Sayangnya bukan keguyuban dan persaudaraan itu yang dipelihara, tapi euforia atas dilibatkannya orang tua-dalam pendidikan-itu yang terus dipupuk.
Euforia membuat paguyuban jadi merasa punya kuasa diatas guru dan berpikir boleh mengatur, memutuskan, serta mengubah kegiatan dan program kelas.
Guru kelas yang sudah merencanakan karyawisata ke tempat dimana siswa akan dapat edukasi sekaligus piknik, diubah lokasinya oleh pengurus paguyuban untuk kepentingan bisnis yang mereka punya.
Hal lainnya, saat guru dan paguyuban sudah sepakat soal tema pameran kelas, paguyuban jugalah yang mengubah tema hanya karena dekorasinya tidak menyewa di tempat salah satu orang tua di kelas itu.
Euforia menyebabkan orang tua dalam paguyuban tidak berpikir demi anak dan kemajuan sekolah, melainkan seberapa banyak bisa memanfaatkan sekolah dan warganya untuk kepentingan mereka.
Maunya dilibatkan dalam kegiatan belajar-mengajar, kegiatan ekstrakurikuler, jeda semester, dan program sekolah lainnya, tapi paling males ikut mendidik dan mengasuh anak. Semua diserahkan ke sekolah.
Fakta itu terlihat sangat kasat mata saat pandemi Covid-19. Hampir semua orang tua menyalahkan guru yang cuma memberi kisi-kisi pembelajaran dan memberi tugas alih-alih mengajar (online).
Padahal kegiatan belajar-mengajar online juga sangat tidak efektif, terutama bagi pelajar SMP kebawah.
Disitulah sebenarnya salah satu prinsip pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan. Orang tua ikut terlibat mendidik anak mereka berdampingan dan bersama dengan sekolah. Disaat sedang tidak memungkinkan belajar akademik, orang tua bisa memberi pendidikan agama dan penguatan karakter.
Jadi tidak semua urusan pendidikan anak diserahkan ke sekolah. Tapi, ya, mana orang tua mau tahu soal beginian. Tahunya bikin konten buat medsos aja. Ke pasar dibikin konten, masak dibuat konten, pengajian dibikin konten, ngomel pun jadi konten, heu!
Lalu bagaimana dengan komite sekolah?