Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Etika dan "Dirty Hands" di Kacamata Politik Sekarang dan Esok

8 November 2023   16:01 Diperbarui: 10 November 2023   12:30 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari Medieval Ethics

Anak muda memang koentji, maka tidak masalah kalau mereka mau jadi ketua umum parpol atau wakil presiden. Akan tetapi anak muda mestilah berproses kalau mau sukses. Dan bukan sukses yang dipaksakan terabas sana-sini kalau tidak boleh dibilang tanpa etika.

Uji materi tentang usia minimal capres-cawapres yang melenggangkan Gibran itu juga sulit untuk dibilang tidak dipaksakan. Sebabnya gugatan itu datang di tahun kita mempersiapkan kandidat capres dan cawapres, yaitu pada 3 Agustus 2023. Kemudian diputuskan pada 16 Oktober 2023 saat pendaftaran capres-cawapres dibuka KPU pada 19 Oktober 2023.

Etika dan Pembenaran

Gibran dan Kaesang masih remaja ketika peristiwa 12-14 Mei 1998 yang menumbangkan orde baru terjadi. Bisa jadi belum paham kenapa rakyat Indonesia ingin keluar dari pemerintahan Soeharto padahal katanya beliau bapak pembangunan. Bapak pembangunan, kok, dihujat?

Karena kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) ada di setiap lini kehidupan sejak Pak Harto mengutamakan kolega dan keluarganya untuk menduduki bisnis dan posisi strategis pengelolaan negara. 

Politikus Gerindra-parpol yang mengusung Prabowo-Gibran-Andre Rosiade bahkan mengakui KKN zaman orba paling dahsyat, sebab Andre Rosiade salah satu aktivis reformasi yang menggulingkan orde baru.

Maka andaipun cawe-cawe Jokowi ada hubungannya dengan menjaga stabilitas selama momentum bonus demografi, caranya tidak dengan nepotisme. Nepotisme bukan perkara sepele karena merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip moral dan etika yang mendasari pemerintahan yang adil. 

Kalau sudah nepotisme, alasan melanjutkan program pembangunan Jokowi dan menyiapkan masa bonus demografi untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 jadi terasa seperti pembenaran belaka.

Meski begitu, nasi sudah jadi bubur. Hukum sudah berkekuatan tetap. Sekarang fokus kita sudah tidak lagi soal dinasti politik dan sebagainya. 

Saatnya kita menyiapkan diri untuk memilih presiden yang nanti betul-betul kompeten menyediakan akses pendidikan yang berkualitas, infrastruktur, layanan kesehatan, dan penyediaan lapangan pekerjaan. untuk mempersiapkan diri memasuki periode bonus demografi.

Dan terakhir, sebetulnya etika di politik itu betulan ada atau cuma diada-adakan supaya terlihat santun dan beradab?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun