Jumlah pemilih tetap di Jateng yang disebut sebagai basis PDIP memang cuma nomor tiga dibawah Jabar dan Jatim, tapi Ganjar Pranowo-Mahfud MD harus ekstra usaha mempertahankan suara pemilih di "kandangnya" sendiri kalau tidak mau digerus oleh pasangan capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN).
Survei Litbang Kompas yang tayang di Kompas TV pekan lalu menunjukkan bahwa elektabilitas Ganjar Pranowo unggul di Jateng, Jatim, dan DIY. Prabowo unggul di Jabar dan Banten, lalu Anies Baswedan unggul di DKI Jakarta. Itu berarti Ganjar unggul di 3 dari 6 provinsi di pulau Jawa.
Maka tidak keliru kalau banyak yang menduga digandengnya Gibran Rakabuming Raka oleh Koalisi Indonesia Maju terutama untuk memecah dan merebut suara Ganjar-Mahfud di Jawa Tengah. Gibran dianggap lebih unggul karena masih muda dan dia putra sulung presiden Jokowi.
Survei kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi yang dilakukan Litbang Kompas yang rilis pada 20 Februari 2023 ada di angka 69,3 persen. Sementara survei sama yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) April 2023 menyatakan 82 persen responden puas atas kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Maka jelas bahwa Koalisi Indonesia Maju memanfaatkan Jokowi effect dengan meminang Gibran jadi cawapres Prabowo walau di dalam koalisi ada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang elektabilitasnya selalu ada di tiga besar bersama Sandiaga Uno dan Erick Thohir.
Mesin Politik PKB di Jateng
Jawa Tengah merupakan kandang banteng yang disebut demikian karena basis suara terbesar PDIP ada di sini. Ganjar telah dua periode jadi gubernurnya. Dari berbagai survei elektabilitas dan simulasi pilpres, elektabilitas Ganjar selalu paling tinggi di Jateng. Maka tidak heran kalau massa Koalisi Indonesia Maju yakin bisa memanfaatkan Jokowi effect dari Gibran yang wali kota Solo dan sama-sama kader PDIP seperti Ganjar.
Namun sebetulnya yang berpeluang lebih besar merebut suara pemilih Ganjar-Mahfud di Jateng dalah pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN).
Berkaca pada pemilihan gubernur Jawa Tengah 2018-2023 yang jadi arena pertarungan Ganjar-Taj Yasin dan Sudirman Said-Ida Fauziyah, elektabilitas Ganjar-Taj Yasin selalu unggul. Bahkan survei Litbang Kompas menempatkan elektabilitas Ganjar diangka 76,6 persen.
Akan tetapi, ketika KPU Jateng mengumumkan pemenang pilgub ternyata Ganjar-Yasin "cuma" menang suara sebanyak 58,78 persen dari Sudirman Said-Ida Fauziyah yang dapat 41,22 persen, seperti yang dimuat kompascom. Keberhasilan Sudirman Said-Ida Fauziyah dapat 7.267.993 juta suara ini lumayan bikin kaget banyak orang yang mengira Ganjar-Yasin akan menang telak.
Ida Fauziyah adalah mantan ketum Fatayat NU 2010-2015, itu berarti dia kader NU. Suaminya juga seorang tokoh NU Jawa Tengah. Pada waktu itu, seperti yang termuat di tempoco,  Ketua DPW PKB Jateng M. Yusuf Chludori telah menginstruksikan jajaran kultural NU, sampai ke tingkat ranting PKB dan pondok pesantren, untuk memenangkan Ida Fauziyah.
Jadi perolehan suara Sudirman Said-Ida Fauziyah yang membuat Ganjar-Yasin gagal menang telak karena mesin politik PKB bergerak lincah dan masif utamanya demi mendongkrak Ida Fauziyah yang merupakan waketum PKB.
Kalau dengan waketumnya saja mereka all-out, apalagi dengan ketumnya. PKB Jateng akan melakukan tarung sengit merebut suara Ganjar-Mahfud sekaligus menghalau Prabowo-Gibran. PKB juga punya kepentingan mendongkrak Cak Imin untuk menghapus total konotasi "keponakan yang berkhianat" dari bayang-bayang konflik dengan Gus Dur di 2008.
Jadi langkah Anies menggandeng Muhaimin merupakan langkah jitu bila berkaca pada pilgub Jateng 2018-2023. Jadi setidaknya walau berpasangan dengan Anies Baswedan yang elektabilitasnya selalu rendah, PKB tidak bakal menyerah.Â
Hal lain yang nampak bikin optimis PKB adalah, mereka akan memperjuangkan Cak Imin di Jatim sebab lumbung suara PKB ada di sana. Maka amat mungkin PKB akan lebih getol menjual Cak Imin alih-alih Anies Baswedan.Â
NU Struktural dan NU Kultural
Mantan Ketum NU 2010-2021 Said Aqil pernah mengatakan, seperti dikutip dari kompascom, kalau Mahfud MD bukanlah kader NU. Mahfud MD memang tak pernah berada di struktur kepengurusan mana pun yang terafiliasi dengan NU, tapi dia termasuk NU kultural. Plus pernah menjadi waketum DPP PKB (2002-2005) dan anggota DPR RI Fraksi PKB (2004-2008).
NU kultural lahir dari orang tua dan kakek-nenek yang pernah jadi pengurus NU atau keluarganya sering mengikuti tradisi dan kebiasaan yang dilakukan NU.
Pada pertemuannya dengan keluarga Gus Dur tahun 2018 sehari sebelum deklarasi cawapres pendamping Jokowi di pilpres 2019, Mahfud mengatakan, "Struktural itu pelayan kultural, yang kultural itu penyangga yang struktural. Sehingga ke depannya tidak ada lagi urusan kotak-kotak," kata Mahfud MD seperti yang dimuat di Tribunnewscom.
Jadi walau ada kesamaan dari sisi PKB-nya, bisa dianggap kalau sebagian anggota NU akan menganggap Cak Imin lebih NU daripada Mahfud MD. Utamanya karena pada 1998 Cak Imin juga turut mendirikan PKB bersama Gus Dur, KH Mustofa Bisri, dan beberapa ulama NU lainnya.
Dengan demikian kalau niat Koalisi Indonesia Maju ingin mengambil suara pemilih Ganjar di Jateng lewat Gibran mereka harus lebih sengit bertarung dengan mesin politik PKB sekaligus dengan massa banteng yang loyal dengan PDIP yang mencalonkan Ganjar-Mahfud.
Pun demikian massa banteng tidak boleh lengah dan menganggap remeh lawan supaya Jateng tetap merah dan banteng tidak kehilangan kandangnya.
Bayangan Nepotisme di Punggung Gibran
Gibran sama-sama wong Jateng seperti Ganjar, tapi kalau melihat tingginya gelombang penolakan atas keputusan MK tentang syarat seseorang menjadi cawapres, amat mungkin dengan menggandeng Gibran Koalisi Indonesia Maju malah menggali lubang untuk Prabowo.Â
Banyak orang belum lupa bagaimana tingginya kolusi dan nepotisme di zaman orde baru yang lebih menguntungkan keluarga dan golongannya, apalagi saat Soeharto menjadikan putrinya Tutut sebagai menteri sosial.Â
Memang tidak boleh dibandingkan Soeharto-Tutut dengan Jokowi-Gibran, tapi ketua Mahkamah Konstitusi adalah adik ipar Jokowi yang jadi paman-sambung Gibran Rakabuming. Walau mungkin tidak ada hubungannya dengan Jokowi dan Gibran, tapi dugaan nepotisme dibalik munculnya putusan MK "pernah menjadi kepala daerah" sulit dinafikan.
***
Meskipun prapilpres kali ini banyak kejutan dan hal yang diluar dugaan, semoga saja tidak menjadikan angka golput meningkat. Syukur-syukur makin sedikit orang yang golput karena golput justru akan menjadikan orang yang tidak layak berkuasa jadi makin leluasa.
Lagipula, pileg dan pilpres cuma terjadi tiap lima tahun sekali yang mana termasuk peristiwa langka. Itu berarti kesempatan kita berfoto di depan TPS (Tempat Pemungutan Suara) juga cuma lima tahun sekali. Jadi kesempatan langka itu sebaiknya tidak disia-siakan dengan keputusan menjadi golput.
Datanglah ke TPS dan gunakan hak pilih Anda yang cuma ada lima tahun sekali itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H