Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Momen Emosional Lima Tahunan yang Coba Diurai oleh Dirty Vote

13 Februari 2024   16:23 Diperbarui: 15 Februari 2024   20:48 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemilu dari kompas.com

Padahal memilih presiden bukan seperti memilih karyawan. Nasib ratusan juta rakyat ada di tangan presiden yang berdampak dari keputusan-keputusannya.

Hal serupa terjadi di kalangan pemilih muda, pemilih pemula, dan kalangan berpendidikan tinggi. Mayoritas dari mereka memilih berdasarkan faktor kedekatan. Dekat secara geografis karena pernah menjadi gubernur di tempat mereka. Dekat secara pribadi karena pernah kenal dan ngobrol meski cuma say hello, atau merasa dekat karena jadi follower media sosial si capres-cawapres.

Apa yang mereka rasakan secara emosional dari para calon presiden itulah yang melandasi keputusan foto siapa yang akan dicoblos di bilik suara. 

Setelah secara emosi mantap memutuskan akan mendukung siapa, barulah mereka melakukan rasionalisasi untuk mengunggulkan calonnya. Rasionalisasi ini kemudian jadi benteng yang memerisai mereka dari fakta dan data minus soal calon yang didukungnya.

Golput dan Baper

Di Pemilu mana pun di negara demokratis angka orang yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput/golongan putih) tidak pernah sedikit. Katadata menyebut angka golput pada Pilpres 2014 mencapai 30,8 persen dan pada 2019 turun jadi 23,30 persen.

Pada Pilpres Amerika 2020 yang memenangkan Joe Biden, angka golput mencapai 33,9 persen. Badan Sensus AS mencatat mereka golput karena pandemi Covid-19, sibuk bekerja, lupa, dan tidak tertarik pada politk.

Sementara itu di Indonesia belum ada survei, sensus, atau apa pun namanya yang menanyakan alasan kenapa memilih untuk tidak memilih, tetapi mayoritas kita tahu kalau yang melandasi orang untuk golput adalah rasa skeptis dan apatis. Mereka berpikir pemerintahan akan sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya.

Rasa skeptis dan apatis itu kemungkinan besar karena tidak ada rasa dekat dengan para capres yang menyebabkan tidak adanya koneksi emosional. Makanya sering kita dengar alasan orang golput karena: tidak ada calon presiden yang sreg (dihati). 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun