Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Transformasi Menyusun Skripsi dari Internet Dial-up ke Fiber Optik

9 Mei 2023   20:00 Diperbarui: 9 Mei 2023   20:07 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Internet sudah jadi bagian hidup sehari-hari untuk mengakses pengetahuan, pendidikan, hiburan, dan membantu karir | foto: dokpri

Oke, oke, tidak baik membandingkan jaman dulu dengan sekarang karena tiap jaman punya keunikan masing-masing. Tapi, rasanya perlu membandingkan cara bikin skripsi di era internet dial-up dengan fiber optik biar kita makin semangat memanfaatkan teknologi untuk edukasi.

Darurat Militer Aceh

Saya bikin skripsi saat sedang diberlakukan Darurat Militer di Aceh yang berlangsung pada 2003-2004 berkaitan dengan pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 

Waktu itu nyaris semua mahasiswa universitas swasta di Jakarta memilih topik dan judul skripsi yang "aman-aman aja" sehingga tidak berisiko mandek ditengah jalan dan bisa lulus tepat waktu. Aman disini berarti topiknya itu-itu saja dari tahun ke tahun dengan metode penelitian sama dengan para seniornya.

Berhubung saya kuliah di jurusan jurnalistik, dosen pembimbing menganjurkan semua mahasiswa jurnalistik untuk menyusun skripsi dengan metode penelitian yang berbeda dari anak (jurusan) Humas. Sebab selama ini, gak Humas, gak Jurnalistik, gak Komunikasi Bisnis metodenya sama, cara menelitinya sama, dan cara penyampaian di sidang pun serupa.

Namun cuma saya yang menuruti anjuran itu, mahasiswa lain tidak. Karena saya satu-satunya mahasiswa yang memilih metode framing berita tentang darurat militer, jadinya saya selesai skripsi lebih lama dan ikut wisuda di tengah tahun berikutnya. 

Musababnya karena metode penelitian framing berita belum pernah dilakukan di fakultas ilmu komunikasi kampus saya. Kalau di kampus negeri top, sih, sudah. Jadi saya mahasiswa pertama yang menggunakannya di kampus.

Pada waktu itu sungguh yang namanya data sulit banget dicari. Selain tiap hari mengubrek-ubrek Perpustakaan Nasional di Salemba, Jakpus, saya terpaksa harus mengandalkan internet dial-up di rumah yang kecepatannya lebih lambat dari siput. Untuk buka halaman depan detikcom secara utuh saja butuh semenit.

Media Berita

Dosen pembimbing lantas menyarankan saya untuk memilih satu saja media besar yang akan diteliti karena kalau sekaligus banyak malah akan bias dan saya akan kesulitan menyusun skripsinya. Tapi kalau cuma satu bagaimana membandingkan framing mereka terhadap darurat militer?

Media yang seimbang, paling kritis dan berani memberitakan kekerasan waktu itu adalah Majalah Tempo. Sedangkan media yang seimbang, dianggap paling santun serta menghindari pemberitaan kekerasan adalah Harian Kompas. 

Media online waktu itu cuma ada Republika Online, Tempo Interaktif, dan Kompas. Namun satu-satunya pelopor media berita murni online adalah detikcom yang mengudara tahun 1998.

Makanya banyak teman-teman saya yang kemudian magang dan membuat skripsi di detikcom. Waktu itu magang disebut dengan PKL (praktik kerja lapangan) yang kalau di kampus negeri waktu itu namanya KKN (kuliah kerja nyata).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun