Oke, oke, tidak baik membandingkan jaman dulu dengan sekarang karena tiap jaman punya keunikan masing-masing. Tapi, rasanya perlu membandingkan cara bikin skripsi di era internet dial-up dengan fiber optik biar kita makin semangat memanfaatkan teknologi untuk edukasi.
Darurat Militer Aceh
Saya bikin skripsi saat sedang diberlakukan Darurat Militer di Aceh yang berlangsung pada 2003-2004 berkaitan dengan pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).Â
Waktu itu nyaris semua mahasiswa universitas swasta di Jakarta memilih topik dan judul skripsi yang "aman-aman aja" sehingga tidak berisiko mandek ditengah jalan dan bisa lulus tepat waktu. Aman disini berarti topiknya itu-itu saja dari tahun ke tahun dengan metode penelitian sama dengan para seniornya.
Berhubung saya kuliah di jurusan jurnalistik, dosen pembimbing menganjurkan semua mahasiswa jurnalistik untuk menyusun skripsi dengan metode penelitian yang berbeda dari anak (jurusan) Humas. Sebab selama ini, gak Humas, gak Jurnalistik, gak Komunikasi Bisnis metodenya sama, cara menelitinya sama, dan cara penyampaian di sidang pun serupa.
Namun cuma saya yang menuruti anjuran itu, mahasiswa lain tidak. Karena saya satu-satunya mahasiswa yang memilih metode framing berita tentang darurat militer, jadinya saya selesai skripsi lebih lama dan ikut wisuda di tengah tahun berikutnya.Â
Musababnya karena metode penelitian framing berita belum pernah dilakukan di fakultas ilmu komunikasi kampus saya. Kalau di kampus negeri top, sih, sudah. Jadi saya mahasiswa pertama yang menggunakannya di kampus.
Pada waktu itu sungguh yang namanya data sulit banget dicari. Selain tiap hari mengubrek-ubrek Perpustakaan Nasional di Salemba, Jakpus, saya terpaksa harus mengandalkan internet dial-up di rumah yang kecepatannya lebih lambat dari siput. Untuk buka halaman depan detikcom secara utuh saja butuh semenit.
Media Berita
Dosen pembimbing lantas menyarankan saya untuk memilih satu saja media besar yang akan diteliti karena kalau sekaligus banyak malah akan bias dan saya akan kesulitan menyusun skripsinya. Tapi kalau cuma satu bagaimana membandingkan framing mereka terhadap darurat militer?
Media yang seimbang, paling kritis dan berani memberitakan kekerasan waktu itu adalah Majalah Tempo. Sedangkan media yang seimbang, dianggap paling santun serta menghindari pemberitaan kekerasan adalah Harian Kompas.Â
Media online waktu itu cuma ada Republika Online, Tempo Interaktif, dan Kompas. Namun satu-satunya pelopor media berita murni online adalah detikcom yang mengudara tahun 1998.
Makanya banyak teman-teman saya yang kemudian magang dan membuat skripsi di detikcom. Waktu itu magang disebut dengan PKL (praktik kerja lapangan) yang kalau di kampus negeri waktu itu namanya KKN (kuliah kerja nyata).
Setelah lulus kuliah mayoritas dari kami betul-betul jadi wartawan, termasuk saya. Beberapa diantara teman saya itu sampai sekarang masih berkecimpung di bidang jurnalistik dari pemred sampai pemilik kanal berita di YouTube.
Internet Dial-up
Mahasiswa sekarang jauh lebih mudah membuat skripsi karena sudah ada internet di kecepatan 5G, pesan instan, dan media sosial. Saya bayangkan dengan kemudahan teknologi informasi seperti sekarang, skripsi yang dibuat pasti lebih berkualitas karena data seperti jurnal ilmiah, keterangan pers, kebijakan pemerintah, undang-undang, dan informasi apa pun mudah ditemukan di internet.Â
Belum lagi responden wawancara juga lebih mudah didapat karena tinggal minta partisipasi masyarakat lewat medsos, dengan imbalan saldo dompet digital atau pulsa. Maka kemungkinan skripsi lebih cepat selesai pun didepan mata. Kuliah S1 3,5 tahun sudah bukan hal yang wow lagi.
Sewaktu bikin skripsi hampir tiap hari saya bolak-balik ke Perpustakaan Nasional di Salemba, Jakpus. Kadang bersama teman-teman, tapi lebih banyak sendirian. Kalau sedang tidak ke perpusnas, saya buka internet di rumah menggunakan dial-up Telkomnet Instan dari Telkom Indonesia.Â
Disebut dial-up karena kita harus memencet nomor 080989999 di pesawat telepon untuk terhubung dengan internet. Waktu itu sudah ada handphone, tapi belum smart jadi cuma bisa dipakai buat SMS dan telepon saja.
Untung saja skripsi saya tidak perlu partisipasi responden karena penelitian menitikberatkan pada isi berita, penerapan Kode Etik Jurnalistik (sekarang Kode Etik Wartawan Indonesia), dan kebijakan redaksi. Jadi saya tidak perlu susah payah mencari orang untuk mengisi kuesioner atau wawancara tatap muka.
Selain Telkomnet Instan sebenarnya sudah ada internet provider menggunakan kabel, tapi saya pilih dial-up. Selain praktis karena tinggal pencet nomor dan colok kabel telepon ke komputer, kami sekeluarga saat itu juga belum butuh banget internet.Â
Beda dengan sekarang kalau tidak ada internet rasanya seperti hidup di hutan. Bahkan di hutan dan ditengah laut pun sekarang sudah terjangkau sinyal internet. Bagaimana cara membuat skripsi tanpa dukungan internet? Bisa-bisa setahun baru selesai.
Saya pernah pakai handphone untuk terhubung ke internet, tapi mahal! Baru connect 15 menit sudah habis pulsa Rp50.000. Betul! Saya mengalami sendiri bagaimana borosnya berselancar di phone yang belum smart-smart amat waktu itu. Mau tidak mau dial-up internet dari telepon rumah walau bapak saya tiap bulan bayarnya mahal juga, pernah sampai tembus Rp700.000.
Artinya kalau pemakaian internet IndiHome kita sudah sampai 750 GB, kecepatan akan dikurangi tidak sampai 30 Mbps lagi. Pun dengan pengguna yang mengambil paket speed 300 Mbps akan turun kecepatan internetnya kalau sudah mencapai pemakaian 4050 GB.
Walau turun, kecepatan internet IndiHome itu sangat jauh lebih cepat dari saat saya bikin skripsi menggunakan dial-up yang kecepatannya cuma 56 Kbps. Jadi berbahagialah mahasiswa yang di rumahnya langganan IndiHome karena mengerjakan skripsi tidak perlu bolak-balik ke perpustakaan seperti setrikaan.
Dulu pakai internet dial-up berkecepatan 56 Kbps sekarang fiber optik di kecepatan 30 Mbps | foto: dokpri
Plagiasi Skripsi
![Dulu pakai internet dial-up berkecepatan 56 Kbps sekarang fiber optik di kecepatan 30 Mbps | foto: dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2023/05/09/save-20230509-153002-645a0fd25479c32bfc760723.jpg?t=o&v=770)
Dua tahun setelah lulus, saya diundang ke kampus untuk pelantikan anggota UKM (unit kegiatan mahasiswa) tempat saya dulu bergabung. Sewaktu menelusuri lemari buku untuk melihat koleksi di sana saya iseng ambil satu skripsi dan membacanya.Â
Judulnya, kok, serupa dengan skripsi saya. Metode penelitiannya pun sama-sama framing berita dan media massa yang ditelitinya juga sama. Bahkan kata pengantar dan abstraksi dia menggunakan framing kualitatif juga persis seperti yang ada di skripsi saya.
Saya cuma membatin, ini skripsi, kok, kayak nyontek punya gw. Sama persis, cuma judulnya dibikin beda sedikit.
Ada rasa bangga sekaligus kecewa. Bangga berarti skripsi saya bagus untuk dijadikan acuan adik tingkat, tapi kecewa karena nampak kalau dia melakukan plagiasi.
Tapi memang analisis framing sudah digunakan di kampus-kampus negeri top sebelum saya melakukannya. Adik tingkat saya itu juga tidak menganalisis darurat militer Aceh yang saat itu sudah berakhir. Jadi mungkin berlebihan kalau menganggap skripsi saya diplagiat.
***
Di zaman apa pun menyusun skripsi sebetulnya memang tidak pernah mudah. Kalau saya menganggap mahasiswa zaman sekarang lebih mudah mengerjakan, itu karena saya membandingkannya dari kemudahan akses teknologi informasi yang mana sekarang memang eranya.Â
Seperti dulu kalau mau lihat skripsi-skripsi bikinan kakak tingkat kita harus datang ke kampus dan mencarinya di perpustakaan. Sekarang mau lihat skripsi dari negara manapun tinggal cari di internet. Namanya juga zaman digital.
Maka manfaatkanlah kemudahan mencari ide, referensi, data, dan jurnal keilmuan di internet untuk membuat skripsi yang berkualitas dan bebas plagiat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI