"Lima ratus ribu, Pak," jawab Bang Bagas.
Bapak berdiri dan merogoh saku celananya untuk mengambil dompetnya yang gembung. Dikeluarkannya uang lima puluh ribuan dan dihitung di depan abangku. Bang Bagas terbelalak. Dia terbengong-bengong menerima tumpukan uang dari Bapak.
"Kenapa? Kurang?" tanya Bapak melihat Bang Bagas yang membeku.
"Eh, enggak, Pak. Cukup. Betul lima ratus ribu-uang praktikumnya," Bang Bagas menjawab terpatah-patah.
Betul, kan, Bapak lagi dapat banyak order. Biasanya Bapak cuma memberi Bang Bagas uang lima puluh ribu untuk dicicil ke sekolah guna bayar ini-itu. Sekarang Bapak langsung beri segepok uang.
Setelah menaruh uang itu di lipatan bukunya, Bang Bagas duduk di sebelahku dan membuka bungkus nasi padangnya. Persis sepertiku, Bang Bagas juga menjejalkan gundukan-gundukan besar nasi padang ke mulutnya.
"Makan pelan-pelan, Bagas," tegur ibu sambil menaruh es teh ke depan Bang Bagas.
Bang Bagas nyengir dengan mulut penuh nasi dan terus mengunyah nasinya dengan cepat.
Aku kekenyangan. Perutku rasanya bergejolak karena belum pernah makan sekenyang ini. Semoga nasi padang tadi bisa membuatku kenyang sampai besok siang.
Aku menyimpan catatan Matematika dan melanjutkan belajar tentang jenis bencana alam dan cara penanggulangannya. Semangatku bangkit. Perut kenyang ternyata bisa membawa kebahagiaan untukku. Teman-teman sekelasku pasti sering makan kenyang waktu sarapan. Soalnya mereka sering bercanda dan mengobrol seperti tidak pernah kehabisan tenaga.
Saat aku sedang menyiapkan buku pelajaran untuk sekolah besok, samar-samar kudengar Ibu dan Bapak saling berbisik.