Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menarik Hati Akar Rumput dengan Sembako, Kaus, dan Gemoy

28 November 2023   13:55 Diperbarui: 28 November 2023   14:09 2340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kampanye dari berita.news

Besok mau pilih siapa, Pak'e? "Mbuh, ndelok engko wae aku rung ngerti."

Nanti pencoblosan capres milih siapa, Maszeh? "Durung ngerti, bingung arep milih endi." 

Pemilu nanti mau nyoblos capres yang mana, Dik? "Yang ngasih kaos aja, lumayan buat di rumah."

Ini pemilihan presiden paling membagongkan buat para akar rumput (yang tadinya) jadi fans Jokowi dan Prabowo. 

Mau tetap nge-fan sama Jokowi, tapi dia membawa keluarganya jadi pelanggar etika berat di bidang hukum dan demokrasi. Belum lagi capres pasangan anaknya punya rekam jejak kelam di bidang HAM.

Di pendukung Prabowo juga sami mawon. Mau tetap nge-fan sama Prabowo, tapi, kok, dia berpasangan sama anak "pak lurah" yang selama ini planga-plongo dan mencla-mencle. Tambahan lagi, si anak jadi cawapres gegara omnya menerabas etika kepentingan di MK. 

Kebimbangan dan kebingungan ini terutama menimpa kelas menengah yang sebetulnya sudah ingin melek politik. Akan tetapi, bejibunnya drama hukum dan politik yang berseliweran membuat otak mereka yang sudah mumet akan urusan hidup jadi membuntu lagi.

Bank Indonesia, dari Katadata, mengelompokkan kelas menengah dari sisi ekonomi sebagai mereka yang pengeluarannya Rp1,2 juta–6 juta per orang sebulan. 

Individu-bukan keluarga- yang pengeluarannya diatas Rp6 juta per bulan sudah masuk dalam kelompok kelas atas. Dan mereka yang pengeluarannya puluhan juta per bulan termasuk dalam kelompok tinggi (tajir, mungkin). Sayang pengelompokkan ini terakhir rilis pada 2016 dan belum ada lagi setelahnya.

Kalangan menengah ini jumlahnya paling besar dan sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu karena mudah terombang-ambing. Bersama masyarakat kelas bawah, mereka inilah yang disebut sebagai akar rumput .

Mengelola Akar Rumput

Kita tahu para petinggi partai politik yang mampu mengelola basis akar rumput dengan baik jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sepengamatan saya baru PDIP dan PKS yang punya akar rumput militan. PKS punya nilai lebih karena mereka partai kader yang tidak menonjolkan figur tertentu di partainya.

Akar rumput militan disini artinya, mereka simpatisan yang tidak masuk dalam kepengurusan partai, tapi sudi melakukan banyak hal untuk kepentingan partai politik.

Pemilu kali ini sebetulnya waktu tepat buat parpol untuk mengelola akar rumputnya untuk memaksimalkan perolehan suara. Namun, para elit belum optimal memberikan asupan informasi yang bergizi kepada para simpatisan parpolnya. Parpol mungkin masih memprioritaskan konsolidasi dengan pemilik modal, koordinasi dengan relawan, dan memperhatikan hasil-hasil survei.

Padahal tidak semua simpatisan bergabung dengan kelompok relawan. Pun tidak semua relawan adalah simpatisan sebuah parpol sebab yang mereka lihat adalah sosok capres-cawapresnya.

Akibatnya kelas menengah yang ingin melek politik di Pemilu kali ini tidak punya asupan informasi dari simpatisan akar rumput di sekitar mereka. Asupan informasi itu kemudian mereka cari di media sosial, bukan dari media arus utama. 

Kapabilitas media mainstream dalam menyebarkan informasi dijaga oleh Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers serta digawangi oleh Dewan Pers. Sedangkan medsos tidak punya filter dan cuma mengandalkan kebijaksanaan dan kesadaran seseorang. Maka lihatlah betapa mudah kelas menengah ini termakan hoaks, tergiring disinformasi, dan terbawa misinformasi yang berasal dari medsos.

Tapi, kan, beberapa kelompok relawan sudah menggelar pentas seni dan bakti sosial untuk mempromosikan capres-cawapres? Itu masih sebatas aksi dan ajakan untuk, "Yuk, pilih capres ngunu yang terbukti merakyat."

Bagi kelas bawah, pentas seni dan tebaran spanduk segede gaban memang amat sangat berpengaruh menancapkan persepsi di benak mereka. Namun, bagi kelas menengah, butuh lebih dari sekadar pentas seni dan ajakan memilih pemimpin merakyat.

Pemimpin merakyat yang dikenal rakyat mungkin baru Presiden Joko Widodo. Selama masa pemerintahannya Jokowi berhasil menjadikan akar rumput bagian dari politik dan kekuasaan dengan freedom of speech di medsos, aneka unjuk rasa, dan penggalangan massa. 

Rakyat jadi merasa ikut memiliki negara dan bukan sekadar komoditas menjelang Pemilu. Selain itu, Jokowi senang bertemu langsung dengan rakyatnya tanpa sekat formalitas dan protokoler kenegaraan. Ini yang disukai akar rumput.

Hal sama dilakukan juga oleh Ganjar Pranowo selama 10 tahun jadi gubernur Jateng. Beliau senang blusukan untuk melihat dan menyelesaikan macam-macam persoalan yang dialami warga. Pun Anies Baswedan berupaya melakukan hal serupa, tapi tidak maksimal. Anies datang dari keluarga kelas atas dan terpelajar yang privilesenya tidak dimiliki akar rumput. 

Kaum kelas atas yang terpelajar tidak terbiasa dengan pola blusukan dan ngalor-ngidul kalau tidak ada perlunya sebab mereka mengutamakan efisiensi. Prabowo setali tiga uang dengan Anies, maka amat wajar kalau mereka tidak bisa mengadopsi model blusukan untuk dekat dengan rakyat. Mereka akan mencari model yang nyaman mereka jalankan selain blusukan.

Salah satu model yang dipilih tim sukses Prabowo adalah joget ala TikTok dan citra gemoy. Sementara Anies tampak menikmati kampanye model diskusi sesuai latar belakangnya sebagai akademisi.

Warga Tanpa KTP

Dibanding kelas menengah, nasib lebih baik dialami kelas bawah. Mereka tidak bimbang, ragu, dan bingung siapa capres yang akan mereka coblos, karena sudah tidak punya waktu memikirkan selain urusan perut.  

BPS dan Bank Indonesia membagi kelas bawah jadi tiga, yaitu:

  1. Miskin, dengan pengeluaran kurang dari Rp354.000 per bulan.
  2. Rentan, dengan pengeluaran Rp354.000–532.000 per orang sebulan.
  3. Menuju kelas menengah, dengan pengeluaran Rp532.000–1,2 juta per orang sebulan.

Kelas miskin dan rentan inilah yang saking terbawahnya, sampai tidak dapat akses untuk bikin KTP. Kemendagri menyebut ada 2,7 juta orang Indonesia yang belum punya KTP padahal sudah berusia 17 tahun keatas. Mengutip kompascom Menteri Desa Abdul Halim Iskandar juga sudah minta pemerintah desa untuk mendata warganya yang takpunya KTP supaya mereka dapat akses ke berbagai bantuan sosial.

Akar rumput yang begini mestinya jadi prioritas utama para capres kalau mau menarik hati rakyat. Persoalannya, yang tahu persis siapa-siapa saja yang miskin dan tertinggal sampai ke ujung pelosok adalah lurah dan kepala desa. Ndilalah, kompascom memuat berita kalau para kepala desa se-Indonesia sudah mendeklarasikan diri mendukung Prabowo-Gibran.

Ini berarti kemungkinan Ganjar-Mahfud dan AMIN untuk menyelusup ke kelas bawah lewat kepala desa jadi sulit, walau tidak benar-benar tertutup.

Kaus, Sembako, Pawai, dan Pentas Seni

Andai, andai Prabowo yang sudah kali ketiga nyapres dan Gibran yang berlimpah privilese terus menyebarkan semangat Indonesia maju tidak cuma dari joget gemoy dan makan gratis, pasangan ini bisa mengunduhkeuntungan dari akar rumput di kelas menengah sekaligus kelas bawah.

Joget ala TikTok dan persepsi gemoy memang cocok diterapkan kalau target pemilihnya pelajar dan kelas bawah. Namun tidak cocok untuk menggaet kelas menengah yang berpendidikan. Lalu makan gratis juga sudah dilakukan banyak rumah makan di Indonesia tiap Jumat.

Dari sini sebetulnya mudah terlihat kalau yang niat nyapres dan haqqul yaqin bisa memimpin negara sebetulnya cuma pasangan AMIN dan Ganjar-Mahfud. 

Visi misi AMIN membawa negara jadi makmur untuk kemaslahatan bersama. Sedangkan visi misi Ganjar Mahfud akan membawa Indonesia jadi negara maju dengan digitalisasi dan landasan hukum yang kuat.

Dibanding Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo sudah kehilangan tujuan untuk apa dia ingin jadi presiden. Sedangkan Gibran juga tampak belum punya arah untuk apa dia jadi cawapres selain digadang oleh kelompok oligarki yang memanfaatkan nama besar bapaknya.

Kita lihat, bagi-bagi sembako, kaus, dan pentas seni pasti masih banyak dilakukan di Pilpres kali ini walau Bawaslu sudah menegaskan bagi-bagi sembako dan kaus sudah termasuk money politic. Urusan politik uang juga sudah diatur dalam UU No. 17 Tahun 2017 tentang Pemilu. 

Suka atau tidak, bagi-bagi kaus, sembako, alat tulis, bahkan gantungan kunci nyatanya memang diharap oleh akar rumput sebab bisa membantu mereka memutuskan akan mencoblos siapa di bilik suara tanggal 14 Februari 2024 nanti. Lalu tugas siapa mencerdaskan masyarakat soal money politic?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun