Awu ini juga disematkan kepada mereka yang bangsawan. Seorang Raden Mas berarti awunya lebih tua dari mereka yang "cuma" Raden. Pun seorang Raden harus dipanggil dengan sebutan Mas atau Pakde atau Kakang oleh rakyat jelata.Â
Soal darah biru ini (kalau bukan keturunan dan kerabat-langsung raja) mestinya sudah irrelevant dengan jaman now, tapi nyatanya ada orang berdarah biru yang minta diperlakukan istimewa bahkan selalu minta gelar Raden Mas ditambahkan didepan namanya hanya karena bapaknya juga Raden Mas.
Halalbihalal
Halalbihalal di mana semua saudara berkumpul di satu tempat-tanpa harus saling mengunjungi lagi- sering dilakukan oleh keluarga besar saya. Kebetulan ibu, semua saudara kandung, dan para sepupunya lahir dan besar di Jaksel, jadi sudah terbiasa dengan hal yang serba praktis.
Kalau semua rumah sedang tidak dimungkinkan untuk jadi tempat kumpul keluarga besar, kami memesan tempat di restoran dan kumpul-kumpul di sana untuk saling menanyakan kabar dan bercengkrama sambil menikmati hidangan.
Di kota besar, mengunjungi semua rumah saudara bisa amat melelahkan karena jalanan selalu padat dan rentan macet.
Sementara itu, di keluarga suami tidak pernah ada yang namanya kumpul-kumpul Lebaran dan halalbihalal. Bagi orang desa seperti kami silaturahim yang afdol adalah mengunjungi rumah saudara secara langsung. Kunjungan secara pribadi itu menciptakan hubungan yang akrab tanpa jarak dan makin menguatkan ikatan keluarga.
Halalbihalal yang terjadi di desa biasanya dilakukan oleh keluarga yang anggotanya sudah banyak yang tinggal di kota atau keluarga besar yang ingin mengumpulkan para cicit. Berkumpulnya keluarga yang jumlahnya bisa ratusan ini lebih familiar disebut dengan kumpul trah. Kumpul trah tidak dilakukan tiap Lebaran, melainkan dua-tiga tahun sekali karena banyaknya anggota keluarga yang harus mereka undang.
Ketupat dan Menu yang Seragam
Hal paling menyenangkan sekaligus membagongkan saat silaturahim Lebaran di Magelang ialah makan. Tuan rumah yang kami datangi mewajibkan tamunya untuk makan. Tidak peduli kami sudah kenyang dan perut hampir meletus, pokoknya harus makan! Kalau saat di ruang makan kami ketahuan cuma duduk manis tanpa makan, tuan rumah tidak membolehkan kami pulang. Pokoknya makan dulu baru boleh pulang.
Guna mencegah perut meledak karena kekenyangan makan di belasan (bahkan lebih dari 20) rumah biasanya kami siasati dengan mengambil sesendok (bukan secentong) nasi dan seiprit saja semua lauk dan sayur yang tersedia. Cara itu membuat lauk dan sayur di meja makan berkurang dan piring kami jadi kotor yang membuktikan kami beneran makan.
Lucunya, menu di tiap rumah saudara di seantero Magelang nyaris seragam. Ada, sih, satu-dua menu berbeda, tapi kering kentang, sayur krecek pedas, terik ayam, abon, dan pecel itu selalu ada di rumah yang kami kunjungi. Yang membedakan cuma varian kerupuk.Â
Bisa dibayangkan bagaimana rasanya makan menu yang sama di belasan rumah selama dua hari berturut-berturut.