Etika dibuat sebagai rem untuk menjaga kita supaya tidak kebablasan melakukan sesuatu yang tidak ada aturan tertulisnya. Dengan kata lain etika itu berhubungan dengan akhlak dan kewajiban moral. Sedangkan moral merupakan ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya.
Kemudian muncul Putusan Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-XXI/2023 tanggal 16/10/2023 tentang usia minimal capres dan cawapres. Dari situlah etika dan moral politik ramai dan dipertanyakan lagi. Sebabnya karena ada presiden yang punya anak maju jadi cawapres setelah keluar putusan MK yang diketuai adik ipar presiden.
Tambahan lagi sang anak adalah wali kota dari partai politik yang mengusung orang lain sebagai capres-cawapresnya. Akrobat politik seperti itu tambah bikin mata awam-berkaca pada survei Litbang Kompas soal dinasti politik-makin yakin kalau tidak ada kawan dan lawan di urusan politik karena semuanya bermuara pada kekuasaan.
Siapa yang Membuat Etika di Politik?
Politikus merupakan salah satu profesi karena pelakunya menggeluti bidang tertentu yang spesifik (politik), mengikuti syarat dan kesahan sebagai anggota partai politik, dan menerima bayaran dari pekerjaannya di bidang yang berhubungan dengan politik di legislatif dan eksekutif.
Makanya lazimnya ada etika profesi yang mengatur politikus, sama seperti profesi lainnya seperti dokter, wartawan, guru, bahkan penulis. Etika dibuat dan diatur oleh organisasi profesional dan berlaku untuk semua yang menjalankan profesi tersebut.
Bila tiap individu bisa keluar-masuk politik tanpa pendidikan khusus atau mempelajari ilmu tertentu seperti profesi lain, lalu siapa yang membuat etika bagi para politisi?
Albert Camus (1913-1960) melihat etika politik sebagai suatu pandangan tentang bagaimana manusia harus bertindak dalam situasi yang absurd, yaitu situasi yang tidak memiliki makna, tujuan, atau keadilan.
Dia menolak solusi yang menawarkan harapan palsu, seperti agama, ideologi, atau nihilisme dan mengajak manusia untuk mengakui kenyataan absurditas dan tetap berjuang untuk kebebasan, solidaritas, dan kemanusiaan.
Etika politik jurnalis, penulis, dan filsuf Prancis ini menekankan pentingnya tanggung jawab individu dan komitmen perjuangan untuk mencegah agar tidak jatuh banyak korban dari situasi yang absurd dan penuh kemalangan ketika politik dijadikan sebagai medan pertempuran kekuasaan dan kepentingan semata.
Sementara itu Max Weber (1864-1920) memandang bahwa etika politik adalah tentang bagaimana politisi dan pemimpin politik harus bertindak dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Ekonom dan sosiolog sekaligus ahli politik dan geografi asal Jerman itu juga membedakan etika tanggung jawab (verantwortungsethik) dan etika keyakinan (gesinnungsethik).
Etika tanggung jawab menekankan pada akibat yang ditimbulkan oleh tindakan politik, sedangkan etika keyakinan menekankan pada motivasi dan nilai-nilai yang mendasari tindakan politik.
Weber berpendapat aktor politik harus memiliki keyakinan moral yang kuat dan mempertimbangkan konsekuensi dari tindakannya. Jadi etika politik yang ideal adalah yang menggabungkan etika tanggung jawab yang disertai dengan etika keyakinan.
Sementara itu, Max Weber juga mengemukakan konsep “tangan kotor” (dirty hands) dalam politik. Konsep ini mengacu pada situasi di mana seorang politikus harus melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan nilai moral atau agama yang dianutnya demi mencapai tujuan politik yang lebih besar atau lebih baik.
Apakah kilatnya Kaesang Pangarep jadi ketua umum dua hari setelah bergabung di PSI dan janggalnya putusan MK yang melenggangkan Gibran jadi cawapres juga bagian dari dirty hands?
Dirty Hands dan Bonus Demografi Indonesia
Bonus demografi adalah kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif lebih besar dari jumlah penduduk usia tidak produktif. Kondisi ini cuma berlangsung 15 tahun dan hanya terjadi sekali dalam seluruh peradaban suatu bangsa. Jepang, Tiongkok, dan Korsel telah lebih dulu mengalami bonus demografi.
Indonesia akan mengalami bonus demografi pada 2030-2045, makanya dibuatlah slogan Indonesia Emas 2045. Laman indonesia.go.id mencantumkan bahwa untuk mewujudkan Indonesia Emas di 2045 prasyarat bila sebuah negara ingin maju dan sejahtera masyarakatnya adalah "stabilitas yang terjamin".
Maka bukan tidak mungkin Jokowi menggunakan dirty hands untuk menciptakan "stabilitas yang terjamin" dengan mendoakan dan merestui anak sulungnya jadi cawapres jalur Mahkamah Konstitusi yang diketuai adik iparnya.
Punya anak yang jadi ketum parpol dan wakil presiden tentu menjamin stabilitas. Tambah lagi ada beberapa parpol kuat dibelakang Prabowo-Gibran yang mengukuhkan stabilitas (politik) itu.
Selepas Prabowo berkuasa satu periode, Gibran akan mengambil tampuk kekuasaan untuk 10 tahun setelahnya dari 2029-2039 di masa bonus demografi itu berjalan.
Anak muda memang koentji, maka tidak masalah kalau mereka mau jadi ketua umum parpol atau wakil presiden. Akan tetapi anak muda mestilah berproses kalau mau sukses. Dan bukan sukses yang dipaksakan terabas sana-sini kalau tidak boleh dibilang tanpa etika.
Uji materi tentang usia minimal capres-cawapres yang melenggangkan Gibran itu juga sulit untuk dibilang tidak dipaksakan. Sebabnya gugatan itu datang di tahun kita mempersiapkan kandidat capres dan cawapres, yaitu pada 3 Agustus 2023. Kemudian diputuskan pada 16 Oktober 2023 saat pendaftaran capres-cawapres dibuka KPU pada 19 Oktober 2023.
Etika dan Pembenaran
Gibran dan Kaesang masih remaja ketika peristiwa 12-14 Mei 1998 yang menumbangkan orde baru terjadi. Bisa jadi belum paham kenapa rakyat Indonesia ingin keluar dari pemerintahan Soeharto padahal katanya beliau bapak pembangunan. Bapak pembangunan, kok, dihujat?
Karena kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) ada di setiap lini kehidupan sejak Pak Harto mengutamakan kolega dan keluarganya untuk menduduki bisnis dan posisi strategis pengelolaan negara.
Politikus Gerindra-parpol yang mengusung Prabowo-Gibran-Andre Rosiade bahkan mengakui KKN zaman orba paling dahsyat, sebab Andre Rosiade salah satu aktivis reformasi yang menggulingkan orde baru.
Maka andaipun cawe-cawe Jokowi ada hubungannya dengan menjaga stabilitas selama momentum bonus demografi, caranya tidak dengan nepotisme. Nepotisme bukan perkara sepele karena merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip moral dan etika yang mendasari pemerintahan yang adil.
Kalau sudah nepotisme, alasan melanjutkan program pembangunan Jokowi dan menyiapkan masa bonus demografi untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 jadi terasa seperti pembenaran belaka.
Meski begitu, nasi sudah jadi bubur. Hukum sudah berkekuatan tetap. Sekarang fokus kita sudah tidak lagi soal dinasti politik dan sebagainya.
Saatnya kita menyiapkan diri untuk memilih presiden yang nanti betul-betul kompeten menyediakan akses pendidikan yang berkualitas, infrastruktur, layanan kesehatan, dan penyediaan lapangan pekerjaan. untuk mempersiapkan diri memasuki periode bonus demografi.
Dan terakhir, sebetulnya etika di politik itu betulan ada atau cuma diada-adakan supaya terlihat santun dan beradab?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H