Akar rumput militan disini artinya, mereka simpatisan yang tidak masuk dalam kepengurusan partai, tapi sudi melakukan banyak hal untuk kepentingan partai politik.
Pemilu kali ini sebetulnya waktu tepat buat parpol untuk mengelola akar rumputnya untuk memaksimalkan perolehan suara. Namun, para elit belum optimal memberikan asupan informasi yang bergizi kepada para simpatisan parpolnya. Parpol mungkin masih memprioritaskan konsolidasi dengan pemilik modal, koordinasi dengan relawan, dan memperhatikan hasil-hasil survei.
Padahal tidak semua simpatisan bergabung dengan kelompok relawan. Pun tidak semua relawan adalah simpatisan sebuah parpol sebab yang mereka lihat adalah sosok capres-cawapresnya.
Akibatnya kelas menengah yang ingin melek politik di Pemilu kali ini tidak punya asupan informasi dari simpatisan akar rumput di sekitar mereka. Asupan informasi itu kemudian mereka cari di media sosial, bukan dari media arus utama.Â
Kapabilitas media mainstream dalam menyebarkan informasi dijaga oleh Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers serta digawangi oleh Dewan Pers. Sedangkan medsos tidak punya filter dan cuma mengandalkan kebijaksanaan dan kesadaran seseorang. Maka lihatlah betapa mudah kelas menengah ini termakan hoaks, tergiring disinformasi, dan terbawa misinformasi yang berasal dari medsos.
Tapi, kan, beberapa kelompok relawan sudah menggelar pentas seni dan bakti sosial untuk mempromosikan capres-cawapres? Itu masih sebatas aksi dan ajakan untuk, "Yuk, pilih capres ngunu yang terbukti merakyat."
Bagi kelas bawah, pentas seni dan tebaran spanduk segede gaban memang amat sangat berpengaruh menancapkan persepsi di benak mereka. Namun, bagi kelas menengah, butuh lebih dari sekadar pentas seni dan ajakan memilih pemimpin merakyat.
Pemimpin merakyat yang dikenal rakyat mungkin baru Presiden Joko Widodo. Selama masa pemerintahannya Jokowi berhasil menjadikan akar rumput bagian dari politik dan kekuasaan dengan freedom of speech di medsos, aneka unjuk rasa, dan penggalangan massa.Â
Rakyat jadi merasa ikut memiliki negara dan bukan sekadar komoditas menjelang Pemilu. Selain itu, Jokowi senang bertemu langsung dengan rakyatnya tanpa sekat formalitas dan protokoler kenegaraan. Ini yang disukai akar rumput.
Hal sama dilakukan juga oleh Ganjar Pranowo selama 10 tahun jadi gubernur Jateng. Beliau senang blusukan untuk melihat dan menyelesaikan macam-macam persoalan yang dialami warga. Pun Anies Baswedan berupaya melakukan hal serupa, tapi tidak maksimal. Anies datang dari keluarga kelas atas dan terpelajar yang privilesenya tidak dimiliki akar rumput.Â
Kaum kelas atas yang terpelajar tidak terbiasa dengan pola blusukan dan ngalor-ngidul kalau tidak ada perlunya sebab mereka mengutamakan efisiensi. Prabowo setali tiga uang dengan Anies, maka amat wajar kalau mereka tidak bisa mengadopsi model blusukan untuk dekat dengan rakyat. Mereka akan mencari model yang nyaman mereka jalankan selain blusukan.