Saat esai ini ditulis jumlah views dokumenter Dirty Vote di kanal Youtube @dirtyvote dan @PSHKIndonesia masing-masing sudah lebih dari 7 juta. Kalau ditotal berarti ada 14 juta akun yang menonton Dirty Vote hanya dalam waktu dua hari setelah rilis pada 11 Februari 2024. Ada yang mengatakan views sebesar itu gampang dicari. Tinggal tonton berulang-ulang sampai 7 juta kali maka views pun bertambah sampai 7 juta.
Pertama, algoritma YouTube tidak semudah itu dikadali. Kedua, views tidak bakal nambah meski ditonton berulangkali dari akun berbeda.Â
Ketiga, views memang bisa bertambah kalau ditonton dari gawai berbeda, tapi Itu berarti seseorang harus punya lebih dari satu smarphone, satu laptop, satu tablet, dan satu komputer hanya untuk menambah beberapa ratus views saja di satu video. Keempat, menambah views secara sengaja seperti itu berpotensi besar membuat video di-takedown YouTube. Kanal pemilik video juga bakal kena banned permanen.Â
Jadi kalau banyak yang bilang video itu sengaja ditonton berulangkali supaya mencapai 7 juta views dalam waktu dua hari, itu mengada-ada.
Paling mungkin views meledak karena pihak pro dan kontra tergerak menontonnya sebab ingin penguatan dan menguatkan calon presiden yang mereka dukung.Â
Pemilu adalah momen emosional yang mendorong orang ke TPS dengan membawa luapan perasaan daripada melihatnya sebagai hak lima tahunan warga negara.Â
Makanya dalam memilih presiden pun kita mengedepankan emosi daripada mencari dan berpikir presiden seperti apa yang paling mumpuni memimpin Indonesia.Â
Hati, Emosi, dan Rasionalisasi
Saya sering bertanya dan menemukan jawaban dari ibu-ibu yang menyatakan mendukung Prabowo Subianto karena kasihan melihat beliau yang sudah tua. Apalagi di tiap debat beliau seperti terlihat jadi bulan-bulanan capres lain.Â
Usia Prabowo yang sudah tua kemudian membawa mereka pada pikiran Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo masih bisa mencalonkan lagi 5-10 tahun mendatang, jadi kenapa tidak memberi kesempatan pada Prabowo untuk jadi presiden.
KBBI mengartikan emosi sebagai luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat, juga keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis. Buat kaum emak-emak mencari rekam jejak dan informasi tentang calon presiden berarti tambahan beban kerja buat mereka selain mengurus rumah tangga.
Maka alih-alih memilih berdasarkan rasionalitas kemampuan capres dan kapabilitasnya memimpin Indonesia, emak-emak mengedepankan emosinya yang dibungkus rasionalisasi seperti, "Beliau ganteng dan gagah, kasih kesempatanlah buat jadi presiden."Â
Padahal memilih presiden bukan seperti memilih karyawan. Nasib ratusan juta rakyat ada di tangan presiden yang berdampak dari keputusan-keputusannya.
Hal serupa terjadi di kalangan pemilih muda, pemilih pemula, dan kalangan berpendidikan tinggi. Mayoritas dari mereka memilih berdasarkan faktor kedekatan. Dekat secara geografis karena pernah menjadi gubernur di tempat mereka. Dekat secara pribadi karena pernah kenal dan ngobrol meski cuma say hello, atau merasa dekat karena jadi follower media sosial si capres-cawapres.
Apa yang mereka rasakan secara emosional dari para calon presiden itulah yang melandasi keputusan foto siapa yang akan dicoblos di bilik suara.Â
Setelah secara emosi mantap memutuskan akan mendukung siapa, barulah mereka melakukan rasionalisasi untuk mengunggulkan calonnya. Rasionalisasi ini kemudian jadi benteng yang memerisai mereka dari fakta dan data minus soal calon yang didukungnya.
Golput dan Baper
Di Pemilu mana pun di negara demokratis angka orang yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput/golongan putih) tidak pernah sedikit. Katadata menyebut angka golput pada Pilpres 2014 mencapai 30,8 persen dan pada 2019 turun jadi 23,30 persen.
Pada Pilpres Amerika 2020 yang memenangkan Joe Biden, angka golput mencapai 33,9 persen. Badan Sensus ASÂ mencatat mereka golput karena pandemi Covid-19, sibuk bekerja, lupa, dan tidak tertarik pada politk.
Sementara itu di Indonesia belum ada survei, sensus, atau apa pun namanya yang menanyakan alasan kenapa memilih untuk tidak memilih, tetapi mayoritas kita tahu kalau yang melandasi orang untuk golput adalah rasa skeptis dan apatis. Mereka berpikir pemerintahan akan sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya.
Rasa skeptis dan apatis itu kemungkinan besar karena tidak ada rasa dekat dengan para capres yang menyebabkan tidak adanya koneksi emosional. Makanya sering kita dengar alasan orang golput karena: tidak ada calon presiden yang sreg (dihati).Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H