Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Penulis - Ghostwriter

Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022. Peduli pendidikan dan parenting

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Klitih Merajalela, Perkuat Fondasi Pola Asuh dan Pengawasan Keluarga Supaya Anak Tidak Berkonflik dengan Hukum

11 Maret 2023   14:31 Diperbarui: 11 Maret 2023   19:41 3000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kholik Sugiarto, warga Desa Blondo Kabupaten Magelang, sudah menerima penghargaan dari Polres Magelang pada 9 Maret lalu. Dalam hal ini polisi patut dipuji setinggi langit karena artinya korps baju coklat (walau cuma tingkat kabupaten) mengakui partisipasi warga dalam mencegah kejahatan jalanan alih-alih menjadikan mereka tersangka.

Buruk sangka masyarakat bahwa Kholik akan dijadikan tersangka muncul karena berkaca pada banyak kasus sebelumnya yang mana korban yang membela diri justru jadi tersangka karena membuat pelaku kejahatan mati ditangannya.

Semua pelaku kejahatan jalanan atau dalam bahasa Jawa disebut klitih (kliling golek getih-keliling cari darah), termasuk yang digagalkan Kholik, terbukti masih remaja.

Pada mulanya klitih adalah istilah keluar malam untuk berkegiatan guna menghilangkan kepenatan yang banyak dilakukan warga Yogya dan sekitarnya, termasuk Magelang dan Klaten. 

Jalan-jalan santai untuk menikmati suasana malam disebut nglitih. Namun lama-lama terjadi pergeseran makna. Klitih yang tadinya berkonotasi positif, sekarang jadi negatif yang disematkan untuk aksi kekerasan dengan senjata tajam di jalanan.

Mirisnya lagi, pelaku klitih semuanya pemakai seragam putih-abu-abu. Idealnya mereka sudah mulai menyiapkan diri menyambut masa depan setelah lulus. Entah kuliah, bekerja, buka usaha, atau jadi tentara dan polisi. Nyatanya malah jadi kriminil.

Mengapa remaja yang harusnya banyak belajar dan mencari pengalaman positif justru jadi pelaku tindak kejahatan?

Pola Asuh dan Pengawasan Anak

Saya sering melihat anak-anak SD yang sering bicaranya kasar seperti jancuk, asu, kon**l, bangsat, dan lain sebagainya. Kata-kata itu keluar dari mulut semudah mereka bernapas. Saya kemudian menemukan bahwa ternyata anak-anak itu mengikuti omongan orang dewasa di sekitarnya.

Ada yang dari tetangga, saudara, teman sepermainan, bahkan dari bapak kandungnya sendiri.

Inilah yang juga jadi alasan saya dan suami terpaksa membatasi anak kami main dengan anak tetangga. Para anak tetangga sering berkelahi, bicara kasar, dan gampang mukul. Saya dan suami membatasi pergaulan karena yakin kalau dibiarkan anak kami bisa terbawa perilaku negatif anak-anak tetangga tersebut. 

Ilustrasi mengasuh anak | Sumber: Excelsior College
Ilustrasi mengasuh anak | Sumber: Excelsior College

Perilaku negatif yang sering dilihat dan dirasakan dalam jangka waktu lama dan terus-menerus akan dianggap wajar karena filter keburukan dalam benak mereka sudah tidak menyala lagi. Seperti pepatah alah bisa karena terbiasa. Hal yang awalnya sulit dilakukan akan jadi mudah karena terbiasa melakukannya.

Maka pola asuh orang tua sebaiknya bukan cuma memberi kasih sayang tiada batas, melainkan juga mengawasi dan membimbing. 

Bila si anak berstatus yatim-piatu atau orang tuanya tidak tinggal serumah karena harus bekerja di luar kota, maka keluarga terdekatnya (paklik, bulik, bude, pakde, dan sedulur lainnya) harus punya tanggung jawab mengawasi, mendidik, dan membimbing, tidak menyerahkan si anak begitu saja kepada sekolah.

Setelah keluarga menanamkan fondasi yang kuat pada anak dan dia paham tindakan mana yang baik dan buruk, barulah kemudian sekolah ikut memikul tugas mendidik anak secara akademik dan penguatan karakter.

Jadi tidak bisa semuanya diserahkan ke sekolah ya, Pak'e dan Mak'e. Sebab sekolah itu terbatas. Sekolah tidak bisa menyayangi peserta didik secara utuh dan penuh karena itu bukan tugas sekolah, melainkan keluarga. Guru-guru di sekolah juga harus menjalankan tanggung jawab terhadap anak-anak mereka sendiri di rumah.

Menyerahkan pendidikan anak hanya pada sekolah dan membiarkannya tumbuh tanpa arahan juga berpotensi membuat anak berperilaku baik dan penurut di rumah, tapi begajulan di luar rumah. Lebih buruknya lagi, mereka bisa terseret jadi anak yang berkonflik dengan hukum.

Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Beberapa saat setelah video pembacokan mobil Kholik oleh pemotor bercelurit tersebar, muncul pembelaan dari keluarga pelaku yang mengatakan bahwa sepupunya tidak akan melakukan klitih karena niat keluar rumah saat itu untuk cari makan bersama temannya.

Si pelaku dikatakan alim dan rajin mengaji sehingga dia yakin celurit itu dibawa untuk jaga diri, bukan untuk klitih. 

Anak para tetangga kami juga rajin mengaji di masjid dan selalu tarawih berjamaah tiap Ramadan, tapi mereka enteng saja ngomong kasar dan berkelahi. Padahal agama tidak mengajarkan yang seperti itu, kan?

Lagipula, entah itu yang membela betul keluarga si pelaku atau cuma ngaku-ngaku biar viral. Pastinya pembelaan itu menyangkut satu fakta, yaitu perilaku anak di rumah memang bisa berbeda 180 derajat ketika dia ada di luar rumah.

Sementara itu, klitih juga terjadi di Kota Bogor. Pada Jumat (10/3) siswa SMK yang sedang menyeberang jalan hendak-menunggu-angkutan-sepulang-sekolah, disabet pedang oleh tiga orang bermotor yang juga berseragam putih-abu-abu.

Menurut teman-temannya, korban anak baik dan tiap selesai sekolah selalu langsung pulang ke rumah. Kalau begini, apa keluarga pelaku bisa ngeyel mengatakan si remaja bawa pedang cuma buat jaga diri?! Itu lebih pas disebut kriminal atau dalam bahasa perlindungan anak diistilahkan dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum.

Menurut UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Anak yang Berkonflik dengan Hukum disematkan pada anak usia 12-tapi belum 18 tahun-yang diduga melakukan tindak pidana (tersangka).

Untuk selanjutnya, anak yang jadi korban pidana (bila masih hidup) dan anak yang jadi saksi pidana disebut sebagai Anak yang Berhadapan dengan Hukum. 

Seperti Agnes di kasus Dandy dan David. Agnes tadinya berstatus Anak yang Berhadapan dengan Hukum karena dia merupakan saksi. Kemudian karena ada keterlibatannya terhadap penganiayaan David, status Agnes "naik" jadi Anak yang Berkonflik dengan Hukum. David yang jadi korban, karena usianya masih 17 tahun, juga disebut sebagai Anak yang Berhadapan dengan Hukum karena dia jadi korban tindak pidana.

Pakar perilaku kriminal Stanton Samenow, Ph.D meyakini bahwa perilaku buruk anak bukan berasal dari pola asuh orang tua, melainkan karena sejak dini anak itu sudah punya pikiran kriminal.

Well, karena saya beragama Islam yang memuat hadis bahwa setiap anak dilahirkan suci tanpa dosa, maka saya tetap pada keyakinan bahwa asuhan, pengawasan, dan bimbingan orang tualah yang membentuk karakter dan jalan hidup anak. Tidak mungkin anak tiba-tiba punya pikiran kriminal dengan sendirinya kalau tidak dari tontonan, bacaan, atau pergaulan.

Mengawasi, membimbing, dan membatasi tontonan, bacaan, dan pergaulan anak juga termasuk tanggung jawab orang tua, bukan tetangga.

Maka sebelum terlambat. Sebelum anak berurusan dengan hukum, kita bisa mencegahnya dengan menerapkan pola asuh dengan pengawasan, bimbingan, dan perlindungan sesuai porsinya sedari mereka lahir. 

Mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Jangan sampai anak-anak kita jadi pelaku kejahatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun