Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Juru ketik di emperbaca.com. Penulis generalis. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tafsir Atribut Tidak Wajar MPLS dan Kenyamanan Peserta Didik Baru

12 Juli 2024   14:58 Diperbarui: 13 Juli 2024   06:26 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun ajaran baru di Kabupaten Magelang resmi dimulai pada 22 Juli 2024, tapi banyak sekolah yang minta peserta didiknya masuk pada Sabtu, 20 Juli untuk keperluan pra-MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah).

Sebelum bernama MPLS, kita mengenalnya dengan sebutan MOS (Masa Orientasi Sekolah). MOS melibatkan kakak-kakak OSIS di SMP dan SMA karena mengikuti model Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) di masa lalu. Pelibatan kakak kelas itulah yang memicu terjadinya perpeloncoan yang tidak ada hubungannya dengan pembelajaran dan pengenalan sekolah.

Untunglah dalam MPLS yang berlaku sejak tahun ajaran 2018/2019, sekolah dilarang melibatkan kakak kelas dan alumni sebagai penyelenggara. 

MPLS, MOS, dan Pelonco Masa Penjajahan

Dalam buku Bunga Rampai dari Sejarah Volume II Mohammad Roem menceritakan pengalamannya dipelonco selama tiga bulan ketika masuk ke Stovia (sekolah dokter pribumi). Perpeloncoan di masa penjajahan bertujuan mendewasakan anak baru dalam waktu singkat.

Dalam KBBI pelonco juga diartikan sebagai gundul tidak berambut. Penggundulan mahasiswa yang dipelonco diduga terjadi di masa penjajahan Jepang. Dalam buku Tradisi Kehidupan Akademik, Rahardjo Darmanto menuturkan kata perpeloncoan digunakan oleh penjajah Jepang untuk menggantikan istilah ontgroening (anak hijau) dari penjajah Belanda.

Pada masa itu cuma anak-anak kecil yang berkepala gundul. Penggundulan rambut merupakan upaya simbolis yang menempatkan mahasiswa baru sebagai bocah hijau yang belum tahu apa-apa dan perlu diberi bekal untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan.

Waktu saya jadi mahasiswa baru tahun 1999, semua teman laki-laki wajib menggunduli kepalanya selama sepekan mengikuti Ospek. Jarak dari masa penjajahan Jepang ke masa saya kuliah terentang waktu 54 tahun, tapi perpeloncoan ala penjajah Belanja dan Jepang rutin dilakukan dengan doktrin ketahanan mental, soliditas angkatan, dan pendewasaan.

Kalau gundul jadi bagian dari Ospek mahasiswa, maka memakai aksesori aneh jadi bagian dari masa orientasi anak SMP dan SMA di masa MOS. Pada MPLS yang menggantikan MOS, kakak kelas dan alumni tidak boleh lagi ikut-ikutan memberi tugas yang berarti tidak ada perpeloncoan.

Sayangnya, pengenaan aksesori semisal topi caping yang diwarnai, name tag seukuran dada berlapis kertas warna, dan rumbai-rumbai masih diwajibkan oleh sekolah kepada peserta didiknya. Bukan cuma peserta didik baru, siswa lama juga diharuskan mengenakan aksesori serupa selama MPLS berlangsung tiga hari di sekolah.

Aksesori, Pengenalan Sekolah, dan Pembelajaran

Pengenalan lingkungan sekolah adalah kegiatan pertama masuk sekolah untuk pengenalan program, sarana dan prasarana sekolah, cara belajar, penanaman konsep pengenalan diri, dan pembinaan awal kultur sekolah.

Pada Pasal 5 Permendikbud No. 18/2016 disebutkan bahwa pengenalan lingkungan sekolah wajib mengenakan seragam dan atribut resmi dari sekolah. Sekolah juga dilarang dilarang memberikan tugas kepada siswa baru berupa kegiatan maupun penggunaan atribut yang tidak relevan dengan aktivitas pembelajaran siswa.

Apakah caping warna, name tag berwarna, dan rumbai-rumbai merupakan atribut resmi dari sekolah? Kalau mengacu pada KBBI dan aturan seragam di Permendikbudristek No. 50/2022, atribut resmi sekolah adalah seragam nasional, dasi, topi, dan badge (OSIS, bendera merah-putih, dan nama peserta didik).

Jadi caping dan name tag berwarna serta rumbai-rumbai jelas bukan atribut resmi dari sekolah. Lalu apakah bisa disebut sebagai atribut tidak wajar yang dilarang dalam Permendikbud No. 18/2016?

Atribut yang dilarang dalam Permendikbud tentang MPLS itu adalah:

  • Tas karung, tas belanja plastik, dan sejenisnya. 
  • Kaos kaki berwarna-warni tidak simetris, dan sejenisnya. 
  • Aksesoris di kepala yang tidak wajar. 
  • Alas kaki yang tidak wajar. 
  • Papan nama yang berbentuk rumit dan menyulitkan dalam pembuatannya dan/atau berisi konten yang tidak bermanfaat. 
  • Atribut lainnya yang tidak relevan dengan aktivitas pembelajaran.  

Makna 'aksesoris di kepala yang tidak wajar' dan 'atribut lainnya yang tidak relevan dengan aktivitas pembelajaran' bisa dibilang ambigu. Sekolah bisa saja beranggapan topi caping wajar karena bagian dari pembentukan karakter berbudaya lokal. 

Masalahnya, orang tua harus membeli caping untuk memenuhi syarat MPLS anaknya. Tidak ada keluarga yang sengaja punya caping di rumah kecuali anak petani. Keluarga petani pun tidak semuanya punya caping sebab caping hanya dipakai para buruh tani. Pun tidak semua buruh tani memakai caping karena mereka memilih pakai topi. Di daerah pertanian sekalipun, caping bukan penutup kepala sehari-hari yang umum dipakai. Caping lebih sering digunakan untuk acara kesenian, gelar karya P5 sekolah, dan acara budaya.

Kalau dari sudut pandang sebagai aksesori yang tidak wajar bagi anak sekolah, iya, caping tidak wajar. Namun, dari sudut pandang sekolah yang menginginkan pembentukan karakter berbudaya lokal, caping menjadi amat sangat wajar.

Kemudian bisakah persyaratan name tag dada yang diwarnai dan rumbai-rumbai disebut sebagai 'atribut lainnya yang tidak relevan dengan aktivitas pembelajaran'? Saya sebagai orang tua melihatnya sebagai atribut yang tidak relevan. Tanda pengenal cukup dari karton atau kardus yang dipotong dan disematkan dengan peniti ke saku baju seragam, bukan dikalungkan. 

Pengalungan name tag dengan alasan supaya nama mudah terbaca sama saja dengan masa MOS dan Ospek yang gunanya lebih untuk mempermalukan daripada mengenalkan nama.

Meski demikian, tanda pengenal yang besar mungkin memang memudahkan guru membaca nama peserta didik. Name tag warna-warni juga memudahkan guru mengenali asal kelas peserta didik dan membuat MPLS lebih meriah dan tidak bikin bosan. Jadi walau 'tidak relevan dengan aktivitas pembelajaran', name tag segede gaban memudahkan guru mengenali peserta MPLS.

MPLS dan Seragam Sekolah Lama

Pada hari pertama tahun ajaran baru selama MPLS berlangsung, sekolah biasanya mensyaratkan siswa kelas 7 dan 10 (dulu kelas 1 SMP dan 1 SMA) memakai seragam dari jenjang pendidikan mereka sebelumnya. Ini berarti siswa kelas 7 harus memakai seragam SD dan siswa kelas 10 harus memakai seragam SMP selama MPLS berlangsung.

Kemdikbudristek dalam sosialisasi MPLS menyebut kalau MPLS haruslah menyenangkan. MPLS juga punya lima manfaat penting bagi peserta didik baru, yaitu mengurangi rasa cemas dan stres, mengenalkan sarana dan prasarana sekolah, membangun kekompakan dan kebersamaan, memahami kultur dan nilai sekolah, dan memberikan informasi penting kepada siswa dan orang tua.

Kemudian, bagaimana bisa menyenangkan serta mengurasi rasa cemas dan stres pada siswa baru kalau dia diminta memakai seragam sekolah lamanya seolah belum layak jadi bagian dari SMP dan SMA yang dia masuki?

Lain halnya kalau dia terpaksa mengenakan seragam sekolah lama karena seragam barunya belum selesai dijahit. 

Lagipula kalau kita pikir, sebetulnya apa gunanya menyuruh siswa mengenakan seragam dari jenjang sekolah dibawahnya? Apa untuk membedakan siswa lama dan siswa baru supaya mudah dikenali saat MPLS? Kenapa siswa baru harus dibedakan dari kakak kelasnya?

Tidakkah meminta peserta didik baru untuk tidak langsung mengenakan seragam sekolah barunya berarti melestarikan perpeloncoan jaman penjajahan?

Pertanyaan itu tidak perlu dijawab karena cuma bagian kecil dari sengkarut pendidikan di negara kita yang nampak lebih suka sensasi daripada esensi. Lebih suka memelihara mental supaya tetap merasa terjajah dibalik aneka dogma dan indoktrinasi. Dan,  sering lebih suka memperumit sesuatu daripada mempermudahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun