Sebuah video beredar di lintas grup WhatsApp beberapa waktu lalu. Video itu memperlihatkan seorang pelajar yang masih mengenakan celana sekolah dan mulutnya ditutup kain seperti masker, mengacungkan celurit sambil lari mengejar pelajar lain.
Di belakangnya ada dua pelajar berboncengan motor yang tampak sedang berusaha secepatnya untuk putar balik. Nahas, dua pelajar itu jatuh karena motornya ditendang dari belakang. Melihat ada yang jatuh, si pelajar bercelurit secepat kilat menghampiri dua pelajar bermotor itu.
Nasib baik, kedua pelajar sempat lari menjauh hanya beberapa detik sebelum sabetan celurit datang. Mungkin kesal karena gagal membacok manusia, si pelajar berclurit kemudian membacoki motor yang tergeletak ditinggal pemiliknya itu.
Jelas saja orang yang menonton video itu lantas murka dan mencaci-maki si pelajar berclurit. Mereka juga mempertanyakan kemana orang tua si anak dan kenapa sampai dibiarkan membawa-bawa celurit.
Walau bikin heboh se-kecamatan, untunglah tidak ada korban jiwa atau luka pada tawuran itu. Motor yang dibacok pun tidak sampai rusak parah.
Tawuran dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak
Keesokan harinya baru saya tahu kalau si pelajar berclurit itu ternyata kakak dari teman sekolah anak saya (satu angkatan, tapi beda kelas). Ibunya juga saya kenal baik karena kami sering ngobrol saat menjemput anak.
Si ibu bilang ke saya kalau video anaknya itu sudah beredar di grup Facebook komunitas Magelang. Dia sakit hati dan tidak terima karena anaknya dibilang pelaku klitih.
Dia kemudian mengirim foto tangkapan layar dari Facebook. Foto itu berisi wajah anaknya yang tertutup kain dan sedang mengayunkan celurit. Pada keterangan foto, selain ditulis kata-kata makian berbahasa Jawa, juga tercantum nama lengkap si anak dan alamat rumahnya.
Tawuran merupakan suatu bentuk tindak pidana karena termasuk dalam kekerasan kolektif. Perbuatan itu melanggar Pasal 170, 351, 355, dan 358 KUHP.
Akan tetapi, usia si pelajar bercelurit itu masih 17 tahun. Itu berarti dia masih anak-anak di mata hukum karena belum mencapai usia 18 tahun.
Dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 19 ayat (1) tertulis, "Identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.”
Kemudian pada ayat (2) Identitas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi, nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan lain-lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.
Jadi walau masyarakat geram atas perilaku pelajar bercelurit yang melakukan percobaan pembunuhan terhadap pelajar bermotor, penyebarluasan nama lengkap si pelajar bercelurit beserta alamat lengkap rumahnya juga tidak bisa dibenarkan secara hukum.
Tidak ada orang tua yang ingin anaknya anaknya jadi copet, jambret, pelaku vandalisme, tukang tawuran, apalagi jadi begal dan klitih. Semua mau anaknya jadi orang bener. Hanya saja tidak semua orang tua bisa memberikan pola asuh yang ideal. Jadinya anak jadi mudah terpengaruh lingkungan dan pergaulan.
Bila Anak Jadi Pelaku Kejahatan Jalanan
Kadangkala ada orang tua yang sudah memberi pengasuhan agama dan mengawasi pergaulan anaknya, tapi masih kecolongan karena anak ternyata terlibat geng motor atau tawuran seperti si pelajar bercelurit tadi. Kalau itu terjadi maka hal berikut ini penting dilakukan orang tua yang anaknya terlibat kejahatan jalanan.
1. Stop posting apa pun di media sosial dan status WhatsApp untuk sementara waktu. Apa pun yang kita posting di medsos dan status WhatsApp berpotensi besar membuat orang-orang makin marah karena kita dianggap muka tembok dan tidak tahu malu.
Itu juga terjadi pada ayah dan ibu Mario Dandy, alih-alih dapat simpati dengan melakukan wawancara televisi untuk membela anaknya. Mereka malah tambah dapat sumpah serapah, terutama dari netizen.
2. Tidak menyalahkan siapa pun andai data anak tersebar luas. Selagi pembicaraan tentang anak kita masih santer, diam lebih baik daripada berkomentar apalagi menyalahkan pihak yang menyebarluaskan data pribadi anak.
Rasa sakit hati dan tidak terima anak kita diperlakukan lebih hina dari koruptor memang tidak bisa dihindarkan, tapi kalau kita berkomentar yang terkesan menyalahkan pihak lain, itu bisa jadi bumerang buat kita dan anak. Silence, sometimes, is golden.
3. Salah satu orang tua tetap berada di rumah untuk mengantisipasi kedatangan tamu tak diundang. Tinggalkan sementara kesibukan di luar rumah kecuali kedua orang tua (ayah dan ibu) punya pekerjaan yang tidak memungkinkan untuk cuti atau izin.
4. Tahan diri untuk memarahi dan memaki anak. Biarlah orang lain memperlakukan dia seperti kriminal, tapi orang tuanya tetap harus menunjukkan kasih sayang betapa pun kelakuan anak membuat kita malu berat dan terhina.
5. Antar-jemput sendiri (tidak melalui ojek atau saudara) tiap anak berangkat dan pulang sekolah sebagai bentuk "hukuman" kepadanya bahwa segala tindakannya kini tidak bisa lagi dipercaya karena telah berbuat sesuatu yang melanggar hukum.
Selain itu supaya si anak tahu kita mengawasinya dengan ketat sampai dia tidak lagi terbukti ikut tawuran, begal, klitih, dan kejahatan jalanan lainnya.
Dengan mengantar-jemput anak langsung tanpa diwakili, kita sekaligus menjaganya jangan sampai circle kriminal mendekatinya lagi atau membalas dendam kepadanya.
Ini berlaku untuk anak yang kecanduan narkoba. Memutus rantai pergaulan lamanya bisa membantu anak keluar dari jerat narkoba sembari anak melakukan rehabilitasi.
6. Pindah rumah dan pindah sekolah bila perlu. Ini bisa dilakukan kalau anak sudah berkonflik dengan hukum dan diproses pidana di kepolisian, bahkan sampai persidangan.
Gunanya untuk ketenangan batin anak beserta keluarganya supaya tidak terjebak ke lingkungan lama yang berpengaruh buruk ke anak. Memang kesannya ribet harus pindah rumah atau pindah sekolah segala. Ribet sekali, tapi bermanfaat untuk seumur hidup itu jauh lebih baik.
7. Terima kenyataan andai kerabat dan tetangga jadi menjauh dan tidak mau lagi kenal dengan kita. Ini mau tidak mau kita terima sebagai konsekuensi atas perbuatan anak.
8. Banyak berdoa dan kembali pada agama. Agama bukanlah sebuah kultus imajiner, melainkan penenang hati dan petunjuk kehidupan. Banyak berdoa dan kembali pada agama bisa membuat pikiran kita tetap jernih dan hanya fokus pada hal-hal yang penting dalam hidup saja.
Salah satu hal yang penting dalam hidup adalah masa depan anak. Jangan sampai aksinya melakukan kejahatan jalanan membuat masa depannya suram. Selama anak belum masuk usia dewasa (18 tahun) kita masih bisa mengusahakan pendidikan dan pergaulan baru yang baik bagi dirinya.
***
Sewaktu ibu si pelajar bercelurit curhat tentang anaknya, saya tetap menawarkan bantuan kalau dia butuh sesuatu. Hati saya ikutan jengkel atas perilaku anaknya, tapi saya memilih untuk tetap mendengar curhatnya dan menguatkan hatinya. Pertimbangan saya karena sehari-harinya dia bukan tipe ibu yang cuek terhadap anak. Kalau saya ikutan menjauhinya, kuatir dia merasa betul-betul sendirian.
Kalau sudah merasa sendirian dan ditinggalkan, bisa saja dia jadi tertekan. Kalau tertekan, perannya sebagai ibu yang membawa sang anak menjauhi kejahatan jalanan tidak akan terpenuhi. Minimal satu saja calon pelaku kejahatan berkurang, kan, lumayan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H