Kemudian, saya kutip dari situs Dee Publisher, tulisan kita dinilai sebagai plagiat kalau melakukan hal dibawah ini:
- Mengutip kata-kata atau kalimat orang lain tanpa menggunakan tanda kutip dan tanpa menyebutkan identitas sumbernya.
- Menggunakan gagasan, pandangan atau teori orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya.
- Menggunakan fakta (data, informasi) milik orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya.
- Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri.
- Melakukan parafrasa atau mengubah kalimat orang lain ke dalam susunan kalimat sendiri tanpa mengubah idenya dan tidak menyebutkan identitas sumbernya.
- Menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan /atau telah dipublikasikan oleh pihak lain seolah-olah sebagai karya sendiri.
Plagiarisme dan Artikel Terjemahan
Kompasiana juga telah mengatur detail soal plagiarisme di Ketentuan Konten di halaman Syarat dan Ketentuan. Kompasianer boleh "menyertakan kutipan dari sumber lain diperbolehkan, sepanjang tidak lebih dari 25 persen dari total keseluruhan konten."Â
Itu berarti kalau kita menulis satu artikel religius sepanjang 1000 kata dan perlu mengutip ayat Al-Qur'an, Hadis, tafsir, atau dari kitab suci mana pun, jumlah paste yang dibolehkan supaya terhindar dari plagiarisme maksimal 250 kata.Â
Amat wajar Kompasiana menerapkan aturan copy-paste maksimal 25 persen dari satu konten, sebab Kompasiana adalah blog publik atau blog sosial yang mengedepankan opini bermakna daripada salinan isi kitab suci atau karya fiksi yang cuma menerjemahkan cerita berbahasa asing.
Lalu bagaimana kalau kita menulis artikel hasil terjemahan?Â
Di dunia akademik kita dibolehkan menerjemahkan karya sendiri untuk diterjemahkan ke bahasa lain. Cara menerjemahkan sumber untuk penguat makalah, skripsi, dan karya ilmiah adalah dengan menggunakan kutipan dengan sumber yang lengkap. Kalau menerjemahkan mentah-mentah dan utuh tentu saja itu plagiat.
Di dunia per-blog-an kalau menggunakan Google Translate untuk menerjemahkan artikel asing guna memperkuat sumber penulisan juga boleh, yang penting kita cantumkan sumber atau tautan artikel asli.
Di penerbitan buku urusan menerjemahkan lebih rumit karena kalau penerbit mau menerbitkan novel atau buku asing ke dalam bahasa Indonesia mereka harus membayar biaya royalti, lisensi, dan mengurus kontrak. Hal sama berlaku di penerbitan pers. Perusahaan pers membayar biaya langganan atau membuat nota kesepakatan ke kantor berita asing yang diinginkan untuk bisa menerjemahkan berita-berita dari mereka.
Dengan begitu, menerjemahkan pun tidak bisa sembarangan karena menyangkut hak cipta. Kita sebagai content writer boleh menerjemahkan artikel asing untuk diunggah di Kompasiana asalkan mencantumkan sumber dan banyaknya tidak lebih dari 25 persen dari total satu konten.
Akan tetapi, akan lebih mudah dan terhindar dari persoalan hak cipta kalau kita membaca dulu secara utuh artikel atau cerita yang menarik minat itu. Kemudian tulis ulang dengan bahasa sendiri. Untuk artikel nonfiksi tambahkan juga pendapat atau buah pikiran selain dari artikel yang kita tulis ulang.Â
Percaya Diri dengan Bahasa dan Buah Pikiran Sendiri
Dengan menulis ulang dan menghindari parafrasa berarti kita sudah menghargai hasil karya orang lain. Parafrasa sebetulnya tidak dilarang dalam dunia penulisan. Hanya saja kalau bicara etika, parafrasa tidak disarankan. Kita lebih disarankan menulis ulang dengan bahasa dan ciri khas sendiri.