Pernahkah kita membaca artikel atau karya fiksi yang isinya sama banget dengan yang pernah kita tulis? Saking samanya kita sampai yakin kalau karya kita dijiplak alias diplagiat. Namun ternyata si penulis yang menjiplak artikel dan karya fiksi kita mengaku tidak melakukan plagiat. Terlebih karena mereka mencantumkan nama kita sebagai penulis aslinya.Â
Di masa kuliah saya pernah 2-3 kali membaca makalah adik tingkat yang kuliah di jurusan yang sama dengan saya. Saya yakin makalah itu sama persis dengan makalah yang pernah saya tulis. Ketika saya tanya mereka lalu mengaku terinspirasi oleh ide dan tema dari makalah saya yang (ternyata) fotokopiannya ada di lemari ruang Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater dan Karate.
Jaman dulu belum paperless, maklum reformasi saja masih hangat dan suara dering handphone masih polyphonic.
Inspirasi dalam bahasa Indonesia artinya sama dengan ilham, yaitu sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta (mengarang syair, lagu, dan sebagainya) atau pikiran yang timbul dari hati. Jadi Kompasianer pun seringkali menulis karena mendapat inspirasi dari kisah pribadinya, cerita orang di sekitarnya, atau dari peristiwa yang sedang diberitakan.
Sedangkan plagiat artinya pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri. Dengan kata lain: menjiplak.Â
Dari dua arti itu sebenarnya inspirasi dan plagiat jauh berbeda bak manusia dan alien. Namun ternyata masih banyak orang, bahkan penulis, yang belum bisa membedakan bagaimana menulis artikel dan karya fiksi yang lahir dari inspirasi supaya terhindari dari plagiasi.
Self-Plagiarism
Menurut Miguel Roig, Ph.D dari St. John's University, penulis yang melakukan parafrasa juga bisa dibilang melakukan plagiat kalau cuma menukar-nukar kalimat tanpa memasukkan ide baru dan pikirannya sendiri.
Miguel Roig menambahkan, penulis yang menerbitkan atau mempublikasikan dari hasil menulis-ulang karyanya sendiri juga termasuk plagiarisme yang disebut self-plagiarism. Dalam jurnalnya yang terbit pada 2006 psikolog dari St. John's University itu mengategorikan tiga jenis yang termasuk dalam self-plagiarism, yaitu ketika seorang penulis:
- Mempublikasikan karya tulis yang sama yang telah diterbitkan di tempat lain tanpa memberitahu pembaca atau penerbit jurnal.
- Penerbitan sebuah studi yang signifikan sebagai studi yang lebih kecil untuk meningkatkan jumlah publikasi daripada penerbitan satu studi besar.
- Menggunakan kembali bagian dari suatu tulisan sebelumnya (baik teks yang diterbitkan atau tidak diterbitkan).
Sementara itu soal plagiarisme juga telah diatur oleh Kemdikbudristek lewat Permendikbud Nomor 39 tahun 2021 tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah.Â
Plagiat sebagaimana yang tertera pada Pasal 9 dan Pasal 10 Permendikbud No. 39/2021 merupakan perbuatan:
- Mengambil sebagian atau seluruh karya milik orang lain tanpa menyebut sumber secara tepat.
- Menulis ulang tanpa menggunakan bahasa sendiri sebagian atau seluruh karya milik orang lain walaupun menyebut sumber.
- Mengambil sebagian atau seluruh karya atau gagasan milik sendiri yang telah diterbitkan tanpa menyebut sumber secara tepat.
Subjek yang disasar oleh Migule Roig dan Kemdikbudristek memang plagiarisme di perguruan tinggi, tapi tidak ada ruginya kalau kita mengikuti pedoman tentang plagiat yang dikeluarkan oleh ahli yang kompeten dalam urusan plagiarisme tersebut.
Kemudian, saya kutip dari situs Dee Publisher, tulisan kita dinilai sebagai plagiat kalau melakukan hal dibawah ini:
- Mengutip kata-kata atau kalimat orang lain tanpa menggunakan tanda kutip dan tanpa menyebutkan identitas sumbernya.
- Menggunakan gagasan, pandangan atau teori orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya.
- Menggunakan fakta (data, informasi) milik orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya.
- Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri.
- Melakukan parafrasa atau mengubah kalimat orang lain ke dalam susunan kalimat sendiri tanpa mengubah idenya dan tidak menyebutkan identitas sumbernya.
- Menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan /atau telah dipublikasikan oleh pihak lain seolah-olah sebagai karya sendiri.
Plagiarisme dan Artikel Terjemahan
Kompasiana juga telah mengatur detail soal plagiarisme di Ketentuan Konten di halaman Syarat dan Ketentuan. Kompasianer boleh "menyertakan kutipan dari sumber lain diperbolehkan, sepanjang tidak lebih dari 25 persen dari total keseluruhan konten."Â
Itu berarti kalau kita menulis satu artikel religius sepanjang 1000 kata dan perlu mengutip ayat Al-Qur'an, Hadis, tafsir, atau dari kitab suci mana pun, jumlah paste yang dibolehkan supaya terhindar dari plagiarisme maksimal 250 kata.Â
Amat wajar Kompasiana menerapkan aturan copy-paste maksimal 25 persen dari satu konten, sebab Kompasiana adalah blog publik atau blog sosial yang mengedepankan opini bermakna daripada salinan isi kitab suci atau karya fiksi yang cuma menerjemahkan cerita berbahasa asing.
Lalu bagaimana kalau kita menulis artikel hasil terjemahan?Â
Di dunia akademik kita dibolehkan menerjemahkan karya sendiri untuk diterjemahkan ke bahasa lain. Cara menerjemahkan sumber untuk penguat makalah, skripsi, dan karya ilmiah adalah dengan menggunakan kutipan dengan sumber yang lengkap. Kalau menerjemahkan mentah-mentah dan utuh tentu saja itu plagiat.
Di dunia per-blog-an kalau menggunakan Google Translate untuk menerjemahkan artikel asing guna memperkuat sumber penulisan juga boleh, yang penting kita cantumkan sumber atau tautan artikel asli.
Di penerbitan buku urusan menerjemahkan lebih rumit karena kalau penerbit mau menerbitkan novel atau buku asing ke dalam bahasa Indonesia mereka harus membayar biaya royalti, lisensi, dan mengurus kontrak. Hal sama berlaku di penerbitan pers. Perusahaan pers membayar biaya langganan atau membuat nota kesepakatan ke kantor berita asing yang diinginkan untuk bisa menerjemahkan berita-berita dari mereka.
Dengan begitu, menerjemahkan pun tidak bisa sembarangan karena menyangkut hak cipta. Kita sebagai content writer boleh menerjemahkan artikel asing untuk diunggah di Kompasiana asalkan mencantumkan sumber dan banyaknya tidak lebih dari 25 persen dari total satu konten.
Akan tetapi, akan lebih mudah dan terhindar dari persoalan hak cipta kalau kita membaca dulu secara utuh artikel atau cerita yang menarik minat itu. Kemudian tulis ulang dengan bahasa sendiri. Untuk artikel nonfiksi tambahkan juga pendapat atau buah pikiran selain dari artikel yang kita tulis ulang.Â
Percaya Diri dengan Bahasa dan Buah Pikiran Sendiri
Dengan menulis ulang dan menghindari parafrasa berarti kita sudah menghargai hasil karya orang lain. Parafrasa sebetulnya tidak dilarang dalam dunia penulisan. Hanya saja kalau bicara etika, parafrasa tidak disarankan. Kita lebih disarankan menulis ulang dengan bahasa dan ciri khas sendiri.
Percaya dirilah menulis dari hasil pikiran atau imajinasi dan kalimat kita sendiri. Tidak perlu dibebani apa kata orang. Kalau butuh data untuk menguatkan tulisan, sertakan sumbernya atau sebut dari mana kita dapat sumber itu. Â Menyertakan sumber tidak menjadikan kita terlihat bodoh, malah terhormat karena menghargai ide dan karya orang lain.
Tulisan, baik fiksi dan nonfiksi, termasuk dalam hak cipta intelektual sebab lahir dari buah pikiran seseorang yang dia pun telah memeras otak dan meneguk bercangkir-cangkir kopi demi merangkai kata yang enak dibaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H