Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Juru ketik di emperbaca.com. Penulis generalis. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terbang Terlalu Dekat ke Matahari

21 November 2023   10:39 Diperbarui: 21 November 2023   10:46 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Graecia melempar pandang ke cakrawala dari teras asramanya. Langit mendung khas November. Sebentar lagi akan hujan gerimis, rintik, tapi takkan deras. Hujan air takpernah deras di Thessaloniki, tapi hujan salju di Januari akan bertubi-tubi walau taksampai memaksa orang mendekam diri.

Setelah melirik sekilas arlojinya-memastikan dia tidak terlambat, Graecia melangkahkan kaki ke kampus yang berjarak hanya sepelemparan baru. Dibukanya reslesting jaket. Mendung tampak tak menjadikan cuaca menjadi dingin, malahan agak panas.

Graecia memutar pikiran dari relung ingatannya yang memunculkan kepingan saat dia membacakan kisah mitologi Pandóra dan menafsirkan moralitasnya dengan intelektualitas tinggi tentang kepercayaan, bencana, dan harapan.

Tugas dari Professor Ariadne yang harus dibaca dan ditafsirkan di kelas hari ini pun mudah. Tiga mitologi paling terkenal bisa dipilih mahasiswa dari Íkaros kai Daídalos, Thiseas kai Minotauros, sampai Médousa.

Graecia yakin banyak temannya memilih Médousa dan mengaitkannya dengan seksualitas dan seksisme sebab di jurusan Sastra Yunani mayoritas mahasiswanya perempuan. Graecia memilih Íkaros kai Daídalos. 

Íkaros terbang dengan sayap bulu yang direkatkan ke lilin buatan ayahnya Daídalos. Namun karena terbang terlalu dekat dengan matahari, sayap lilin Íkaros meleleh. Dia jatuh ke hamparan air hijau Laut Aegea dan mati tenggelam. 

Piece of cake! Graecia mengulum senyum, yakin kalau tafsiran sastranya kali ini bakal memukau lagi.

Pukul delapan tepat kelas dimulai dan Profesor Ariadne minta Graecia jadi yang pertama membaca dan menafsirkan. Graecia mengangguk, "Baik, Profesor."

"... Íkaros bersemangat akan kebebasannya dari belenggu penjara Raja Minos. Dan kebebasan itu harus dibayar mahal dengan nyawanya. Apakah Ikaros menyesal? Saya pikir tidak. 

Kebebasan mutlak diperjuangkan bahkan dengan nyawa. Dari situlah hak kita sebagai manusia merdeka dapat terpenuhi," Graecia mengembangkan senyum dan membinarkan matanya setelah selesai membaca dan menafsirkan tanpa jeda sedetik pun.

Profesor Ariadne memandang seisi kelas, "Ada yang ingin menanggapi?"

Satu kelas saling pandang dan hening saling menanti adakah diantara mereka yang ingin menanggapi. Graecia puas dengan tatapan bingung kawan-kawannya atas tafsirannya.

"Apa kautahu siapa Pierre Grimal dan Thomas Hulme?" tanya Eleni dari kursinya-ditujukan untuk Graecia.

Graecia mengernyitkan dahi, "Kenapa kuharus tahu? Apa ada hubungannya dengan Íkaros kai Daídalos?"

"Eumm, tafsiran Pierre Grimal dan Thomas Hulme paling banyak diikuti karena paling mendekati moralitas manusia. Setidaknya kalau kausudah baca, tafsiran Íkarosmu tidak akan melenceng sejauh yang pernah ada," timpal Eleni.

Rona merah menyembul dari pipi putih Graecia. Hatinya merasa ditusuk karena tafsirannya yang murni tanpa terpengaruh siapa-siapa justru mendapat pertentangan.

"Kauingin aku mensontek pendapat mereka tentang Íkaros kai Daídalos? Kalau benar begitu berarti aku melakukan plagiarisme, Eleni. Apakah plagiarisme diizinkan di kampus kita, Profesor?"

Separuh kelas mulai berbisik-bisik memecah pendapat apakah Eleni atau Graecia yang benar. Separuhnya lagi diam saja menunggu apa yang dikatakan Profesor Ariadne.

"Eleni, jelaskan mengapa kau menyebut Pierre Grimal dan Thomas Hulme atas tafsiran Íkaros kai Daídalos," Profesor Ariadne memandang bergantian ke arah Eleni dan Graecia.

Eleni bangkit dari kursinya dan berjalan ke depan kelas.

"Saya tentu menentang keras plagiarisme, tapi saya sependapat dengan Pierre Grimal dan Hulme Tafsir atas Íkaros kai Daídalodengan pemahaman yang berbeda. Saya berpendapat terbangnya Ikaros tidak ada hubungannya dengan kebebasan yang diperjuangkan dengan nyawa. Bagaimana pun nyawa tidak dapat digantikan oleh apa pun. 

Manusia boleh saja tinggi hati sampai terbang ke langit, tapi dia harus turun kembali karena kecilnya manusia dibanding apa yang ada di dunia ciptaan-Nya. Íkaros yang terbang dekat dengan matahari lebih kepada metafora atas sifat manusia yang berlebihan dan selalu menginginkan sesuatu diatas kemampuannya. 

Yang saya utarakan tadi sekaligus sebagai pendapat tafsir saya atas moralitas Íkaros kai Daídalos, Profesor," katanya sambil agak membungkukkan badan. "Terima kasih."

Graecia melihat kawan-kawannya mengangguk-angguk kecil kearah Eleni setelah dia kembali ke kursinya. 

Profesor Ariadne menyela, "Bagus, Eleni. Kau juga bagus mengatakan pendapat yang tidak umum mengenai kejatuhan Íkaros, Graecia. Hanya saja moralitas pada Íkaros kai Daídalolebih pas bila dibenamkan pada sifat tamak dan angkuh manusia."

"Sekarang apakah ada lagi yang menafsirkan Íkaros kai Daídalos? Silakan berdiri," lanjut Profesor Ariadne.

Graecia tersinggung ada yang mempertentangkan tafsiran sastranya. Profesor Ariadne bahkan lebih menyetujui tafsiran Eleni.

Sisa waktu di kelas Profesor Ariadne terasa panjang dan lama. Graecia tidak lagi mendengar uraian kawan-kawannya. Hatinya kecewa karena orang-orang mengabaikannya.

Pikirannya terus mendorong bahwa dialah yang benar. Dia sesungguhnya mesti dapat tepuk tangan dan pujian karena tidak punya pendapat mandiri tafsir moral sebuah karya sastra. 

Graecia ingin membuktikannya. Dia bergegas ke perpustakaan untuk mencari literatur tentang-Graecia belum tahu-tentang apa saja yang bisa menguatkan pendapatnya tentang banyak hal.

Ditaruhnya tas di loker kemudian dia menaruh laptopnya di meja di dalam kompartemen buku klasik. Jemarinya menelusuri deretan buku dan menemukan Íkaros kai Daídalos. Dia pernah membacanya, tentu, beberapa bulan lalu, dan kini dia baca lebih saksama sebelum beranjak ke Dictionary of Classical Mythology dari Pierre Grimal. 

Keesokan dan beberapa hari berikutnya dia kembali ke perpustakaan kampus dan menemukan yang tidak pernah diduganya. Semakin banyak membaca makin Graecia terimpit sesak sebab ternyata dia tidak tahu apa-apa soal mitologi apalagi moralitasnya.

Lamunan Graecia buyar karena ada yang menepuk pundaknya. Alexious, anak Filsafat yang sama-sama anggota klub teater, menyeringai lebar memperlihatkan giginya yang putih dan rapi.

"Oh, kau."

"Apa yang kaubaca?" Alexious mengintip judul buku di depan Graecia. "Oh, bacaan anak sastra."

"Tidak juga. Kok kau ke bagian buku klasik? Kaucari buku apa?"

Lelaki yang hidungnya sangat mancung dan berambut kecoklatan itu menjawab santai, "Iseng, cari bacaan yang berbeda. Buku apa yang bagus dari referensimu?"

Graecia mengangkat bahu, "Kaucari saja sendiri." 

Alexious duduk di depan Graecia dan mengurungkan niatnya mencari buku. "Sejak kapan kau rajin ke perpustakaan?"

Graecia tidak menjawab, matanya masih menyusuri huruf demi huruf buku The Eumenides dari trilogi Oresteia karangan dramawan Yunani Kuno Aiskhylos. Lima detik kemudian dia baru mendongakkan kepala dan menjawab Alexious.

"Sejak aku mati kutu di kelas Profesor Ariadne." Graecia menoleh kanan-kiri. Tidak ada salahnya mengobrol sedikit mumpung sepi.

Graecia mendesah panjang lalu menceritakannya kejadian di kelas Profesor Ariadne tempo hari kepada Alexious. Alexious tekun mendengar curahan hati Graecia sambil sesekali menahan diri untuk tidak menyeringai lagi.

"Kautahu apa arti namamu. Graecia?" tanya Alexious ketika Graecia sudah selesai bercerita dan berkeluh-kesah.

"Yang diberkati, anggun, dan indah-dari kata grace."

Alexious terkekeh kecil. "Sungguh kau tak tahu?"

"Grace....ya, kan...?"

Alexious mendekatkan wajahnya ke arah Graecia sambil memangku tangan. "Asal namamu bukan dari grace, melainkan dari nama suku pendatang yang datang ke Yunani tahun 3000 sebelum Masehi. Mereka mengembangkan peradaban Hellenik di sini. Dari situlah Yunani Kuno juga dikenal dengan nama Graecia."

Graecia memandang heran Alexiuos. "Kok aku tidak tahu? Dari mana kautahu soal itu?"

"Itu pengetahuan umum. Mungkin bacaanmu terlalu berat sampai lupa membaca tentang Graecia," kata Alexious menepuk tumpukan buku di depan Graecia.

Graecia tertegun.

"Sekarang, setelah membaca ulang Íkaros kai Daídalos juga karangan Pierre Grimal dan Thomas Hulme, apa pendapatmu soal moralitas Íkaros?" cecar Alexious.

Graecia menunda menjawab. Dia melempar pandang lagi ke arah deretan buku-buku klasik di rak perpustakaan yang tinggi. Mendesah napak panjang sambil menggali keyakinan akankah dia jujur pada dirinya sendiri, atau tetap pada keyakinannya bahwa dia selalu benar?

Ditatapnya Alexious dengan tatapan lesu. "Selama ini mungkin akulah yang terbang terlalu dekat ke matahari. Kalau tidak segera turun kesombongan dan keangkuhanku pasti menghempaskanku bukan ke Laut Aegea, tapi ke jurang kebinasaan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun