Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Gurunya Kompeten, Kurikulumnya Keren, Orang Tuanya Paten

17 Maret 2023   15:56 Diperbarui: 31 Maret 2023   14:01 3063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Think global act local
Berpikir global bertindak lokal

Virgilius Bate Lina dan Berty Sadipun dalam jurnal Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal Kabupaten Ngada (2018), menjelaskan bahwa para ahli sosial telah mengembangkan ungkapan think globally, act locally yang punya makna yaitu pemikiran dan sikap yang terbuka terhadap perkembangan zaman namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan lokal.

Begitulah yang ingin dicapai dari Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) yang diterapkan di sekolah dan perguruan tinggi mulai tahun ajaran 2022/2023.

Memangnya bisa tindakan dan perilaku anak-anak kita nantinya berdampak global walau mereka memegang nilai-nilai kebudayaan lokal? Apakah mereka nanti tidak terlihat norak bergaul dengan orang-orang dari berbagai negara?

Cara Orang Tua Memahami Kurikulum Merdeka

Kalau kita mencermati informasi yang tertuang di situs kurikulum.kemdikbud.go.id, Kurikulum Merdeka sebenarnya tidak menggantikan Kurikulum 2013 (K13) seperti yang dikira banyak orang berkaitan dengan ganti-menteri-ganti-kebijakan. 

Kurikulum Merdeka justru menyederhanakan sekaligus menyempurnakan K13 dengan menyesuaikan pembelajaran dan penguatan karakter anak sesuai perkembangan zaman di dunia internasional.

Cara orang tua memahami esensi Kurikulum Merdeka utk mendampingi anak mencapai prestasi tanpa melupakan pendidikan karakter | Gambar: Kemdikbudristek
Cara orang tua memahami esensi Kurikulum Merdeka utk mendampingi anak mencapai prestasi tanpa melupakan pendidikan karakter | Gambar: Kemdikbudristek

Keleluasaan cara belajar dan penguatan pendidikan karakter yang ada di Kurikulum Merdeka membuat anak-anak kita kelak mumpuni bersaing dengan orang dari belahan dunia mana pun karena sudah punya fondasi ilmu, kepercayaan diri, dan kepribadian yang kuat yang berasal dari kebudayaan lokal mereka sendiri di Indonesia. 

Sebagai contoh, karena saya tinggal di Kabupaten Magelang, pada mata pelajaran Seni Budaya siswa dikuatkan identitasnya sebagai orang Jawa dengan penerapan bahasa Jawa dan kebudayaannya (mengenal makanan, adat, dan kebiasaan setempat). 

Porsinya sama dengan bahasa Inggris dan Matematika yang jadi standar numerasi internasional apakah suatu negara penduduknya sudah pintar atau masih terbelakang.

Cakap berbahasa Jawa ini sesuai dengan Merdeka Belajar Episode 17 dari Kemdikbudristek yang berfokus pada revitalisasi bahasa daerah.

Merdeka belajar itu sendiri bisa dibilang pengejawantahan dari Kurikulum Merdeka yang mendorong siswa mengeluarkan kemampuan uniknya masing-masing tanpa kewajiban menghapal materi pelajaran dan mengejar nilai akademik semata. 

Prinsip utama dalam merdeka belajar adalah kebahagiaan siswa dalam menyerap ilmu yang mereka dapat dari sekolah. Jadi guru boleh mengajak siswanya belajar di luar kelas. 

Di sekolah anak-anak saya, guru mengajak siswanya ke usaha rumahan kue klepon, ke tempat daur ulang sampah plastik, dan ke perpustakaan daerah. Kebetulan semua tempat itu dekat dengan sekolah, jadi tinggal jalan kaki beberapa menit sudah sampai.

Maka bisa dipahami kalau merdeka belajar bukan boleh belajar boleh tidak, tapi siswa boleh menggunakan cara apapun dalam upaya memahami pembelajaran.

Di tingkat perguruan tinggi, merdeka belajar diimplementasikan dengan belajar di luar kampus selama dua semester. Mahasiswa boleh magang di perusahaan, belajar langsung dengan mentor di pekerjaan yang diminatinya, atau terlibat dalam kegiatan masyarakat yang sesuai program studi si mahasiswa.

Jadi selama dua semester itu mahasiswa boleh tidak masuk-masuk kelas untuk belajar tatap muka dengan dosen karena mereka sudah merdeka belajar dengan caranya sendiri sesuai jurusan kuliah yang mereka tempuh.

Cara belajar dengan terjun langsung untuk mengenal dunia kerja ini hal baru di Indonesia, tapi sudah lazim ditemukan di kampus-kampus luar negeri.

Saya belum sepenuhnya paham IKM di kampus karena anak-anak saya masih SD, jadi saya fokus memahami dulu bagaimana Implementasi Kurikulum Merdeka di tingkat sekolah dasar.

Ada satu pertanyaan yang sering saya temukan di kalangan sesama orang tua, yaitu, buat apa orang tua repot-repot ngerti kurikulum segala, toh nanti ganti menteri ganti kurikulum lagi.

Itu pola pikir yang menjebak, menurut saya. 

Mau kurikulumnya ganti atau tidak sebenarnya tidak masalah, karena seperti apa pun kurikulumnya, anak pertama kali mendapat pendidikan dari kita, orang tua dan keluarga besarnya, bukan dari guru atau sekolah.

Pertama kali anak belajar mengenal suara, bahasa, huruf, angka, semua asalnya dari kita. Saat kita meninabobokannya saat bayi, berbicara, mengenalkan macam-macam warna, dan memperdengarkan anak dengan musik dan bunyi-bunyian. 

Informasi Kurikulum Merdeka dapat dibaca di kurikulum.kemdikbud.go.id. Implementasinya bisa ditanyakan langsung ke sekolah | Foto: kemdikbud.go.id
Informasi Kurikulum Merdeka dapat dibaca di kurikulum.kemdikbud.go.id. Implementasinya bisa ditanyakan langsung ke sekolah | Foto: kemdikbud.go.id
Pun dengan etika dan tata krama. Salim (cium tangan) dengan kakek dan nenek atau paman dan bibi, makan dengan tangan kanan, berbicara tidak dengan kata-kata makian, mengucapkan permisi kalau mau lewat di depan orang yang lebih tua, dan lain sebagainya. Itulah pendidikan karakter paling duluan yang diterima anak sebelum dia masuk sekolah, dari keluarganya terutama orang tuanya.

Kurikulum Merdeka menguatkan pendidikan berbasis karakter yang sudah diterima anak di rumah menjadi makin kokoh. 

Cara Orang Tua Berpartisipasi di Sekolah yang Menerapkan IKM

Di Kabupaten Magelang IKM (Implementasi Kurikulum Merdeka) baru diterapkan kelas 1 dan 4 (SD/sederajat), kelas 7 (SMP/sederajat), dan kelas 10 (SMA/sederajat). Kelas lainnya masih memakai Kurikulum 2013.

Sebagaimana Kurikulum 2013 yang perlu keterlibatan melibatkan orang tua (melalui komite sekolah dan paguyuban) dalam mengawasi dan berpartisipasi memajukan kualitas pendidikan di sekolah, di Kurikulum Merdeka juga sama.

Hal berikut bisa jadi cara bagi orang tua untuk berpartisipasi dalam IKM di sekolah anaknya tanpa mengganggu kegiatan belajar-mengajar oleh guru kepada siswa.

1. Jangan ragu, sungkan, dan malu bertanya pada guru kelas tentang tugas, praktik, kegiatan sekolah, bahkan materi pelajaran yang kurang dipahami anak. 

Soal kegiatan sekolah sebetulnya itu tugas ketua paguyuban yang meneruskan informasi tentang agenda sekolah (bila ada) ke orang tua/wali di kelasnya. Jadi tanpa kita minta pun ketua paguyuban mestinya rutin menginformasikan hal itu. 

Namun, andai ketua paguyuban tidak berfungsi sebagaimana mestinya, Anda boleh bertanya langsung ke guru kelas. Sesekali saja, tidak perlu sering-sering.

2. Sekali-kali berpartisipasi dalam kegiatan kelas dan sekolah. 

Di IKM ada yang namanya Projek Penguatan Profil Pelajaran Pancasila (P5). Salah satu perwujudan P5 ini adalah gelar karya. 

Siswa kelas 4 membacakan geguritan (puisi berbahasa Jawa) dalam gelar karya P5 | Foto: Dokpri
Siswa kelas 4 membacakan geguritan (puisi berbahasa Jawa) dalam gelar karya P5 | Foto: Dokpri
Yang digelar tentu hasil karya siswa selama memahami pembelajaran. Pemahaman saat pembelajaran diwujudkan dalam bentuk kerajinan tangan, pembuatan makanan tradisional, kesenian budaya dan tradisi, atau bahasa di tempat sekolah itu berada.

Karena Kurikulum Merdeka tidak menggantikan Kurikulum 2013, jadi kelas yang belum menerapkan IKM juga dilibatkan untuk mengisi gelar karya tersebut.

Kelas 1 dibantu ibu-ibu paguyuban kelas membuat kue klepon sebagai bagian dari aksi nyata P5 | Dok. SDN Muntilan 
Kelas 1 dibantu ibu-ibu paguyuban kelas membuat kue klepon sebagai bagian dari aksi nyata P5 | Dok. SDN Muntilan 
Bila kelas mengadakan outing, orang tua juga biasanya diminta ikut jadi pendamping membantu guru mengawasi siswa selama outing berlangsung.

Berpartisipasi seperti itu bukan untuk cari muka ke guru atau kepala sekolah, tapi supaya kita tahu bagaimana jalannya proses akademik yang diterima anak-anak. Secara tidak langsung kita juga bisa mengamati apakah perilaku anak di sekolah bertolakbelakang dengan perilakunya di rumah atau sebaliknya.

3. Saling sapa dengan orang tua/wali siswa. 

Seintrovert apa pun Anda usahakan basa-basi menanyakan kabar ke sesama orang tua saat bertemu mereka. Tidak perlu sampai ikut atau membentuk geng arisan, cukup saling kenal saat ambil rapor saja sudah cukup.

Berkawan dengan sesama orang tua berguna buat kita sharing soal pelajaran, agenda dan kegiatan kelas, sekaligus supaya sesama orang tua bisa saling mengingatkan soal perilaku anak mereka di kelas.

4. Beritahu guru jika anak punya kesulitan memahami mata pelajaran tertentu atau mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman sekolahnya.

Memberi tahu guru kelas lebih penting daripada mengumbarnya pada orang tua lain atau di medsos. Mengumbar seperti itu tidak bakalan dapat solusi, malah memperkeruh keadaan karena berpotensi membuat urusan jadi melebar kemana-mana.

Guru lebih tahu kondisi di kelas dan lebih paham bagaimana mengatasi masalah-masalah seperti itu dengan tetap mengutamakan kepentingan anak.

5. Ikut webinar tentang IKM bila perlu.

Saya sendiri sudah melakukannya sewaktu Kompasiana menggelar webinar bersama Kemdikbudristek 4 Maret 2022 lalu. 

Webinar itu sebenarnya ditujukan untuk guru, dosen, dan pendidik, tapi saya ikut karena mau tahu bagaimana sekolah lain menerapkan IKM dan bagaimana pihak Kemdikbudristek menyosialisasikan hal tersebut.

Ternyata IKM sekolah yang jadi narasumber webinar serupa dengan yang dilakukan sekolah anak-anak saya. Mereka sudah berkolaborasi dengan orang tua untuk mencapai target prestasi tertentu di sekolah.

Prestasi itu termasuk nilai akademik yang memuaskan, makin bertambahnya pemahaman siswa tentang materi di mata pelajaran, dan dukungan orang tua dalam membimbing anak-anak mereka di rumah.

Formulasi Guru yang Kompeten Didukung Orang Tua Paten

Kurikulum Merdeka mendorong kompetensi guru ke level tinggi karena sudah tidak lagi dibebani oleh pekerjaan administratif. Dengan begitu guru akan punya waktu mencari cara efektif dan kreatif dalam menyampaikan pembelajaran sesuai karakteristik siswa di kelasnya.

Makanya orang tuanya jangan mau ketinggalan zaman. Posisi orang tua di Kurikulum Merdeka itu seperti obat paten yang merupakan obat yang baru diproduksi dan memiliki hak paten.

Pola pikir orang tua juga mesti diperbarui mengikuti perkembangan zaman, apalagi orang tua memiliki hak paten terhadap pendidikan anaknya.

Bila hak paten itu digunakan untuk terus jadi pendidik nomor satu bagi anak kita, sembari berkolaborasi dengan guru dan sekolah, maka sangat mungkin tujuan Kurikulum Merdeka akan tercapai optimal buat anak kita.

Jadi walau belajarnya di sekolah negeri, kualitas anak-anak kita tidak akan kalah dari lulusan luar negeri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun