Candi Ngawen buka dari pukul 08.00-16.00. Kita tinggal masuk saja karena gratis dan mengisi buku tamu. Tidak mengisi juga tidak apa-apa, tapi petugas menyarankan kita mengisi supaya mereka tahu pengunjung candi Ngawen dari mana dan siapa saja.
Tidak seperti batu di candi Borobudur yang disusun alami sebagaimana awal pembuatannya, batu di candi Ngawen telah disemen. Karena sudah disemen kita jadi bebas naik ke candi dan duduk di sana sambil berkontemplasi tentang kehidupan masyarakat Jawa masa lalu dan apa yang sudah kita lakukan di masa kini.
Saya datang pagi berbarengan dengan dua mahasiswa dari Yogya yang begitu sampai langsung foto-foto. Meski tidak instagramable, hamparan asri rerumputan dan tumpukan batu candi membuat kesan eksotis yang memukau untuk kita foto.Â
Tidak lama kemudian datang ibu bersama dua anaknya. Pun datang serombongan bocah yang langsung naik ke atas candi. Para bocah ini rupanya dari dusun setempat di Desa Ngawen. Mereka bilang sering datang ke candi Ngawen karena tempatnya indah, silir (sepoi-sepoi), dan luas untuk bermain.
Mereka duduk santai dan bercanda di atas candi. Setelah itu mereka turun dari dan main di rerumputan sambil berkejaran. Ada yang duduk santai, ada juga yang rebahan sambil menatap ke arah candi. Wajar, ya, kalau mereka sering ke candi. Siapa tahu ada diantara mereka yang nenek moyangnya jadi salah satu pembuat candi Ngawen.
Kalau kita sedang gabut atau lagi pengin sendiri, candi Ngawen bisa jadi pilihan untuk menghabiskan waktu sambil baca buku. Untuk nugas atau kerja juga bisa, tapi tidak ada colokan listrik dan Wi-Fi gratis.
Di dekat pintu masuk ada pojok baca. Isi bacaannya tentang kerajaan-kerajaan dan peninggalan Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Sayang sekali, tempat bacanya agak kotor seperti belum disapu selama dua pekan. Maklum saja petugasnya semua laki-laki dan pengunjung saja gratis masuk. Kita bahkan tidak perlu bayar parkir segala.
Namun, kalau kita punya uang lebih, tidak ada salahnya memberikan Rp50rb atau berapa pun ke petugas jaga untuk mereka membeli kopi.Â
Menikmati dan ingin tahu sejarah dibalik peninggalan nenek moyang tidak menjadikan kita kuno, melainkan menghargai jati diri sendiri. Para pembuat cobek itu juga tidak pindah profesi, mereka setia turun-temurun membuat cobek, ukiran, patung, dan nisan karena menjaga keterampilan warisan nenek moyangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H