Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Penulis - Ghostwriter

Juru ketik di emperbaca.com. Generalis. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kala si Difabel Menanggung Hidup si Hijrah

25 Juli 2023   12:26 Diperbarui: 25 Juli 2023   12:31 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari Dreamstime

----Disclaimer: Artikel mengandung ghibah tingkat tinggi----

Selama ini saya sudah biasa melihat orang difabel yang mandiri, menghidupi dirinya sendiri, dan berprestasi. Namun difabel yang jadi tulang punggung-sementara seluruh keluarganya normal tanpa disabilitas sungguh mengetuk nurani tentang pemahaman beragama yang dangkal.

Hijrah Mode On

Orang yang ber-hijrah di masyarakat kita identik dengan ganti penampilan jadi syar'i dengan jilbab lebar yang menutup tubuh, celana cingkrang dengan jenggot, tidak lagi bersalaman dengan lain gender yang bukan mahramnya-walau mereka bersepupu dan akrab saat kecil. Kemudian yang paling mencolok: menghindari bekerja kantoran karena erat dengan riba dan bercampur dengan nonmahram.

Sepupu saya mengalami apa yang kita sebut dengan "hijrah". Sepupu perempuan saya si Mimin menikah muda beberapa saat setelah lulus kuliah dan tidak menikmati apa yang kita sebut dengan gaji. Wong tidak bekerja. Padahal dia sarjana bukan lulusan SMA yang pasti sulit sekali kerja kantoran.

Tahun berikutnya kakak lelakinya yang nomor dua, si Momod, menikah juga. Alasan si kakak sungguh membagongkan. Dia ingin menikah karena tidak rela sang adik-yang jarak usianya hanya setahun dengannya-menikah duluan. akibatnya dia mencari istri seperti mencari baju di Tanah Abang. 

Saat akad nikah berlangsung Momod bahkan tidak tahu nama lengkap sang (calon) istri saking kilatnya ta'aruf yang dia jalankan. Kami para sepupu yang jauh dari hijrah cuma bisa geleng-geleng kepala lalu mengghibahnya seperjalanan pulang dari Subang ke Jakarta. Syukurlah pernikahan Momod dengan istrinya damai sentosa sampai sekarang berjalan enam tahun. 

Kedua kakak-beradik itu menikah muda saya yakin ada kaitannya dengan hadis Rasulullah SAW, "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya. (HR Bukhari).

Kaum "hijrah" amat mengagungkan sunah yang berhubungan dengan menikah, tapi mengabaikan sunah Rasul yang lain.

Hijrah dan Pekerjaan

Suami Mimin bekerja di provider internet dan Momod bekerja di perusahaan ekspedisi, sedangkan Momod sarjana ekonomi syariah. Makanya nyambung kalau dia bekerja di bank syariah. Tapi dia memilih resign setelah bekerja beberapa bulan karena alasan riba. Momod sekarang bekerja di perusahaan ekspedisi.

Kehidupan rumah tangga Mimin dan Momod bahagia, bisa terlihat dari foto dan video yang mereka posting di Instagram. Mereka jalan-jalan ke Yogya, Borobudur, sampai Bromo. 

Inilah awal mula yang membuat saya tercengang. Lebaran kemarin saya ke ruman paman di Serpong, Tangerang Selatan. Di sana saya lama  berbincang dengan kakak tertua si Mimin dan Momod yang bernama Mamad.

Mamad tuli sejak usianya 2 bulan. Sejak kecil saya berbincang dengannya menggunakan bahasa isyarat alakadar sebelum dia belajar membaca gerak bibir orang normal.

Mamad mengutarakan kelelahan hatinya jadi tulang punggung. Tulang punggung bagaimana, maksudnya? Ayahnya baru saja pensiun dari airline terbaik di negeri ini dan menghadiahkan rumah dan mobil untuk Mimin dan Momod. Lalu, anak tertuanya yang difabel jadi tulang punggung?

Mamad rupanya rutin memberi subsidi kepada dua adiknya si Mimin dan Momod. Gaji suami Mimin tidak cukup membiayai kehidupan mereka. Pun gaji Momod minim sehingga tiap bulan dia harus disubsidi oleh ayahnya. Money doesn't last long. Uang sang ayah pun habis untuk membiayai keluarga Mimin dan Momod.

Tambahan lagi Mamad bercerita kalau istri di Momod banyak maunya. Sangat wajar awal berumahtangga suami-istri masih hidup menumpang di rumah mertua sebelum beli rumah sendiri. Tapi istri Momod keukeuh tidak mau tinggal serumah dengan mertuanya. Maka dibelikanlah rumah untuik Momod.

Istri Momod tidak suka anak bayinya masuk angin naik motor. Maka dibelikanlah mobil oleh ayah si Momod. Entah karena gaji Momod amat minim atau tidak bisa mengatur pengeluaran, maka sejak dua tahun terakhir hidup Momod dibantu oleh Mamad. 

Setali tiga uang dengan Mimin. Sudah dibelikan rumah oleh ayahnya, tapi Mimin dan suaminya malah menjual rumah itu dan pindah ke rumah kontrakan. Rumah itu jauh dari tempat kerja suami Mimin, makanya mereka ngontrak rumah yang dekat tempat kerja. 

Buat saya ini membagongkan. Orang susah payah nyicil rumah belasan tahun, ini malah dijual dan tinggal di kontrakan.

Sehari-harinya Mamad bekerja di perusahaan ekspedisi juga seperti Momod, tapi beda perusahaan. Sepulangnya kerja pukul 15.00 dia lanjut nge-Grab sampai pukul 00.00. Saat gajian tiba uang Mamad langsung ludes tak bersisa untuk biaya hidup orang tuanya, perawatan neneknya yang sedang home care, dan hidup Mimin dan Momod.

Jangan lupa, Mamad seorang difabel. Adik-adiknya yang normal dan diberi fasilitas oleh orang tua malah seperti jadi parasit. Baik suami Mimin dan si Momod sendiri sama sekali tidak berkeinginan pindah kerja ke tempat yang menawarkan gaji tinggi karena takut melanggar syariah.

Mereka pernah berdagang buku dan madu, entah bagaimana usahanya sekarang berjalan. Yang jelas dari pengakuan Mamad, dia lelah-tapi tidak punya pilihan-terus membantu membiayai hidup keluarga adik-adiknya.

Hijrah dan Keluarga Besar

Sejak menikah dan "hijrah" saya tidak pernah lagi bersapa dan bersua dengan Momod dan Mimin karena mereka ganti-ganti nomor handphone dan tidak pernah konfirmasi. Ketika keluarga yang lain saling bertegur sapa dan bercanda di grup WhatsApp, Mimin dan Momod tidak pernah sekata pun menanggapi.

Momod dan Mimin bahkan tidak  menyimpan nomor telepon kami-para sepupunya. Kalau Lebaran juga tidak pernah ikut kumpul karena kalau tidak pulang kampung ke tempat pasangan masing-masing, ya liburan ke Bangka Belitung, tempat asal ibu mereka. Padahal ibu mereka sudah jadi orang Tangsel.

Paling awkward di awal mereka hijrah, mereka tidak mau bersalaman dengan para sepupu yang beda jenis kelamin. Padahal waktu kecil kami akrab sekali. Saat para sepupu lain saling cipika-cipika penuh canda tawa, dengan mereka hanya menangkupkan tangan sambil kami bingung harus menyapa yang seperti apa, kuatir menyinggung syariah.

Rahmatan Lil Alamin

Hijrahnya Nabi Muhammad dan pengikutnya dari Mekah ke Madinah pada Juni 622 M sedikitnya ada hubungan dengan kaum hijrah masa kini yang berikhtiar untuk menjalankan syariat dan sunah secara kaffah (total dan menyeluruh).

Hanya saja, buat apa berhijrah kalau menyusahkan orang lain karena tidak mau mencari nafkah selain di jalan yang  itu-itu saja. Padahal bumi Allah ini luas dan tidak ada larangan mencari nafkah kecuali di jalan yang sesat.

Lalu buat apa berhijrah kalau menjauhkan diri dari keluarga besar hanya karena mereka bukan mahram? Lebih lagi, berhijrah tapi menyusahkan orang tua dan membiarkan kakak yang difabel menanggung nafkah mereka, itu buat apa?

Islam itu rahmatan lil alamin, rahmat untuk semua, bukan hanya untuk kaum tertentu. Rasulullah sudah mencontohkan bagaimana umatnya harus bersikap dalam kehidupan sehari-hari.

Kelak kita tidak usah heran kalau banyak umat Islam yang meragukan ajaran agamanya sendiri diakibatkan orang-orang berpemahaman dangkal yang menyakiti saudara seiman mereka, langsung dan tidak langsung, atas nama agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun