Sulit cari makan dan tempat istirahat, hal paling membagongkan di jalur pantura.
Lebaran 2023 ini perjalanan kedua saya, suami, dan anak-anak mudik lewat jalur pantai utara (pantura).Â
Bila pada 2022 lalu kami berangkat lewat pantura lalu pulang lewat tol Trans Jawa, maka tahun ini kebalikannya. Kami berangkat mudik lewat tol dan pulangnya lewat pantura.
Saat berangkat mudik dari Muntilan, Magelang, ke Cinere di Kota Depok kami masih bisa lewat tol karena berangkat di hari Idulfitri 22 April di mana tol sudah kembali diberlakukan dua arah.
Sewaktu pulang mudik tanggal 25 April mau tidak mau kami harus lewat pantura karena tol sudah ditutup dan hanya boleh dilewati pemudik yang pulang ke Jabodetabek.
Kami terpaksa cuma mudik tiga-hari-dua-malam di rumah orang tua saya karena pada Rabu 26 April anak-anak sudah masuk sekolah. Kabupaten Magelang tempat kami tinggal memberlakukan libur sekolah sama dengan cuti bersama ASN, karyawan swasta, dan buruh. Betul-betul jadwal libur lebaran yang membagongkan.
Tol Trans Jawa Padat Lancar
Dari Muntilan menuju tol Bawen jalanan masih lumayan padat oleh kendaraan. Mayoritas mobil berplat H, AB, AD, dan B. Sedikit saja yang berplat AA seperti kami. Setelah masuk ke tol, jalur ke arah Jakarta relatif sepi, sedangkan jalur ke arah Jawa rupanya masih padat. Saking padatnya kami sampai harap-harap cemas supaya tol arah Jakarta tidak ditutup lagi.
Setelah sempat berhenti di rest area 429B karena hujan deras dan angin kencang, syukurlah kepadatan di jalur sebelah tidak sampai membuat tol arah Jakarta ditutup.
Hal membagongkan terjadi ketika kami sampai di Cikarang. Biasanya kami keluar di exit tol Cikunir 2 lalu meneruskan ke JORR (Jakarta Outer Ring Road/tol lingkar luar Jakarta) arah Serpong lalu ke Fatmawati dan keluar di exit Pondok Indah. Setelah itu lewat Pondok Labu dan sampai di Cinere.
Namun, kami lupa bahwa ada jalan tol baru yang menghubungkan tol Jagorawi dengan Cinere, yaitu tol Cijago. Sekeluarnya dari Cikunir 2 kami bukannya lewat tol arah Cawang, tapi masuk Cijago. Alhasil kami jadi mengandalkan GPS (Gunakan Penduduk Setempat) setelah exit di gerbang Kukusan 1 untuk sampai ke Cinere.
Ndilalah, orang yang kami tanya kemana arah Cinere malahan tidak tahu dimana itu Cinere. Kami beralih tanya ke penjual buah yang menjawab dengan amat pelit dan baru tersenyum setelah kami beli sekilo jeruk dagangannya.Â
Ternyata mengikuti petunjuk jalan dari penduduk setempat membuat kami menjauhi Cinere karena malah sampai ke Margonda, pusat kota Depok.
Kami lebih hapal jalan di Jakarta daripada Depok. Selain karena saya lahir dan besar sampai menikah di Jaksel, orang tua saya juga baru empat tahun pindah ke Depok setelah sebelumnya tinggal di kawasan Radio Dalam, Kebayoran Baru. Pun Cijago (Cinere-Jagorawi) adalah tol yang pengoperasiannya baru dilakukan penuh mulai 2023 ini.
Walau namanya Cinere-Jagorawi, sebenarnya tol ini tidak persis berada di Cinere, melainkan di Beji. Bila Beji berada dekat Margonda dan sudah Depok banget, Cinere lebih dekat ke Jakarta. Inilah yang membuat kami nyasar karena mengira keluar tol langsung Cinere, ternyata masih lumayan jauh juga.
Jarak dari Muntilan ke Cinere sejauh 550 kilometer kami tempuh dalam waktu 10 jam, sudah termasuk nyasar di exit tol Cikunir 2 dan exit tol Cijago. Cepat juga, yah!
Konsekuensi Tol Trans Jawa pada Pantura
Ada yang bilang tol Trans Jawa mematikan mata pencaharian penduduk di jalur pantura karena orang lebih memilih lewat tol.Â
Pendapat ini tidak keliru meski tidak benar juga walau kami ikut mengalami efek keberadaan Trans Jawa terhadap jalur pantura tersebut.
Sewaktu pulang dari Cinere ke Muntilan lewat pantura, kami hampir tidak menemukan rumah makan dan restoran. Lapak-lapak kaki lima sudah tidak tampak lagi di sana. Rumah makan dan restoran juga banyak yang tutup, bangkrut karena tidak lagi disinggahi pengendara.
Sebelum ada tol, suami bercerita kalau di sepanjang jalur pantura mudah ditemui penjual makanan dari lapak kaki lima sampai restoran berjejeran, membuat orang mudah mencari makan atau sekadar istirahat minum air kelapa muda.Â
Tempat istirahat dadakan dan posko mudik juga mudah ditemukan kalau kita ingin buang air atau sekadar melonjorkan kaki.
Semasa bujangan suami saya pernah mudik naik motor melewati jalur pantura yang macetnya luar biasa sampai dia baru tiba di Muntilan 23 jam kemudian. Tetapi tidak ada rasa lelah karena yang dia rasakan hanyalah kegembiraan dan kebersamaan bersama para pemudik yang lewat pantura, terutama sesama bikers yang mudik ke Yogya.Â
Keberadaan tol Trans Jawa buat saya pribadi mempermudah dan mempernyaman perjalanan.Â
Rest area di jalan tol tersedia tiap 25 kilometer. Kita sudah bisa memperkirakan kapan harus berhenti untuk pipis, istirahat, atau salat. Sedangkan kalau lewat pantura, kami cuma bisa istirahat di masjid atau SPBU yang tidak tahu di mana letak persisnya dan kapan akan sampai di SPBU atau masjid tersebut.
Mengemudi di jalan tol juga lebih mudah buat saya dibanding pantura yang banyak pemotor dengan lajur yang lebih sempit.
Meski begitu, masih banyak orang yang memilih lewat pantura kalau mereka tidak buru-buru ingin sampai ke tujuan atau karena pertimbangan biaya. Nostalgia juga jadi pertimbangan bagi sebagian orang untuk memilih bepergian lewat pantura.Â
Titik-titik kemacetan di masa lalu di sepanjang pantura jadi kenangan yang tidak mudah dilupakan. Itu juga yang dirasakan suami saya. Dulu simpang Jomin jadi liputan utama media massa saking macetnya, perempatan Cirebon juga dijaga banyak polisi, belum lagi pasar tumpah yang marak ditemui menjelang lebaran di banyak kota pantura.
Pesona Laut Indramayu
Minimnya lapak kaki lima dan rumah makan di jalur pantura membuat kami kesulitan mencari makan siang dan tempat istirahat. Restoran yang kami temukan cuma Pesona Laut di Indramayu.
Lokasi Pesona Laut sangat memikat karena berada di pinggir laut dan menawarkan menu seafood. Sayang sekali menu hidangan laut sudah habis dan yang cuma tersedia cuma aneka masak cumi, sayur, ayam, dan ikan air tawar.
Habisnya menu boga bahari sudah bisa diduga karena resto ini penuh bukan main. Sementara saya mengantre di kasir, suami harus adu debate dengan pengunjung lain yang cuma berempat, tapi memakai meja untuk delapan orang.Â
Penuhnya Pesona Laut kami yakin bukan karena lokasinya yang persis di pinggir laut, melainkan karena minimnya rumah makan dan restoran di sepanjang pantura. Ada 2-3 rumah makan prasmanan, tapi selalu dipenuhi oleh bus-bus AKAP. Bus-bus ini juga lewat pantura karena tidak bisa lewat tol yang saat itu dieksklusifkan hanya untuk pemudik yang pulang ke Jabodetabek.
Makan di Pesona Laut ternyata juga membagongkan. Sudah cita rasa makanannya ora enak blass, harganya super mahal, pelayanannya pun serba lama. Resto ini cuma menang di suasana pinggir lautnya doang. Tapi resto ini bakal jadi pilihan kami lagi tahun depan kalau mudik lewat pantura. Tidak ada pilihan, kecuali kalau sudah ada restoran baru yang lebih layak dinikmati dengan harga sepadan.
Macet Panjang di Jalur Nostalgia
Kami kira pemudik yang pulang berkebalikan arah tidak banyak jadi pantura akan sepi dan perjalanan kami bakal lancar jaya sampai Muntilan. Ternyata membagongkan banget.
Sejak masuk ke Cikampek sampai Pekalongan sungguh kami tidak bisa jalan cepat karena pantura ternyata padat. Selain bus, jalanan juga didominasi mobil plat B.Â
Entah mereka mau mudik atau liburan karena libur sekolah di Jabodetabek berlangsung sampai 1 Mei, masih ada waktu sepekan untuk berlibur.
Di Pekalongan kami mampir makan malam di KFC. Ternyata resto itu super penuh. Kami lihat parkiran lagi-lagi didominasi mobil plat B. Karena tidak kebagian meja, kami akhirnya memesan drive thru dan makan di mobil sambil melanjutkan perjalanan. Sampai di KFC waktu sudah menunjukkan pukul 20.13 WIB. Artinya sudah 13 jam kami di perjalanan sejak meninggalkan Cinere.Â
Walau padat kendaraan seperti dulu, suasana di jalur pantura sudah jauh berbeda, setidaknya begitu menurut suami. Sebelum ada tol, pantura merupakan satu-satunya jalur mudik yang paling diminati melebihi jalur selatan.
Itulah yang jadi sebab ribuan orang yang melewati pantura merasakan kebersamaan yang berbalut kekeluargaan. Meski tidak saling kenal, mereka tidak sungkan bertegur sapa dan bercerita dengan akrab. Sekarang rasa seperti itu tidak ada lagi. Yang ada cuma saling berkompetisi di jalan untuk mengutamakan diri cepat sampai tujuan tanpa mengindahkan etika jalan raya.
Kami sampai di Muntilan pukul 02.00 dini hari yang artinya kami menempuh perjalanan dari Cinere selama 20 jam.Â
Saya tidak lama menggantikan suami nyetir karena tidak tahan dengan banyaknya pemotor dan macet berkepanjangan. Jadi anak-anak dan suamilah yang paling kelelahan dalam perjalanan pulang mudik itu. Saya lebih banyak tidur, sedangkan anak-anak belum terbiasa melakukan perjalanan darat sampai 20 jam.
***
Walau lelah karena bermacet-macet ria, perjalanan mudik adalah bagian dari suka cita Idulfitri. Niat mudik karena ingin silaturahim dengan keluarga insyaallah menuai keberkahan dan jadi amal ibadah untuk kita, aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H