saat unjuk rasa berlangsung.

Pada unjuk rasa yang menentang kebijakan dan peraturan atau hal yang melibatkan trias politica (eksekutif, yudikatif, legislatif) sering terjadi rusuh karena kepentingan pendemo dengan yang didemo bertentangan. Pelibatan aparat keamanan memperparah tubrukan kepentingan di antara keduanya.

Unjuk rasa gerakan Kawal Keputusan MK kemarin memang merusak fasilitas umum, tapi untunglah (orang Jawa-apa pun dianggap untung) tidak sampai ada korban jiwa meski ada yang luka-luka dan diboyong aparat ke tahanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun