Konon cobek buatan Muntilan terkenal karena awet, enak buat ngulek, dan hasil ulekannya nikmat. Ini saya tahu beberapa tahun lalu dari teman-teman yang nitip minta dibelikan cobek buatan Muntilan ke saya. Saya bahkan baru tahu kalau ada munthu (ulekan) model bulat bertumpuk.
Ciri khas cobek buatan Muntilan mungkin karena bahan bakunya dari batu gunung Merapi. Merapi kerap melontarkan bebatuan saat erupsi. Saat erupsi besar tahun 2010 yang menewaskan kuncen (juru kunci) Merapi Mbah Maridjan, Merapi melontarkan banyak batu besar seukuran Brio, Agya, dan Ayla.
Berdasarkan foto yang pernah ditunjukkan suami ke saya, beberapa dari batu itu nyangsang di jalan raya Magelang-Yogya di antara Kecamatan Salam dan Kecamatan Tempel (Sleman, DIY). Padahal dari puncak Merapi ke jalan itu jaraknya sekitar 20 kilometer.
Batu-batu besar itu juga terlontar ke kebun penduduk, sungai, bahkan pinggir jalan desa. Menurut Geologinesia dalam beberapa letusan, besarnya batu yang terlontar dari gunung berapi diameternya bisa mencapai 3-5 meter atau lebih.
Jadi masuk akal kalau dibilang cobek Muntilan dibuat dari batu gunung Merapi, karena batunya memang tersedia. Selain itu aktivitas penambangan batu di gunung Merapi juga masih berlangsung sampai sekarang.
Satu lagi yang khas dari cobek Muntilan yang diketahui semua orang, para pembuatnya merupakan keturunan dari pemahat relief di candi Borobudur.
Cerita soal para pemahat relief Borobudur yang keturunannya sekarang jadi pembuat cobek dan pematung dikisahkan turun-temurun dari kakek ke cucunya, dari cucu ke cicitnya, dan seterusnya. Itulah yang membuat cobek Muntilan istimewa.
Satu Dinasti Dua Agama
Kabupaten Magelang punya candi peninggalan Kerajaan Medang (Mataram Kuno) yang bercorak Hindu, yaitu Pendem, Asu, Umbul, Gunungsari, Gunung Wukir, Candiretno, dan Selogriyo. Sedangkan yang bercorak Buddha ada Pawon, Umbul, Ngawen, Mendut, dan Borobudur.
Adanya candi Buddha dan Hindu di wilayah yang sama menurut sejarawan Belanda Frederik David Kan Bosch karena adanya dua wangsa (dinasti) berbeda yang memerintah Medang, yaitu Wangsa Syailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang Hindu.Â
Namun, pendapat Kan Bosch dibantah pakar sastra Jawa kuno Poerbatjaraka. Menurut Poerbatjaraka hanya ada satu wangsa di Medang karena Sanjaya merupakan keturunan dari wangsa Syailendra. Hanya saja dia berbeda agama dari pendahulunya. Poerbatjaraka menafsirkannya dari Prasasti Sojomerto.
Semua candi yang ada di Kabupaten Magelang dapat dimasuki gratis, bahkan tanpa biaya parkir, kecuali Selogriyo, Mendut, dan Borobudur. Borobudur telah ditetapkan oleh Kemenparekraf sebagai destinasi super prioritas, jadi harga tiket dan fasilitasnya tentu paling istimewa.Â
Kalau mau melihat sunrise dan sunset sembari breakfast atau dinner dengan semburat puncak Borobudur, kita bisa membayar reservasi seharga Rp250.000 per orang. Lumayan istimewa, kan?!
Berdasarkan catatan Kemdikbudristek candi Borobudur diperkirakan dibangun antara tahun 780-833M dan candi Mendut tahun 824M. Sementara itu, tidak ada catatan tahun berapa candi Ngawen dibangun.
Namun, dari arsitektur bingkai sisi genta, bingkai setengah lingkaran, dan bingkai persegi yang profilnya lebih kuno, diperkirakan Ngawen lebih tua dari Mendut dan Borobudur.Â
Sebagai candi yang usianya lebih tua dari Borobudur bukan tidak mungkin kalau para pemahat relief Borobudur merupakan keturunan dari para pemahat candi Ngawen yang di masa modern jadi pematung dan pembuat cobek Muntilan.
Pertama, jarak antara Ngawen (juga Mendut) dan Borobudur tidak sampai 10 kilometer dan sama-sama peninggalan Wangsa Syailendra yang beragama Buddha.Â
Kedua, tahun pembuatan ketiga candi ini juga tidak jauh-jauh amat dalam artian masih dalam jangkauan pengerjaan 1-2 generasi. Artinya, anak dan cucu dari seorang bapak pemahat besar kemungkinan bekerja jadi pemahat juga.
Keterampilan seperti biasanya diturunkan dari bakat dan pelatihan keluarga. Hal sama juga berlaku di keluarga petani yang biasanya mewariskan sawah dan keterampilan bertani ke anak-cucunya.
Maka itu amat mungkin buyut dan bapaknya memahat Ngawen, anak dan cicitnya memahat Borobudur, dan keturunannya di masa sekarang memahat patung, nisan, dan cobek.
Tempat Main dan Kontemplasi
Candi Ngawen mulanya terdiri dari lima bangunan candi. Seiring berjalannya waktu ditambah penjajahan Eropa, candi-candi itu sudah tidak utuh lagi.
Kemdikbudristek menulis Belanda memugar candi Ngawen tahun 1927, tapi sewaktu suami saya masih kecil di tahun 1980-an, dia sering lewat candi Ngawen dan mengatakan batu-batu candi masih berserakan di hamparan tanah lapang.Â
Bangunan candi menjadi rapi, tertata, dan asri seperti sekarang dikatakannya baru terjadi setelah tahun 1990-an. Mungkin saja Belanda merestorasi candi yang batunya masih lengkap saja, yaitu candi kedua dan keempat. Sedangkan tiga candi lainnya karena batu-batunya sudah tidak lengkap maka dibiarkan saja terhampar.
Candi Ngawen buka dari pukul 08.00-16.00. Kita tinggal masuk saja karena gratis dan mengisi buku tamu. Tidak mengisi juga tidak apa-apa, tapi petugas menyarankan kita mengisi supaya mereka tahu pengunjung candi Ngawen dari mana dan siapa saja.
Tidak seperti batu di candi Borobudur yang disusun alami sebagaimana awal pembuatannya, batu di candi Ngawen telah disemen. Karena sudah disemen kita jadi bebas naik ke candi dan duduk di sana sambil berkontemplasi tentang kehidupan masyarakat Jawa masa lalu dan apa yang sudah kita lakukan di masa kini.
Saya datang pagi berbarengan dengan dua mahasiswa dari Yogya yang begitu sampai langsung foto-foto. Meski tidak instagramable, hamparan asri rerumputan dan tumpukan batu candi membuat kesan eksotis yang memukau untuk kita foto.Â
Tidak lama kemudian datang ibu bersama dua anaknya. Pun datang serombongan bocah yang langsung naik ke atas candi. Para bocah ini rupanya dari dusun setempat di Desa Ngawen. Mereka bilang sering datang ke candi Ngawen karena tempatnya indah, silir (sepoi-sepoi), dan luas untuk bermain.
Mereka duduk santai dan bercanda di atas candi. Setelah itu mereka turun dari dan main di rerumputan sambil berkejaran. Ada yang duduk santai, ada juga yang rebahan sambil menatap ke arah candi. Wajar, ya, kalau mereka sering ke candi. Siapa tahu ada diantara mereka yang nenek moyangnya jadi salah satu pembuat candi Ngawen.
Kalau kita sedang gabut atau lagi pengin sendiri, candi Ngawen bisa jadi pilihan untuk menghabiskan waktu sambil baca buku. Untuk nugas atau kerja juga bisa, tapi tidak ada colokan listrik dan Wi-Fi gratis.
Di dekat pintu masuk ada pojok baca. Isi bacaannya tentang kerajaan-kerajaan dan peninggalan Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Sayang sekali, tempat bacanya agak kotor seperti belum disapu selama dua pekan. Maklum saja petugasnya semua laki-laki dan pengunjung saja gratis masuk. Kita bahkan tidak perlu bayar parkir segala.
Namun, kalau kita punya uang lebih, tidak ada salahnya memberikan Rp50rb atau berapa pun ke petugas jaga untuk mereka membeli kopi.Â
Menikmati dan ingin tahu sejarah dibalik peninggalan nenek moyang tidak menjadikan kita kuno, melainkan menghargai jati diri sendiri. Para pembuat cobek itu juga tidak pindah profesi, mereka setia turun-temurun membuat cobek, ukiran, patung, dan nisan karena menjaga keterampilan warisan nenek moyangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H