Sewaktu membaca berita soal anggota DPR yang minta pemerintah merevisi Pasal 103 PP Nomor 28 Tahun 2024 karena dikhawatirkan memicu terjadinya seks bebas, saya kepo lalu mencari salinan Peraturan Pemerintah tersebut.
Saat membaca Pasal 103 saya berpikir kalimat "penyediaan alat kontrasepsi" mungkin dibuat jujur apa-adanya untuk mengungkap realita kalau banyak remaja sekarang yang sudah melakukan sex before married. Maka itu lebih baik tidak dilarang asalkan remaja tahu konsekuensi dari perilaku tersebut.
Pikiran konservatif saya sebagai ibu dua anak meyakini penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja seharusnya tidak perlu karena mereka belum boleh melakukan aktivitas seksual dalam bentuk apapun. Seks yang dilakukan sebelum menikah akan mempengaruhi kesehatan organ reproduksi, mengganggu aktivitas kreatif yang mestinya optimal dilakukan di usia muda, dan menjauhkan mental dari moral keagamaan.
Alat Peraga Edukasi Seksual?!
Kalau kita baca di Pasal 103 ayat (1) tertulis, "Upaya Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf b paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta Pelayanan Kesehatan reproduksi."
Penjelasan tentang Pelayanan Kesehatan Reproduksi ini ada di ayat (4) yang tertera, "Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. deteksi dini penyakit atau skrining;
b. pengobatan;
c. rehabilitasi;
d. konseling; dan
e. penyediaan alat kontrasepsi.
Pada huruf (e) jelas tertulis penyediaan alat kontrasepsi. Adanya kata "penyediaan" menyuratkan kalau alat kontrasepsi bukan sebagai alat peraga untuk edukasi seksual, melainkan memang disediakan oleh pemerintah sebagai bagian dari pelayanan kesehatan reproduksi usia sekolah dan remaja.Â
Pun, tidak ada pasal dalam PP Nomor 28/2024 yang menyebut alat kontrasepsi diperuntukkan sebagai alat peraga, sarana edukasi, atau pendidikan seksual.Â
Sementara itu, Pasal 101 ayat (1) yang disebut dalam Pasal 103 bertuliskan, "Upaya Kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf a meliputi:
a. Kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah;
b. Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja;
c. Kesehatan sistem reproduksi dewasa;
d. Kesehatan sistem reproduksi calon pengantin; dan
e. Kesehatan sistem reproduksi lanjut usia.
Andaipun alat kontrasepsi dijadikan sebagai alat peraga edukasi seksual, itu sangat tidak urgent. Edukasi paling utama yang harus ditekankan jangan sampai remaja melakukan aktivitas seksual sebelum menikah. Edukasikan alasan logisnya dari sisi kesehatan fisik dan mental, tidak melulu karena ancaman masuk neraka.
Pernikahan Dini dan UU Perlindungan Anak
Soal penyediaan alat kontrasepsi ini Kemenkes punya penjelasannya. Lewat detikcom, Plt Kabiro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi menyebut kalau pelayanan kontrasepsi tidak untuk semua remaja, melainkan khusus bagi mereka yang menikah dengan kondisi tertentu, untuk menunda kehamilannya.
"Kond*m tetap untuk yang sudah menikah. Usia sekolah dan remaja tidak perlu kontrasepsi. Mereka harusnya abstinensi atau tidak melakukan kegiatan seksual."
Pernyataan Ibu Siti Nadia betul, usia sekolah dan remaja tidak perlu kontrasepsi karena mereka belum boleh berhubungan intim.Â
Kemudian kompascom memuat pernyataan beliau yang menyebut, "Bukan untuk mencegah kehamilan remaja belum menikah, tetapi kontrasepsi untuk pasangan usia subur (PUS). Kontrasepsi hanya untuk PUS. Banyak anak usia 12 atau 15 tahun yang sudah dinikahkan. Ini yang akan jadi sasaran."
Pihak Kemenkes menyatakan fakta bahwa di banyak daerah perkawinan dini anak belasan tahun memang sering terjadi. Namun, di Pasal 103 ayat (3) tertulis, "Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan melalui bahan ajar atau kegiatan belajar mengajar di sekolah dan kegiatan lain di luar sekolah."
Apapun penjelasan pihak Kemenkes, kalau kita cermati Pasal 103, nyatanya penyediaan alat kontrasepsi ini ditujukan untuk anak sekolah, bukan remaja menikah atau pasangan usia subur.Â
Kalau Bu Siti Nadia menegaskan alat kontrasepsi ditujukan untuk remaja yang sudah menikah, berarti remaja itu tidak bisa mendapatkannya di sekolah karena tidak ada sekolah yang membolehkan peserta didiknya menikah. Remaja yang menikah biasanya sudah tidak sekolah. Mereka memilih melanjutkan pendidikan di Kejar (Kelompok Belajar) Paket B yang setingkat SMP atau Paket C yang sederajat dengan SMA.
Menyediakan alat kontrasepsi bagi remaja yang sudah menikah memang bertujuan mulia untuk menyiapkan fisik dan mental mereka supaya tidak hamil dulu. Namun, kontradiktif dengan UU Perlindungan Anak karena secara tidak langsung seperti membolehkan remaja untuk menikah dini karena telah disediakan alat kontrasepsi untuk mereka.
Lagipula apa Kemenkes yakin remaja yang menikah dini mau menunda punya anak?Â
Mayoritas mereka menikah dini karena hamil duluan. Kalaupun tidak hamil duluan, bakal dipaksa hamil oleh keluarga karena di mata banyak masyarakat buat apa menikah kalau tidak punya anak? Jadi nampak yang dikatakan Kemenkes seperti dipaksakan.
Lebih lagi remaja yang belum berusia 18 tahun oleh hukum masih dipandang sebagai anak-anak dan harus dihindarkan dari pernikahan. Mereka dilindungi oleh UU Nomor 35/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak supaya terhindar dari perkawinan dini.
Sementara itu pada Pasal 7 UU No. 16/2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan, "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun."
Kontra Implementasi Pasal 103
Remaja harus dihindarkan supaya tidak menikah dini, tapi kalau sudah terlanjur maka harus disediakan alat kontrasepsi kalau mereka ingin menunda kehamilan. Mungkin begitu jalan pikiran pihak yang menyusun Peraturan Pemerintah itu.
Hanya saja, yang jadi ganjalan, yang diatur dalam PP Nomor 28/2024 adalah penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja sebagai bagian dari pelayanan kesehatan reproduksi.
Sementara itu kalau merujuk pada remaja yang sudah menikah, mereka biasanya sudah dapat pendampingan dari bidan dan diberi kontrasepsi cuma-cuma.Â
Jadi, kalimat "penyediaan alat kontrasepsi" ini sebaiknya dihapus atau direvisi karena dilihat dari sudut manapun dalam PP Nomor 28 Tahun 2024, alat kontrasepsi itu tidak ditujukan untuk remaja yang sudah menikah.
Kalau mau mempertahankan kalimat yang ada di Pasal (4) huruf (e) itu, maka ubahlah ayat (3) yang berisikan, "Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan melalui bahan ajar atau kegiatan belajar mengajar di sekolah dan kegiatan lain di luar sekolah."
Dengan begitu kami orangtua bisa menerima penyediaan alat kontrasepsi menjadi bagian dari pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang tidak dilakukan di sekolah, melainkan di fasilitas kesehatan, untuk remaja yang sudah menikah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H