Enam puluh lima ribu tiket konser perayaan 30 tahun Dewa 19 berkarya pada November 2022 lalu ludes terjual hanya dalam satu jam. Pun tiket Coldplay yang akan manggung November 2023 di Jakarta sudah full booked alias habis dipesan sejak pertengahan Mei.
Uniknya, para remaja juga ikut war tiket Coldplay. Padahal Coldplay terbentuk tahun 1997 waktu mereka belum lahir. Itu juga tahun yang sama saat ibu-bapak mereka masih jadi pelajar dan mahasiswa jejingkrakan nonton konser Dewa 19 di acara pentas seni sekolah dan kampus.
Jadi menurut saya antre pesan tiket Coldplay yang sengit sampai disebut war, bukan karena orang kena FOMO (fear of missing out/takut ketinggalan hal yang sedang tren), melainkan karena minimnya band-band baru yang sepopuler Coldplay dan Dewa.
Pada masa emasnya bersama Padi, Sheila on 7, Base Jam, dan Peterpan (ganti nama jadi Noah di 2009), semua lagu Dewa jadi hits. Hampir semua anak muda waktu itu pasti hapal lagu-lagu mereka.Â
Menoleh ke belakang sebelum Dewa berdiri, ada Slank, Kahitna, Potret, dan Jamrud yang lagu-lagunya juga menghiasi tangga lagu di radio dan penjualan kaset. Maju beberapa tahun ke depan kita mengenal Mocca, Ten 2 Five, Kerispatih, dan Kangen Band yang jadi regenerasi selepas Dewa dkk.
Jadi bisa dibilang masa 1990-an sampai awal 2000-an adalah masa dimana musik Indonesia dimeriahkan oleh banyak band. Masa jaya band luar negeri pun berlangsung di era yang sama. Mendekati tahun 2010 hampir tidak ada band baru di tanah air yang populer.Â
Band Masa 1970-an sampai Awal 2000-an.
Sejak 1970-an sampai awal 2000-an, band-band baru bermunculan dan populer mewakili generasi zamannya, namun makin mendekati tahun 2010 hampir belum ada band baru yang jadi idola generasinya.Â
Band yang termasuk baru mungkin Wali yang album pertamanya rilis pada 2008. Tapi Wali sebenarnya band 1990-an karena sudah terbentuk sejak 1999.
Belum adanya band sebesar Dewa 19 dkk di Indonesia setelah tahun 2010 kemungkinan karena:
1. Fans musik ABG (anak baru gede) saat itu sedang gandrung dengan boyband dan girlband seperti SMASH dan Cherrybelle. Buat label mayor, selera pasar adalah segalanya.
2. Band-band baru merilis album dan single lewat jalur indie sehingga promosi dan gimmick-nya terbatas. Hal sama juga terjadi di luar negeri setelah era Coldplay dkk merilis lagu lewar jalur indie sehingga kepopuleran mereka tidak semeledak band pendahulunya yang ditangani label besar.
Walau musik indie terbantu platform streaming yang membuat mereka punya fans fanatik, namun promosinya kurang menjangkau semua kalangan karena keterbatasan dana.
3. Kedatangan K-pop yang masif didalam gelombang Korea (korean wave/hallyu) yang juga membawa budaya dan kuliner Korea ke Indonesia.Â
4. Munculnya beragam kontes menyanyi pop dan dangdut yang tiap tahunnya mengorbitkan banyak penyanyi solo hasil ajang kontes tersebut.
Takayal siklus regenerasi band jadi tersendat dan terlambat. Para penikmat musik yang ingin mendengar lagu karya khas anak band akhirnya balik lagi ke Dewa, Padi, atau Sheila on 7.Â
Kaum perempuan juga jadi balik lagi menggilai Ariel Noah dan Andika Kangen Band (walau Andika sudah tidak di Kangen) karena tidak ada regenerasi idola band baru yang kharismanya seperti mereka.
Pentolan band Dewa Ahmad Dhani pernah bilang di kanal YouTube Gofar Hilman, ludesnya tiket Dewa di konser November 2022 karena band masa kini belum ada yang menyamai megah dan kerennya Dewa.Â
Pendapat itu tidak keliru walau kurang tepat juga. Band papan atas Indonesia yang megah dan keren sebelum Dewa ada Slank yang bayaran sekali manggungnya menyentuh angka Rp500 juta.Â
Album pertama Slank di tahun 1990 meledak di pasaran dengan lagunya yang paling populer berjudul Suit Suit He He Gadis Sexy.
Regenerasi Band Cadas
Untungnya regenerasi band populer di genre rock dan metal belum pernah putus sejak 1985-an bila dibandingkan dengan pop. Setelah Jamrud, Elpamas, Grass Rock, Voodoo, Andromedha, Protonema, Power Slaves, dan U'Camp, muncullah Kelompok Penerbang Roket di tahun 2011.Â
Sepuluh tahun berikut ada Black Horses yang naik dauh sejak 2021 walau mereka sebenarnya mulai berkarya beberapa tahun sebelumnya.Â
Di musik yang lebih keras memekakkan telinga ada The Last Suffer, Hollykillers, Avhath, Zues, Viscral, Darksovls, dan termasuk Voice of Baceprot yang jadi penerus Burgerkill dan Siksakubur. Ini bisa jadi bukti bahwa regenerasi musik cadas tidak pernah tersendat.Â
Voice of Baceprot bagus dalam bermusik karena beberapa kali dapat penghargaan internasional. Sayangnya buat saya suara vokalisnya ngepop banget daripada metal.
Sementara itu regenerasi yang sama stabilnya juga ada di genre ska dan grunge. Sama seperti metal, sedari awal ska dan grunge bermusik di jalur indie yang tidak terikat dengan selera pasar sehingga kemampuannya bertahan lebih tangguh daripada band pop yang rentan tergilas penyanyi solo.
Menantikan Munculnya Band Papan Atas Baru
Pada 1990-an sampai awal 2000-an musik dari band disukai semua laki-laki dan perempuan. Sekarang band cuma disukai laki-laki karena yang perempuan lebih menggilai K-pop.
Mungkin karena selera pasar yang belum memungkinkan, label mayor enggan memodali band baru yang akan diorbitkan jadi band besar. Tapi mosok harus nunggu selera pasar dulu? Siapa tahu selera pasar berubah kalau mereka diberi pilihan selain K-pop dan penyanyi solo.
Makanya bila Gen X dan Milenial punya bejibun band pop keren dan populer yang mewakili generasinya, Gen Z tidak. Mereka tidak punya band yang mewakili generasinya sehingga ikutan mendengarkan band-band lawas dari jaman bapak-ibunya.
Kalau mau menikmati musik dari anak band, mereka harus mencari band favorit sendiri dari platform streaming musik, pertunjukkan seni, konser mini di suatu komunitas, atau dari kafe ke kafe.
Band-band baru bukannya tidak ada. Jumlahnya banyak, tapi mereka memilih jalur indie. Alasan terbesarnya karena kebebasan beride dan kreativitas yang tidak mereka dapat di label mayor.Â
Sementara itu untuk membuat satu band jadi band papan atas diperlukan modal yang super besar untuk promosi, distribusi, serta penguasaan platform streaming musik yang cuma dimiliki label mayor.
Mungkin anak band sama seperti Kompasianer, dibayar atau tidak kita tetap menulis, kalau kemudian dapat K-Rewards itu kita anggap sebagai bonus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H