Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Candi Ngawen dan Asal-usul Pemahat Relief Borobudur ke Pembuat Cobek Muntilan

8 Agustus 2024   15:11 Diperbarui: 8 Agustus 2024   17:18 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu candi yang tinggal kakinya saja | Foto: Yana Haudy

Candi Ngawen buka dari pukul 08.00-16.00. Kita tinggal masuk saja karena gratis dan mengisi buku tamu. Tidak mengisi juga tidak apa-apa, tapi petugas menyarankan kita mengisi supaya mereka tahu pengunjung candi Ngawen dari mana dan siapa saja.

Tidak seperti batu di candi Borobudur yang disusun alami sebagaimana awal pembuatannya, batu di candi Ngawen telah disemen. Karena sudah disemen kita jadi bebas naik ke candi dan duduk di sana sambil berkontemplasi tentang kehidupan masyarakat Jawa masa lalu dan apa yang sudah kita lakukan di masa kini.

Saya datang pagi berbarengan dengan dua mahasiswa dari Yogya yang begitu sampai langsung foto-foto. Meski tidak instagramable, hamparan asri rerumputan dan tumpukan batu candi membuat kesan eksotis yang memukau untuk kita foto. 

Tidak lama kemudian datang ibu bersama dua anaknya. Pun datang serombongan bocah yang langsung naik ke atas candi. Para bocah ini rupanya dari dusun setempat di Desa Ngawen. Mereka bilang sering datang ke candi Ngawen karena tempatnya indah, silir (sepoi-sepoi), dan luas untuk bermain.

Anak-anak dari dusun di sekitar Desa Ngawen bermain di atas candi | Foto: Yana Haudy
Anak-anak dari dusun di sekitar Desa Ngawen bermain di atas candi | Foto: Yana Haudy

Mereka duduk santai dan bercanda di atas candi. Setelah itu mereka turun dari dan main di rerumputan sambil berkejaran. Ada yang duduk santai, ada juga yang rebahan sambil menatap ke arah candi. Wajar, ya, kalau mereka sering ke candi. Siapa tahu ada diantara mereka yang nenek moyangnya jadi salah satu pembuat candi Ngawen.

Kalau kita sedang gabut atau lagi pengin sendiri, candi Ngawen bisa jadi pilihan untuk menghabiskan waktu sambil baca buku. Untuk nugas atau kerja juga bisa, tapi tidak ada colokan listrik dan Wi-Fi gratis.

Di dekat pintu masuk ada pojok baca. Isi bacaannya tentang kerajaan-kerajaan dan peninggalan Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Sayang sekali, tempat bacanya agak kotor seperti belum disapu selama dua pekan. Maklum saja petugasnya semua laki-laki dan pengunjung saja gratis masuk. Kita bahkan tidak perlu bayar parkir segala.

Rerumputan tempat warga berfoto dan anak-anak bermain | Foto: Yana Haudy
Rerumputan tempat warga berfoto dan anak-anak bermain | Foto: Yana Haudy

Namun, kalau kita punya uang lebih, tidak ada salahnya memberikan Rp50rb atau berapa pun ke petugas jaga untuk mereka membeli kopi. 

Menikmati dan ingin tahu sejarah dibalik peninggalan nenek moyang tidak menjadikan kita kuno, melainkan menghargai jati diri sendiri. Para pembuat cobek itu juga tidak pindah profesi, mereka setia turun-temurun membuat cobek, ukiran, patung, dan nisan karena menjaga keterampilan warisan nenek moyangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun