Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Penulis - Ghostwriter

Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022. Peduli pendidikan dan parenting

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jadi Orang Baperan? Gak Masalah Asal Sesuai Porsinya

15 Juni 2024   15:02 Diperbarui: 17 Juni 2024   16:37 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi baper dibuat dengan AI BingChat

Baper merupakan akronim dari (ter) bawa perasaan. Istilah baper makin ramai digunakan saat film AADC 2 sewaktu Rangga dan Cinta melakukan perjalanan dari Yogya-Magelang PP. Perjalanan itu biasa saja seperti layaknya dua orang teman yang jalan dan nongki bareng, tapi vibes keduanya yang seperti CLBK sukses membuat hati para perempuan terbawa perasaan.

Istilah baper kemudian meluas dan tidak saja dipakai untuk hal berbau romantisme, tapi masuk ke segala hal yang menyangkut hati manusia. Saya pun termasuk yang baperan, tapi cuma yang berhubungan langsung dengan saya dan anak-anak. Kalau nonton film terus baper, ya, nggak. 

Petaka Katering

Saya berada di jajaran pengurus paguyuban kelas 6 dan karenanya harus ikut rempong mengurus pelaksanaan wasana warsa (wisuda). Saat rapat persiapan, Bu Guru minta ke satu ibu bernama A untuk jadi seksi konsumsi. Bu Guru beralasan, "Panjenengan, kan, kenal dengan banyak pemilik katering. Jadi njenengan aja, ya, yang ngurus."

Ibu A menggelengkan kepala berulang kali sambil berkata, "Nggak, ah, yang lain aja yang ngurus biar semuanya kerja." Bu Guru pun mengulang lagi bujukan kepadanya, tapi ditolaknya lagi sambil berkata, "Biar yang lain aja yang ngurus. Biar semuanya kerja."

Ibu B yang memang terkenal baperan tersinggung dengan ucapan "biar semuanya kerja". Ibu A dan Ibu B pun berselisih pendapat sebentar sebelum suasana akhirnya hening karena tidak ada yang mau mengurus konsumsi. Di tengah keheningan saya lantas mengajukan diri untuk mengurus konsumsi wisuda.

Dua detik setelah saya mengajukan diri, tiga ibu lain lantas mengacungkan jari juga untuk ikut mengurus konsumsi. Dalam hati saya mencetus, "Tadi kenapa tidak ada yang mengajukan. Setelah saya menawarkan diri baru semua pada ngacung."

Petaka terjadi saat hari H di tanggal 12 Juni. Petaka karena saya nombok Rp3jt demi menyediakan katering enak dan lezat? Terus terang saya memang berpikir harus menyediakan katering  yang lezat karena di jajaran tamu wisuda ada dari Dinas Pendidikan Kabupaten Magelang dan Forkopimcam termasuk di dalamnya Pak Camat dan bapak berseragam loreng.

Jadi tidak apa-apalah nombok Rp3jt. Toh ini sekolah negeri yang anggarannya terbatas, jadi gak ada salahnya disumbang.

Pemilik katering menjanjikan armadanya sanggup datang pukul 06.00 karena acara dimulai pukul 07.00. Sekolah minta katering datang pukul 06.00 karena kami masih harus memasukkan nasi kotak dan kotak kue ke dalam goodie bag.

Katering memang datang pukul 06.00, tapi nasi kotak dan snack yang dibawa cuma sedikit. Mereka bilang mobilnya tidak cukup membawa semua katering, jadi harus bolak-balik. Sampai pukul 07.00 katering belum juga datang dan saat saya telepon ternyata mereka belum selesai memasukkan nasi dan lauk-pauk ke dalam kotak! Plus, sopir yang membawa mobil katering lagi mandi!

Waktu terus bergerak ke pukul 08.00 dan acara yang sudah terlambat sejam mau tidak mau harus dimulai. Sampai kirab peserta didik dimulai katering belum datang. Akibatnya separuh undangan belum menerima goodie bag.

Sungguh, meski harusnya sekolah dan panitia lain berterima kasih karena saya sudah nombok Rp3jt, hal itu jadi melompong karena katering yang jadi tanggung jawab saya datang terlambat sampai dua jam lebih.

Saya baper berat menahan malu yang teramat dalam. Selama menunggu katering datang sejak pukul 06.00 mood saya anjlok ke inti bumi seperti di novel Jules Verne yang kemudian diadaptasi jadi film Journey to the Center of the Earth. 

Mood yang anjlok membuat saya merasa buruk rupa padahal saya dandan di salon dengan wajah cantik hasil polesan tangan pemilik salon yang terampil. Sepanjang hari saya jadi tidak bisa menikmati rangkaian acara wisuda. Padahal anak lelaki saya yang diwisuda main keyboard dan anak perempuan saya yang masih kelas tiga juga tampil bersama grup hadrohnya untuk menghibur hadirin.

Piala Ternyata Bukan untuk Siswa Berprestasi, Berkarakter, dan Terpercaya

Kebaperan saya mencapai puncak Merapi saat penghargaan untuk siswa berprestasi diumumkan. Di undangan sebetulnya sudah tertulis kalau yang dapat piala penghargaan adalah siswa dengan nilai Asesmen Sumatif Akhir Jenjang (ASAJ) tertinggi. Artinya siswa yang dapat banyak nilai 100 itu yang terpilih menerima penghargaan.

Namun, saya tetap berharap bukan siswa yang nilai ASAJ-nya tinggi yang dapat penghargaan, melainkan siswa yang sehari-harinya betul-betul berprestasi.

Anak saya selalu dapat peringkat satu di kelasnya sejak kelas 4. Dia juga berprestasi di bidang nonakademik dengan jadi kiper dan menjuarai futsal bersama timnya. Sebelumnya dia juga dapat juara 1 Majalah Digital bersama tim redaksi sekolahnya. 

Terakhir dia bersama tim hadroh dapat juara tiga di lomba MAPSI (Mata Pelajaran PAI dan Seni Islami). Itu semua didapat di tingkat kabupaten, bukan cuma level kecamatan. Bersama regu Pramuka, dia bahkan menjuarai Upacara Pesta Siaga sampai ke tingkat provinsi Jawa Tengah. Kurang berprestasi apa, coba?!

Baper saya makin melesat ke orbit bumi begitu tahu dua dari tiga siswa penerima penghargaan dari kelasnya bahkan tidak pernah berada di peringkat 5 besar, melainkan 8 besar selama kelas 4-6. Si peringkat pertama penerima penghargaan bahkan pernah ketahuan bawa vape (rokok elektrik) ke sekolah dan kepergok mencontek saat ASAJ!

Guru yang memergoki si peringkat satu ini mencontek bukan guru sekolah sendiri, melainkan guru sekolah lain yang saat itu mengawasi ASAJ di sekolah kami. Hal seperti ini mestinya bikin malu sekolah, bukan?! Kok malah kepilih jadi penerima penghargaan?! Tambahan lagi, si peringkat pertama ini dikenal memang sering mencontek saat ujian sekolah. Dia bahkan pernah mengaku kalau jawaban kisi-kisi soal ujian ditulisi oleh ibunya, dia tinggal menghapal saja saat akan ujian.

Sekolah memang sangat berkepentingan dengan nilai ASAJ karena di sinilah satu sekolah dinilai sebagai sekolah bagus atau tidak. Namun, kalau sekolah mengabaikan anak yang betul-betul punya prestasi sedari lama dan memilih anak yang nilai ASAJ-nya bagus saja, itu sangat tidak adil.

Banyak siswa yang berprestasi sekaligus di akademik dan nonakademik pada lima semester terakhir, namun karena nilai ASAJ mereka tidak dapat 100, akhirnya mereka malah tidak dihargai sama sekali.

Keuntungan jadi Orang Baperan

Kata orang, baperan itu merugikan karena hidup jadi tidak enak dan kita jadi tidak punya teman. Saya sebagai orang baperan merasa nyaman berteman dengan sesama baper. Kami sering menguatkan dan curhat bareng, bahkan saat jalan dan nongki bareng pun kami merasa sehati.

Selain itu, alarm dalam diri orang baperan lebih kencang berbunyi dibanding orang yang tidak baperan. Alarm ini  berfungsi membuat kita waspada terhadap mulut manis berbisa dan mencegah kita mudah percaya pada orang lain. Orang baperan juga selalu mengingat kejadian buruk yang menimpanya dan berusaha sekuat tenaga supaya pengalaman serupa tidak terulang.

Andai pengalaman buruk itu terulang, kami tidak berusaha menyalahkan orang lain karena pada dasarnya orang baperan itu orang yang selalu mengalah. Karena sering mengalah maka dia jadi baper. Heuwh.

Kerugian jadi Orang Baperan

Ada keuntungan ada juga kerugiannya sebab dunia ini perlu keseimbangan. Kebaperan saya karena petaka katering dan penghargaan siswa terbaik membuat saya jadi tidak bersyukur.

Anak saya yang gagal ditasbihkan jadi siswa terbaik-padahal prestasinya sangat baik-akhirnya ikut naik ke panggung wisuda. Dia bersama 11 teman sekelasnya dapat buket uang senilai Rp100rb dari sekolah karena meraih nilai 100 di Asesmen Sumatif Akhir Jenjang (ASAJ).

Kalau saya tidak baper mestinya saya sangat bersyukur karena anak saya dapat nilai 100 di mata pelajaran Matematika dan IPA. Dua mapel itu dari dulu termasuk yang paling tidak disukai mayoritas anak Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun