selebgram (selebritas Instagram) area Yogya dan Solo untuk proyek dia bulan depan. Setelah tanya ina-ini ita-itu kepada si teman, saya lalu say hello dengan kenalan saya yang punya follower 9.000 orang.
Kemarin saya membantu teman yang kesulitan mencariSayangnya dia sementara tidak terima endorsement di Instagram karena sedang fokus membangun akun TikTok yang follower-nya sudah hampir 3000. Dia kemudian memberi nomor WhatsApp kenalannya sesama selebgram, "Bilang aja dari Mbak Lina Muntilan, ya, biar cepet."
Dari 10 selebgram yang saya kontak, hanya tiga yang betul-betul bersedia. Akhirul kata, tiga selebgram lokal yang punya follower 54.000, 22.000, dan 15.000 dari Sleman dan Solo itu pun menjalin kerja sama dengan si teman.
Padahal teman saya itu butuhnya 10 selebgram untuk masing-masing kota. Biarlah sisanya dia cari sendiri.
Selebgram Lokal Rasa Syahrini
Keberhasilan saya hanya menjaring tiga dari sepuluh orang ternyata ada kaitannya dengan keindahan foto.
Dalam dunia Instagram, keindahan foto pasti hal utama. Makanya semua tempat foto yang indah, unik, dan menarik disebut sebagai spot yang Instagramable.
jadi tidak heran kalau yang ada di mindset para selebgram lokal saat mendapat tawaran adalah: bergaya seperti Syahrini yang cantik, glamor, dan dikelilingi pemandangan indah.
Mereka agak kaget saat tahu kalau jobdesc-nya adalah membuat beberapa Reels dan Stories on the spot langsung upload selama acara berlangsung. Acaranya tentang UMKM pula, ha ha ha! Inilah yang membuat tujuh selebgram lain mundur. Mereka bilang tidak tahu cara "meliput".Â
"Saya bukan wartawan, Kak," kata seorang selebgram lokal. Ya tahu, emang butuhnya orang yang punya follower minimal 5.000, bukan wartawan. Lagian siapa yang suruh meliput, sih, kan cuma diminta bikin Reels dan Stories, itu pun masing-masing minimal cuma tiga.
Dalam benak selebgram lokal ini, kerja sama yang diminta adalah mereka berpose secantik mungkin (kebetulan selebgram lokal yang saya hubungi semuanya perempuan) bersama produk yang dipromosikan, kemudian dapat banyak like. Umumnya endorsement memang seperti itu, sih, ya.Â
Setelah menghubungi selebgram lokal yang Syahrini wanna be, saya jadi ambil kesimpulan pendek bahwa lebih mudah menjalin kerja sama dengan blogger dan penulis daripada selebgram, buat saya.
Bayaran Selebgram Berbanding Bengkok dengan Penulis
Selebgram lokal ber-follower 54.000 minta fee Rp500.000 untuk satu kali foto Feed sudah termasuk satu Stories bersama produk yang dia promosikan. Belum termasuk ongkos transpor.
Sedangkan untuk pembuatan video Reels dan Stories fee-nya Rp1.000.000 belum termasuk ongkos transportasi ke lokasi.
Dibanding tarif Anya Geraldine dan Syahrini tentu tarif segitu murah banget, tapi dibanding penulis, bayaran segitu sungguh WOW!
Tetap saja ojo dibandingke dengan Andrea Hirata, Tere Liye, Risa Saraswati, apalagi Dee Lestari, ya.
1. Penulis amatir dibayar paling mahal Rp15.000 untuk penulisan artikel sepanjang 1000 kata.Â
2. Penulis semi profesional (sudah bisa mengaplikasikan EYD) dibayar paling mahal Rp20.000.
3. Penulis yang punya blog alias blogger-dengan top level domain- dibayar paling mahal Rp150.000 per artikel. Itu pun kalau blognya sudah berharga mahal, salah satunya ditandai dari pendapatan AdSense jutaan rupiah per bulan.
4. Penulis profesional (paham EYD dan berpengalaman) seperti ghostwriter dibayar jutaan, tapi itu untuk penulisan puluhan ribu kata seperti novel, memoar, atau biografi.
Jadi menurut saya kalau selebgram lokal dibutuhkan hanya untuk membuat Reels dan Stories di akunnya, bayarannya tidak perlu semahal kalau dia mejeng dan berpose syantik.
Kalau tidak mejeng dan berpose berarti dia tidak butuh dandan dan berpakaian terbaik yang artinya tidak perlu ekstra effort untuk meng-upload sesuatu di Instagram. Kecuali sudah sekelas Awkarin.
Saya pernah kenal dengan selebgram Jawa Tengah yang tinggal di Semarang. Dia pernah jadi duta Genpi (Generasi Pesona Indonesia) Jateng. Sebelumnya dia punya aktivitas sebagai travel and food blogger sebelum beralih ke Instagram.
Dia sering kerja sama dengan hotel dan restoran. Orangnya cantik, luwes, dan tidak mementingkan dirinya harus ikut mejeng saat meng-endorse barang dan jasa.Â
Mungkin karena asalnya dia ini blogger, jadi tidak terlalu memikirkan pose diri dan komersialitas akunnya. Apa yang dibutuhkan si pemberi job, akan dia kerjakan tanpa banyak cingcong.
Mayoritas penulis memang begitu, termasuk para Kompasianer, toh? Mau ngarep K-Rewards, gak pernah dapat. Mau ngarep award, gak masuk nominasi, ya sudah nulis utamanya untuk kepuasan batin saja karena bisa berbagi, termasuk berbagi perasaan.
Akun Medsos Cuma Pajangan
Waktu saya membantu teman mencari orang yang punya minimal 5.000 follower Instagram yang berdomisili di Yogya dan Solo, saya tidak terpikir untuk mencarinya langsung di Instagram.
Selain si teman sudah mencari sendiri, saya juga bukan anak medsos. Kalau mencari informasi, gosip, atau yang viral-viral, saya mencarinya di Google, tidak ke Instagram atau TiKTok. Konvensional banget.
Saking konvensionalnya saya pernah diledek karena baru tahu soal makanan bernitrogen cair. Belakangan saya bersyukur karena tidak FOMO-fear of missing out-dengan tren sosial.
Kalau FOMO bisa-bisa saya ikut membelikan anak-anak makanan bernitrogen cair itu. Belakangan terbukti makanan yang diberi nitrogen cair berbahaya karena bisa merusak usus.
Walau kuper di dunia medsos, saya tidak sendiri. Jepang terkenal sebagai negara yang penduduknya paling sedikit menghabiskan waktu di medsos, begitu menurut laporan dari Nikkei Asia pada 2016.Â
Hal ini dikuatkan lagi oleh DataReportal yang menunjukkan bahwa pada 2023 Jepang masih jadi negara yang penduduknya paling jarang mengakses medsos. Orang Jepang hanya menghabiskan rata-rata 51 menit sehari di medsos. Sementara Indonesia ada di peringkat 10 sebagai negara yang penduduknya paling banyak main medsos.
Orang-orang di negeri Sakura punya akun medsos, tapi cuma jadi pajangan karena mereka jarang posting dan update apa pun di akunnya.
Jejaring sosial paling populer digunakan orang Jepang juga sebenarnya bukan medsos, melainkan pesan singkat seperti WhatsApp, yaitu LINE.
Sementara itu, orang Indonesia yang punya akun medsos, tapi cuma buat pajangan salah satu alasannya karena menjaga privasi.
Mereka ingin foto dan videonya tetap jadi milik pribadi dengan menyimpannya di Cloud alih-alih di medsos.
Tidak semua hal harus kita bagikan ke penduduk internet, kecuali pekerjaan utama kita memang kreator medsos.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H