Kata orang, baperan itu merugikan karena hidup jadi tidak enak dan kita jadi tidak punya teman. Saya sebagai orang baperan merasa nyaman berteman dengan sesama baper. Kami sering menguatkan dan curhat bareng, bahkan saat jalan dan nongki bareng pun kami merasa sehati.
Selain itu, alarm dalam diri orang baperan lebih kencang berbunyi dibanding orang yang tidak baperan. Alarm ini  berfungsi membuat kita waspada terhadap mulut manis berbisa dan mencegah kita mudah percaya pada orang lain. Orang baperan juga selalu mengingat kejadian buruk yang menimpanya dan berusaha sekuat tenaga supaya pengalaman serupa tidak terulang.
Andai pengalaman buruk itu terulang, kami tidak berusaha menyalahkan orang lain karena pada dasarnya orang baperan itu orang yang selalu mengalah. Karena sering mengalah maka dia jadi baper. Heuwh.
Kerugian jadi Orang Baperan
Ada keuntungan ada juga kerugiannya sebab dunia ini perlu keseimbangan. Kebaperan saya karena petaka katering dan penghargaan siswa terbaik membuat saya jadi tidak bersyukur.
Anak saya yang gagal ditasbihkan jadi siswa terbaik-padahal prestasinya sangat baik-akhirnya ikut naik ke panggung wisuda. Dia bersama 11 teman sekelasnya dapat buket uang senilai Rp100rb dari sekolah karena meraih nilai 100 di Asesmen Sumatif Akhir Jenjang (ASAJ).
Kalau saya tidak baper mestinya saya sangat bersyukur karena anak saya dapat nilai 100 di mata pelajaran Matematika dan IPA. Dua mapel itu dari dulu termasuk yang paling tidak disukai mayoritas anak Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H