Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022. Istri peternak dan ibu dua anak.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Awu, Makan, dan Foto-foto Saat Lebaran, Bukti Lain Ladang Lain Belalang

11 April 2024   19:51 Diperbarui: 12 April 2024   11:00 2168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi makanan khas lebaran. Selain ketupat yang wajib tersaji, makanan untuk Lebaran yang khas lainnya adalah opor ayam, rendang dan sambal goreng ati.(SHUTTERSTOCK/IKA RAHMA via Kompas.com) 

Silaturahim merupakan amalan yang diperintahkan Islam dan jadi bagian erat dari perayaan Idulfitri untuk saling memaafkan dan mengencangkan tali kekeluargaan supaya tidak putus.

Silaturahim di keluarga saya dan suami sedikit berbeda. Kalau keluarga saya cukup kumpul bareng di satu tempat, kalau di keluarga suami tidak afdol silaturahim tanpa mengunjungi rumah saudara. Jadi tiap Lebaran kalau tidak sedang jatah salat Id di Jakarta, kami keliling ke tempat saudara suami.

Ibu mertua punya empat saudara kandung yang semuanya sudah beranak-cucu di Jakarta dan Bekasi. Maka rumah-rumah yang kami kunjungi di seputaran Magelang adalah rumah para sepupu ibu mertua yang kami sebut dengan Bani Wiryo. Kalau silaturahim ke rumah para Bani Wiryo sudah selesai, kami lanjutkan ke Yogya, masih ke rumah dua Bani Wiryo yang tinggal di sana. 

Setelah semua rumah Bani Wiryo kami datangi, barulah kami ke Purworejo, tampat empat saudara kandung almarhum bapak mertua berada.

Ilustrasi makanan Lebaran | Dokumentasi olah pribadi 
Ilustrasi makanan Lebaran | Dokumentasi olah pribadi 

Awu

Tradisi berkumpul antarkeluarga besar di suami mengutamakan yang tua. Para keponakan mendatangi rumah pakde dan bude. Para adik sepupu mendatangi rumah kakak sepupu. Begitu seterusnya yang muda mendatangi yang tua. Karena itu sering terjadi para sepupu ketemu lagi di rumah masing-masing meski sebelumnya sudah saling bertemu di rumah satu kerabat.

Hampir tidak mungkin yang muda mengunjungi yang lebih tua kecuali ada situasi spesial seperti paklik atau bulik punya cucu yang baru lahir, sedang sakit, ngunduh mantu, atau hal spesial yang membuat saudara tua bersilaturahim ke rumah saudara yang muda saat Lebaran.

Meski demikian, saudara yang usianya lebih tua ternyata tidak serta-merta kita panggil dengan sebutan Mas, Mbak, Pakde, Bude, atau Kakang. Kita bisa saja memanggilnya dengan sebutan Dik, Paklik, atau Bulik walau usia mereka lebih tua. Ini karena mayoritas orang Jawa menghormati mereka yang awu-nya lebih tua.

Awu didalam bahasa Indonesia mungkin sepadan dengan silsilah. Siapa yang kakek/neneknya lahir duluan itulah yang awunya lebih tua. Para anak dan cucu mereka juga jadi punya awu lebih tua dari kita yang kakek/neneknya lahir belakangan.

Makanya saat mengunjungi saudara yang usianya lebih muda kita bisa saja memanggil mereka dengan sebutan Pakde dan Bude atau Mas dan Mbak. Suami saya usianya 5-10 tahun lebih tua dari beberapa sepupu dari keluarga ibunya, tapi karena awunya lebih muda maka dia dipanggil dengan Dik alih-alih Mas.

Awu ini juga disematkan kepada mereka yang bangsawan. Seorang Raden Mas berarti awunya lebih tua dari mereka yang "cuma" Raden. Pun seorang Raden harus dipanggil dengan sebutan Mas atau Pakde atau Kakang oleh rakyat jelata. 

Soal darah biru ini (kalau bukan keturunan dan kerabat-langsung raja) mestinya sudah irrelevant dengan jaman now, tapi nyatanya ada orang berdarah biru yang minta diperlakukan istimewa bahkan selalu minta gelar Raden Mas ditambahkan didepan namanya hanya karena bapaknya juga Raden Mas.

Halalbihalal

Halalbihalal di mana semua saudara berkumpul di satu tempat-tanpa harus saling mengunjungi lagi- sering dilakukan oleh keluarga besar saya. Kebetulan ibu, semua saudara kandung, dan para sepupunya lahir dan besar di Jaksel, jadi sudah terbiasa dengan hal yang serba praktis.

Kumpul keluarga saat Lebaran | Foto: Dokpri 
Kumpul keluarga saat Lebaran | Foto: Dokpri 
Kalau semua rumah sedang tidak dimungkinkan untuk jadi tempat kumpul keluarga besar, kami memesan tempat di restoran dan kumpul-kumpul di sana untuk saling menanyakan kabar dan bercengkrama sambil menikmati hidangan.

Di kota besar, mengunjungi semua rumah saudara bisa amat melelahkan karena jalanan selalu padat dan rentan macet.

Sementara itu, di keluarga suami tidak pernah ada yang namanya kumpul-kumpul Lebaran dan halalbihalal. Bagi orang desa seperti kami silaturahim yang afdol adalah mengunjungi rumah saudara secara langsung. Kunjungan secara pribadi itu menciptakan hubungan yang akrab tanpa jarak dan makin menguatkan ikatan keluarga.

Halalbihalal yang terjadi di desa biasanya dilakukan oleh keluarga yang anggotanya sudah banyak yang tinggal di kota atau keluarga besar yang ingin mengumpulkan para cicit. Berkumpulnya keluarga yang jumlahnya bisa ratusan ini lebih familiar disebut dengan kumpul trah. Kumpul trah tidak dilakukan tiap Lebaran, melainkan dua-tiga tahun sekali karena banyaknya anggota keluarga yang harus mereka undang.

Ketupat dan Menu yang Seragam

Hal paling menyenangkan sekaligus membagongkan saat silaturahim Lebaran di Magelang ialah makan. Tuan rumah yang kami datangi mewajibkan tamunya untuk makan. Tidak peduli kami sudah kenyang dan perut hampir meletus, pokoknya harus makan! Kalau saat di ruang makan kami ketahuan cuma duduk manis tanpa makan, tuan rumah tidak membolehkan kami pulang. Pokoknya makan dulu baru boleh pulang.

Guna mencegah perut meledak karena kekenyangan makan di belasan (bahkan lebih dari 20) rumah biasanya kami siasati dengan mengambil sesendok (bukan secentong) nasi dan seiprit saja semua lauk dan sayur yang tersedia. Cara itu membuat lauk dan sayur di meja makan berkurang dan piring kami jadi kotor yang membuktikan kami beneran makan.

Lucunya, menu di tiap rumah saudara di seantero Magelang nyaris seragam. Ada, sih, satu-dua menu berbeda, tapi kering kentang, sayur krecek pedas, terik ayam, abon, dan pecel itu selalu ada di rumah yang kami kunjungi. Yang membedakan cuma varian kerupuk. 

Bisa dibayangkan bagaimana rasanya makan menu yang sama di belasan rumah selama dua hari berturut-berturut.

Tambah lucu lagi ibu mertua saya di rumah juga masak menu yang sama. Hiks. Tahun ini menu di meja makan para saudara Magelang ketambahan lontong. Ndilalah, hampir semua rumah juga menyediakan lontong!

Melihat menu yang demikian nampak kalau ketupat bukan tradisi orang Magelang bahkan mungkin di eks Karesidenan Kedu yang termasuk Purworejo, Wonosobo, dan Temanggung. Soalnya saya pernah berkunjung ke beberapa rumah di tiga daerah itu saat Lebaran dan tidak menemukan ketupat.

Mungkin ketupatnya sudah habis, maklum kami datang di H+3 dan H+4 pascalebaran. Lamanya silaturahim Idulfitri di desa memang bisa berlangsung sepekan penuh. Ini dimungkinkan karena mata pencaharian mayoritas orang desa bukan pekerja kantoran, jadi mereka tidak terikat cuti bersama.

Sampai dua dasawarsa lalu, silaturahim Lebaran di desa bahkan baru selesai setelah sebulan. Ini karena banyaknya jumlah saudara dan kerabat yang tidak cukup dikunjungi dalam beberapa hari saja.

Foto-foto

Buat orang desa yang masih mempertahankan kedesaannya, foto-foto untuk konten bisa dibilang nggak penting banget. Mereka lebih mengutamakan kualitas hubungan personal di dunia nyata daripada eksis di medsos.

Saat bersilaturahim nyaris tidak ada yang mengeluarkan ponsel untuk sekadar mengecek notifikasi. Hampir tidak ada pula yang ngajak foto bareng untuk diposkan di status WhatsApp atau medsos. Mereka juga nyaris tidak mengeluarkan ponsel saat jeda perjalanan dari rumah satu ke rumah lainnya, kecuali untuk menerima panggilan telepon.

Ini saya perhatikan sudah sejak sembilan tahun lalu sejak saya ikut suami pindah ke Magelang. Mereka yang foto-foto lalu upload di WhatsApp dan medsos hanyalah orang yang pulang kampung dari merantau di kota. Pun dilakukan oleh orang desa yang sudah kekota-kotaan dan yang ingin menunjukkan eksistensi dengan bikin status WhatsApp melulu.

Foto-foto dengan intensitas ringan hingga lebat biasanya dilakukan saat halalbihalal atau arisan trah untuk mendokumentasikan seluruh keluarga besar.

Lain Ladang Lain Belalang

Pepatah lawas yang berbunyi lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya bermakna bahwa tiap tempat punya kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, dan peraturannya sendiri yang berbeda dengan tempat lain.

Makna ini, like it or not, sering dihiraukan oleh orang kota atau orang desa yang sudah jadi orang kota. Saat pulang atau datang ke desa tidak jarang dari mereka yang sengaja mengabaikan tradisi dan kebiasaan lokal.

Padahal desa itu homogen, tidak seperti di kota yang heterogen diisi oleh orang-orang dari bermacam suku. Kehomogenan desa berguna untuk mempertahankan kebiasaan positif yang membuat manusia tidak hilang sifat manusiawinya. Bagi orang kota homogen itu membosankan, makanya saat datang ke desa mereka cenderung mengabaikan kebiasaan setempat.

Padahal dari desa yang homogen itulah sering tercipta cerita-cerita unik, indah, dan lucu yang kemudian terkenang menjadi ingatan yang berharga sampai kita tutup usia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun