Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Jadi Orang Tua Asuh Lebih Baik dari Mengadopsi Anak Kerabat yang Masih Hidup

10 Agustus 2023   14:37 Diperbarui: 10 Agustus 2023   14:43 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah berbincang dengan orang tua yang mengangkat anak dari kerabatnya untuk diasuh dan diperlakukan seperti anak sendiri. Pun pernah ngobrol dengan beberapa orang tua yang telanjur menyerahkan anaknya untuk diasuh kerabat.

Penyesalan terbesar ada pada orang tua yang menyerahkan anak untuk diadopsi kerabatnya. Ada yang anaknya telah masuk dalam kartu keluarga si kerabat dan, entah bagaimana prosesnya, diakui sebagai anak kandung kerabat yang bersangkutan.

Mancing Anak

Jaman dulu sering kita dengar suami-istri yang belum punya anak disarankan untuk ngambil anak sebagai pancingan supaya bisa hamil dan melahirkan anak kandung. Katanya kalau sudah terbiasa mengasuh dan mengurus anak kemungkinan hamil dan melahirkan lebih besar karena Allah sudah mempercayakan mereka untuk punya anak sendiri.

Anak orang diambil untuk mancing anak kandung supaya lahir? Dari dulu logika saya gak masuk, tapi nyatanya hal itu sering saya dengar bahkan dari kerabat sendiri. Setelah si istri hamil dan melahirkan, anak pancingan dikembalikan ke orang tua kandungnya. Ada juga yang tetap diasuh dan diadopsi jadi anak sendiri walau suami-istri itu sudah punya anak kandung.

Paman dan bibi saya juga pernah dipaksa keluarga besar untuk mengadopsi anak karena sudah menikah 15 tahun, tapi belum diberi keturunan padahal kata dokter mereka berdua subur dan tidak mandul. Paman dan bibi menolak karena, walau ingin sekali punya anak, mereka kuatir si anak tidak terurus karena dua-duanya bekerja.

Belakangan bibi kena kanker payudara yang mengharuskannya berobat terus-menerus. Sampai akhirnya bibi meninggal mereka belum juga punya anak. Kemudian didepan keluarga besar paman saya bilang, "Untung dulu gak ngambil anak. Kalau ngambil siapa sekarang yang urus itu anak ditinggal ibunya (istrinya-)."

Beberapa tahun kemudian paman menikah lagi dengan seorang ibu satu anak. Tanpa repot mengadopsi anak atas suruhan keluarga besar, dia sudah dapat anak sambung.

Menyerahkan Anak

Selain diminta mancing anak, ada juga orang tua yang dipaksa menyerahkan anaknya. Si orang tua kebetulan berkeuangan pas-pasan dan anak bayinya adalah anak keempat. 

Daripada repot ngurus empat anak, lebih baik anak bungsu kau kasihkan saja ke kerabat kita yang mandul. Mereka toh kaya, pasti anakmu hidup sehat dan terjamin.

Mana ada orang tua yang mau berpisah dengan anaknya semiskin apa pun mereka. Para remaja yang hamil diluar nikah pun sering merindukan anak mereka yang ditaruh di panti asuhan dengan rasa penyesalan yang tak hilang-hilang. Bukan menyesal karena hamil duluan, tapi menyesal tidak bisa bertemu, mengasuh, dan merawat anak sendiri dikarenakan keadaan.

Jadi selain pelaku perdagangan manusia, keluarga bisa jadi pihak yang paling bertanggungjawab atas diserahkannya anak dari orang tua kandung ke kerabat atau orang lain yang ingin anak.

Alasan Mengangkat Anak dari Kerabat Sendiri Daripada Panti Asuhan

Mengangkat anak dari orang tua kandung yang masih berkerabat terjadi karena alasan kenyamanan, ketenangan batin, dan menghindari hal buruk yang mungkin terjadi di masa depan.

1. Asal-usul jelas. Pengadopsi sudah kenal orang tua atau keluarga si anak jadi tidak merasa anak yang diadopsi sebagai orang asing.

Mengangkat anak dari kerabat sendiri sekaligus juga memastikan anak tidak punya sifat buruk yang diturunkan dari orang tua kandungnya.

Bila mengambil dari panti asuhan asal-usul anak tidaklah sejelas anak dari kerabat. Misal si anak di panti asuhan terlahir dari ibu yang diperkosa bapak perampok. Banyak pasangan suami-istri enggan mengangkat anak seperti itu karena kuatir anak punya tabiat yang serupa dengan bapaknya walau si anak sama sekali tidak kenal si bapak.

2. Penyakit genetik. Anak dari panti asuhan seringkali tidak diketahui apakah punya penyakit genetik atau tidak. Itu bisa menimbulkan kekuatiran bagi pasangan suami-istri yang akan mengadopsi anak.

Kebanyakan pasangan yang ingin mengadopsi enggan bila harus merawat anak yang sakit-sakitan sepanjang tahun.

3. Menghindari anak kabur jauh. Anak akan merasakan perbedaan fisik dengan orang tuanya ketika fungsi kognitifnya telah sempurna.

Saat dia diberitahu (oleh orang tua angkat atau temannya) bahwa dia anak angkat, akan timbul penolakan dalam dirinya lalu timbul pemberontakan atas berbagai pertanyaaan yang belum dia temukan jawabannya. 

Maka itu ada kenyataan bahwa tidak sedikit anak angkat yang kabur dari rumah beberapa saat setelah mengetahui ayah-ibunya bukanlah orang tua kandungnya.

Ada anggapan kalau suami-istri mengangkat anak dari kerabat, sekabur-kaburnya anak paling jauh masih di keluarga sendiri karena orang tua kandungnya yang masih berkerabat dengan orang tua angkat. Makanya banyak pasangan suami-istri kemudian memilih mengadopsi anak kerabat sendiri daripada mengambil dari panti asuhan.

Adopsi Legal

Laman indonesia.go.id memuat cara adopsi anak yang ternyata prosesnya sulit dan rumit. Beberapa persyaratan legal untuk mengadopsi anak seperti yang tercantum dalam PP Nomor 54 Tahun 2007 adalah:

  • Pasangan harus berstatus menikah dengan usia minimal 25 tahun dan maksimal 45 tahun.
  • Bukti pernikahan yang sah, minimal 5 tahun. Berarti, orang tua angkat yang pernikahannya kurang dari 5 tahun tidak akan diizinkan.
  • Surat keterangan sehat jasmani rohani dari rumah sakit
  • Surat keterangan tidak pernah melakukan pelanggaran hukum atau Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
  • Surat keterangan penghasilan sehingga layak mengangkat anak

Calon orang tua angkat juga harus melalui proses survei dari Dinsos setempat dan Kemensos selama enam bulan untuk melihat kelayakan secara psikologis, sosial, ekonomi, dan segala aspek untuk mendapat hak asuh. 

Terakhir ada proses pengadilan yang menghadirkan saksi-saksi dan segala macam sebelum terbit keputusan sah yang menguatkan pasangan suami-istri sebagai orang tua si anak. Sebelum diputus pengadilan, orang tua juga harus menjalani masa pengasuhan anak selama enam bulan.

Syarat dan proses yang panjang dan rumit itu makin membuat pasangan suami-istri enggan mengangkat anak dari panti asuhan dan memilih mengadopsi anak dari kerabat sendiri.

Mengasuh dan Mengasihi Tanpa Memisahkan Anak dari Orang Tuanya

Adopsi dibolehkan dalam agama Islam, tapi mengubah identitas dan garis keturunan (nasab) adalah hal terlarang. Artinya si anak tidak boleh diakui sebagai anak kandung sebab akan mengubah nasabnya. 

Status anak angkat pada kartu keluarga juga harus ditulis sebagai Anak (bukan Anak Kandung) dengan tetap menyertakan nama orang tua kandungnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 PP No. 54 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa orang tua angkat wajib memberitahukan anak angkat mengenai asal usul dan orang tua kandungnya. 

Hal ini juga sesuai dengan UU No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No .23 tahun 2022 tentang Perlindungan anak, pada Pasal 27 tertulis bahwa anak berhak mengetahui asal usulnya semenjak dilahirkan.  

Kemahraman antara anak dan orang tua angkatnya juga harus diperhatikan karena mereka bukanlah satu keturunan. Pun bila anak angkat itu perempuan dan akan menikah, ayah kandungnyalah yang tetap menjadi wali kecuali sudah meninggal atau keberadaannya tidak diketahui.

Melihat beberapa hal diatas maka mungkin yang ideal bagi pasangan suami-istri adalah menjadi orang tua asuh alih-alih orang tua angkat. Orang tua asuh adalah orang yang membiayai (sekolah dan sebagainya) anak yang bukan anaknya sendiri atas dasar kemanusiaan. 

Kita bisa berkunjung ke rumah si anak sepekan sekali atau sesering yang kita mau untuk melihat tumbuh-kembangnya. Sesekali mengajaknya jalan-jalan dan menginap di rumah kita, atau mendaftar bersama ke sekolah. Orang tuanya pun pasti tidak keberatan asal kita izin dulu. Kalau orang tua si anak masih kerabat tentu akan lebih mudah bagi kita jadi orang tua asuh.

Dengan menjadi orang tua asuh kita dapat meringankan beban finansial orang tua kandung si anak tanpa mengambil anak itu dari orang tua kandungnya. Seburuk-buruknya orang tua tidak ada yang mau dipisahkan dari anak.

Kalau sangat ingin punya anak, suami-istri bisa mencoba program IVF (in-vitro fertilization) atau dikenal dengan sebutan program bayi tabung. Kalau belum berhasil, kita manusia yang punya akal pasti akan menemukan berbagai cara untuk bisa menyayangi dan mengasuh seorang anak tanpa memisahkan anak itu dari orang tua kandungnya yang masih hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun